Minggu, 26 Januari 2020

KESYIRIKAN DI MATA ULAMA MAZHAB SYAFI'I (6)

KESYIRIKAN DI MATA ULAMA MAZHAB SYAFI'I (6)

Pasal 07 - Praktik kesyrikan - Menjadikan Perantaraan kepada Allah (II) - bagian 3

Ulama-ulama mazhab Syafi'i telah mengeluarkan larangan melakukan praktik-praktik kesyrikan sebagai berikut :
II. Berdoa Kepada Selain Allah

Beristighotsah kepada selain Allah terhadap apa yang ia tidak mampu melakukannya kecuali Allah adalah perbuatan syirik, karena konsekuensinya bahwa mayit itu dapat mendengar setiap yang diajukan dan permintaan kepadanya, hal ini tidak tersembunyi sedikit pun atasnya, konsekuensinya juga adalah si mayit mampu mendengar dan melihat yang ghoib, tidak ada yang tersembunyi sedikit pun dari apa saja yang diminta oleh manusia, tidak tercampur adukkan atasnya permasalahan-permasalahan yang ia dengar dari orang-orang yang beristighotsah dimana pun mereka berada, baik dekat maupun jauh, ribuan bahkan jutaan orang yang berdoa. Seolah-oleh mayit tersebut mendengar apa yang dikatakan kepada mereka dan permintaan kebutuhan yang diajukan kepada mereka yang berbeda-beda, dengan bahasa yang berlainan yang diutarakan oleh orang-orang yang beristighotsah, mereka mengetahui bahasa-bahasa dunia yang berbeda-beda dan mereka dapat membedakan masing-masing bahasa yang disampaikan, walaupun ucapan tersebut disampaikan dalam satu kesempatan, maka ini adalah kesyirikan terhadap sifat-sifat Allah Ta'aalaa yang kebanyakan manusia jahil terhadapnya, lalu jatuhlah mereka dengan sebab ini kepada kesesatan yang besar.

Padahal beberapa perkara tersembunyi atas Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada suatu hari padahal Beliau masih hidup, Allah Ta'aalaa berfirman tentang sebagian munafiqin :
لَا تَعْلَمُهُمْ ۗ نَحْنُ نَعْلَمُهُمْ
"Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka, tetapi Kami mengetahuinya." (QS. At Taubah : 101).

Tersembunyi juga dari Beliau pembunuhan 70 quraa dari kalangan sahabat dan seterusnya.

Inilah Nabiyullah Isa alaihis Salaam dengan jelas Beliau adalah saksi atas umatnya, selama Beliau berada disisi umatnya :
وَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ ۖ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ
"dan adalah aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di antara mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka." (QS. Al Maidah : 117).

Maka bagaimana bisa mereka berkeyakinan bahwa mayit dapat mendengar istighotsah mereka, dimana pun mereka berada?, Maka ini jelas penuhanan selain Allah.

Ibnu Hajar al-Haitamiy al-Makki rahimahullah dalam "al-Fath al-Mubiin Syarah al-Arba'in" (hal. 172) berkata :
"Bersamaan dengan pengamatan hal tersebut, maka tidak ada faedah permintaan makhluk bersama bergantungnya kepada mereka, karena hati-hati mereka semuanya ada di Tangan Allah Ta'aalaa, Dia memalingkan sesuai dengan kadar keinginannya, maka wajib untuk tidak bersandar dalam setiap perkara, kecuali kepada Allah,karena Dia lah al-Mu'thi (Maha Pemberi) dan al-Maani' (Maha Penahan), tidak ada yang mampu menahan apa yang diberikan olehNya dan tidak ada yang mampu memberi apa yang ditahanNya, bagiNya penciptaan dan segala urusan....maka sesuai dengan kadar condongnya hati kepada makhluk adalah berbanding lurus dengan jauhnya dirinya dari Yang Maha Penolong, karena lemahnya keyakinannya dan terjerumus kepada kelalaian dari hakikat perkara yang orang-orang yang memiliki tawakal dan keyakinan sadar darinya, maka  berpalinglah kalian dari selainNya, niscaya mereka akan dipenuhi semua kebutuhan sebagai bentuk kemulian dan kemurahanNya." -selesai-.

Al-Imam Nawawi rahimahullah tatkala menafsirkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam :
إذا سالت فاسأل الله
"Jika engkau meminta, maka mintalah kepada Allah."

Kata al-Imam : "hadits ini mengisyaratkan bahwa seorang hamba hendaknya tidak menggantungkan kebutuhannya kepada selain Allah, namun hendaknya bertawakal kepadanya dalam seluruh urusannya, lalu jika kebutuhan yang engkau minta tidak terbiasa menurut kebiasaan ada di tangan makhluk, seperti meminta hidayah, ilmu dan pemahaman terhadap Al Qur`an dan as-Sunnah serta obatnya penyakit, afiyat dari musibah dunia dan azab akhirat, hendaknya ia minta kepada Rabbnya. Adapun jika kebutuhanmu yang engkau minta umumnya Allah Ta'aalaa jadikan berlaku di tangan makhlukNya, seperti kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan pembuat barang-barang dan penguasa, maka mintalah kepada Allah Ta'aalaa agar melembutkan hati mereka, engkau berdoa : "Yaa Allah lembutkan untuk kami hati hambaMu dan yang semisalnya. Janganlah berdoa kepada Allah untuk dicukupkan dari makhluknya, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tatkala mendengar Ali radhiyallahu anhu berdoa :
اللهم أغننا عن خلقك
"Yaa Allah, cukupkan kami dari makhlukMu."
Beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
لا تقل هذا فإن الخلق يحتاج بعضهم إلى بعض ولكن قل (اللهم اغننا عن شرار خلقك ) وأما سؤال الخلق والاعتماد عليهم فمذموم 
"Jangan katakan itu!, Karena makhluk itu saling membutuhkan satu sama lainnya, namun berdoalah : "Yaa Allah cukupkan kami dari kejelekan makhlukMu", adapun meminta-minta kepada makhluk dan bersandar kepada mereka, maka ini tercela."
(Syarah al-Arbain an-Nawawiyyah karya Imam Nawawi hadits no. 19).
 
