Sabtu, 31 Juli 2021

Jual beli Mu'athah (tanpa lafazh ijab-qabul)

✒️Jual beli Mu'athah (tanpa lafazh ijab-qabul) 

   Dalam mazhab Asy-Syafi'iy aslinya dalam akad jual-beli disyaratkan adanya ijab dan qabul. Ijab seperti : "saya jual barang ini". Qabul : "Ya, saya beli dengan harga sekian". Jika tidak dengan lafazh tegas harus disertai niat, seperti : "Saya kasih itu dengan harga sekian" lalu diterima pembel, ini pun boleh.

   Oleh karena itu kalau antum kumpul pas Islamic Book-Fair kalian akan dapati teman-teman santri tradisional kalau beli kitab pasti pakai lafazh :"Ini saya beli" atau semacamnya.

   Lalu bagaimana jika tidak ada ijab-qabul yang biasa dikenal sebagai "bai' mu'athah". Taqiyuddin Al-Hishniy memaparkan bahwa yang biasa dilakukan manusia dimana pembeli langsung memberikan sejumlah uang untuk beli barang. Lalu penjual langsung memberikan barang dagangannya kepada si pembeli, apakah seperti ini sah?

   Dalam "Rawdhatut-Thalibin" Imam An-Nawawiy aslinya itu tidak mencukupi karena tidak adanya lafazh ijab-qabul.

   Sebagian Ulama Syafi'iyyah menyebutkan alasannya, bahwa jual-beli disyaratkan harus adanya keridhoan dari si pembeli dan penjual, sedangkan ridho di dalam hati kita tidak akan bisa mengetahuinya kecuali jika diucapkan secara lisan.

   Namun Imam Ibnu Suraij mengeluarkan qawl bahwa itu sah jika dalam jual-beli benda yang murah harganya, seperti beli roti dalam jumlah kecil, dan ini pula yang difatwakan oleh Imam Ar-Ruyaniy.

   Imam Malik bin Anas lebih luas lagi qawl nya bahwa segala macam jual beli sah dengan cara apapun selama itu secara adat kebiasaan manusia dianggap sebagai jual-beli.

   Pendapat Imam Malik ini kemudian dipilih oleh para Ulama Syafi'iyyah seperti Imam Ibnu Shabbagh yang merupakan satu letting dengan Imam Asy-Syiraziy, dan juga dipilih oleh Imam Al-Mutawalliy, Imam Al-Baghawiy dan Imam An-Nawawiy dalam sebagian kitabnya. Imam An-Nawawiy menuturkan bahwa pendapat ini lebih rajih secara dalil karena pada kenyataannya tidak ada dalil syar'iy yang menyebutkan keterangan harus adanya lafazh, ketika tidak ada dalil syar'iy maka dikembalikan kepada "urf" adat kebiasaan yang berlaku pada manusia.

   Wallahu a'lam pendapat Imam Malik ini yang kiranya banyak diamalkan banyak manusia pada hari ini, ente datang ke Alf*mart atau Ind*mart, cek harga, oh sesuai kantong, lalu taruh depan kasir yang disana telah menunggu jomblowati berjilbab hitam, berbaju merah, yang dengan care nya juga menanyakan : Mau pulsa nya, Mas? Dengan sok cool kita geleng kepala dan cukup taruh uang di kasir, lalu berlalu. 

   Sebagian Masyaikh Fiqh ana dulu pas ngajar "Bidayatul-Mujtahid" sempat nyeletuk : Kalau Fiqh Mu'amalah alangkah bagusnya Fiqh Hanafiy atau Malikiy karena mereka tidak terlalu saklek dengan lafazh. Dan sebagian Asatidzah ana dalam Fiqh pun ada yang punya tulisan, hampir tiap tarjih nya menukil dari kutub Fiqh Hanafiy, ketika ditanya beliau beralasan : Imam Abu Hanifah pedagang asli jika dibandingkan dengan Imam Asy-Syafi'iy, Wallahu a'lam ada benarnya wejangan Guru-guru ana tsb.

(Disadur dari Kifayatul-akhyar, Kitabul-Bai' dengan sedikit perubahan redaksi)
Ustadz farian Ghani harima