Al-Imam ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya terhadap ayat ini :
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الْإِنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan." (QS. Al Jin : 6).

Ibnu Abi Hatim rahimahullah berkata :
حدثنا أبي، حدثنا فروة بن المغراء الكندي، حدثنا القاسم بن مالك -يعني المزني-عن عبد الرحمن بن إسحاق، عن أبيه، عن كَردم بن أبي السائب الأنصاري قال: خرجت مع أبي من المدينة في حاجة، وذلك أول ما ذكر رسول الله صلى الله عليه وسلم بمكة، فآوانا المبيت إلى راعي غنم. فلما انتصف الليل جاء ذئب فأخذ حملا من الغنم، فوثب الراعي فقال: يا عامر الوادي، جارك. فنادى مناد لا نراه، يقول: يا سرحان، أرسله. فأتى الحملَ يشتد حتى دخل في الغنم لم تصبه كدمة. وأنزل الله تعالى على رسوله بمكة { وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِنَ الإنْسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا }
"telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Farwah ibnul Migra Al-Kindi, telah menceritakan kepada kami Al-Qasim ibnu Malik Al-Muzani, dari Abdur Rahman ibnu Ishaq, dari ayahnya, dari Kirdam ibnus Sa-ib Al-Ansari yang mengatakan bahwa ia keluar bersama ayahnya dari Madinah untuk suatu keperluan. Demikian itu terjadi di saat berita Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam di Mekah tersiar. Maka malam hari memaksa kami untuk menginap di tempat seorang penggembala ternak kambing. Dan ketika tengah malam tiba, datanglah seekor serigala, lalu membawa lari seekor anak kambing, maka si penggembala melompat dan berkata, "Hai penghuni lembah ini, tolonglah aku!" Maka terdengariah suara seruan yang tidak kami lihat siapa dia, mengatakan, "Hai Sarhan (nama serigala itu), lepaskanlah anak kambing itu!" Maka anak kambing itu bergabung kembali dengan kumpulan ternak dengan berlari tanpa mengalami luka apa pun. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan kepada Rasul-Nya di Mekah ayat berikut, yaitu firman-Nya: Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosadan kesalahan. (Al-Jin: 6)."

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan dari Ubaid ibnu Umair, Mujahid, Abul Aliyah, Al-Hasan, Sa'id ibnu Jubair, dan Ibrahim An-Nakha'i hal yang semisal.

Barangkali serigala yang mengambil anak kambing itu adalah jelmaan jin untuk menakut-nakuti manusia agar manusia takut kepadanya, kemudian ia mengembalikan anak kambing itu ketika manusia meminta tolong dan memohon perlindungan kepadanya, hingga manusia itu menjadi sesat, dihinakan oleh jin dan mengeluarkannya dari agamanya; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui." -selesai tafsir Ibnu Katsir-.

Kesyirikan orang dulu ketika lapang, adapun pada masa sempit, mereka mengikhlaskan doa kepada Allah, sebagaimana Firman Ta'aalaa : 

فَإِذَا رَكِبُوا۟ فِى ٱلْفُلْكِ دَعَوُا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ فَلَمَّا نَجَّىٰهُمْ إِلَى ٱلْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ  
"Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)." (QS.Al-Ankabut 29: Ayat 65).

Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini berkata :
"...Allah Ta'aalaa mengabarkan bahwa mereka ketika situasinya genting, mereka berdoa kepada Allah semata tidak ada sekutu bagiNya, maka kenapa mereka tidak melakukan sepertu ini terus-menerus".

Imam ath-Thabari rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini beliau berkata :
"Jika mereka orang-orang musyrik naik kapal di lautan, lalu mereka takut tenggelam dan binasa, maka mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama kepadanya, mereka berkata : "ikhlaskan kepada Allah ketika genting yang diturunkan kepada mereka tauhid dan menunggalkan ketaatan kepadaNya, tunduk patuh dalam beribadah kepadaNya, jangan beristighotsah kepada tuhan-tuhan dan tandingan mereka, namun demi Allah yang menciptakan mereka, tatkala mereka selamat sampai ke daratan, yakni setelah mereka diselamatkan hingga sampai ke daratan, lalu mereka pun menjadikan bersama Allah sekutu-sekutu dalam ibadahnya dan berdoa kepada tuhan-tuhan dan berhala.

Al-Imam berkata :
حدثنا بشر، قال: ثنا يزيد، قال: ثنا سعيد، عن قَتادة، قوله:( فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ ) فالخلق كلهم يقرّون لله أنه ربهم، ثم يشركون بعد ذلك)
"....Qatadah berkata : "maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)", makhluk semuanya mengakui bahwa Allah adalah tuhannya, lalu mereka menyekutukan Allah setelah itu." (Tafsir ath-Thabari, XX/20).

Abu Sa'id Neno Triyono