Minggu, 17 November 2024

Layakkah Seorang Dai Mengubah Pendapatnya?

Layakkah Seorang Dai Mengubah Pendapatnya?

Beberapa waktu lalu, ada informasi seorang ustadz terkenal membuat tulisan tentang berubahnya pendapat beliau terhadap meditasi dan semisalnya, yang awalnya melarang, lalu berubah jadi membolehkan dengan syarat-syarat tertentu (aw kama qaala). Meski kemudian, tulisan tersebut hilang.

Kita tidak akan membahas soal hukum meditasi di sini. Kita juga tidak bahas secara spesifik tentang ustadz tersebut dan kasus yang beliau alami. Yang ingin saya bahas adalah tentang berubahnya pendapat seseorang, dari awalnya mengharamkan lalu berubah jadi membolehkan, atau sebaliknya awalnya membolehkan lalu jadi mengharamkan, atau awalnya mewajibkan lalu berubah menjadi tidak wajib, dan seterusnya.

Anda tentu tahu, Imam asy-Syafi'i dikenal punya madzhab qadim dan madzhab jadid, yang menunjukkan bahwa beliau juga berubah pendapatnya dalam sekian persoalan. Demikian juga, ada nash dan hikayat pendapat beliau dalam sekian persoalan yang berbeda-beda. Ini juga terjadi pada Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad dan lainnya. Artinya, perubahan pendapat itu adalah hal yang biasa terjadi dan sebenarnya tidak perlu dipersoalkan. Selama...

Dr. 'Ali Jum'ah dalam salah satu karya tulisnya menjelaskan, perubahan pendapat Imam Asy-Syafi'i dari qaul qadim menjadi qaul jadid, adalah karena penelaahan ulang yang beliau lakukan terhadap pendapat-pendapat lamanya dan dalil-dalil yang beliau temukan ketika berada di fase Mesir. Dan ini juga, secara umum, yang menjadi alasan ulama mu'tabar manapun, mengubah pendapatnya.

Jadi, perubahan pendapat adalah hal yang wajar dan sangat bisa dimaklumi, selama perubahan pendapat tersebut dilandasi oleh ilmu, dan termotivasi dari kejujuran ilmiah. Jika seorang alim, setelah melalui pengkajian lama, menemukan bahwa pendapat yang diikutinya itu lemah, dan ada pendapat yang lebih kuat, maka wajib baginya mengikuti pendapat yang kuat tersebut dan meninggalkan pendapatnya yang lama. Inilah kejujuran ilmiah.

Jika sang alim masih bertahan dengan pendapat lamanya tersebut, yang terbukti olehnya sendiri bahwa itu pendapat lemah, dengan alasan taqlid pada ulama terdahulu, maka inilah hal yang dicela oleh banyak ulama yang mencela taqlid, seperti Ibnu Hazm dan asy-Syaukani, serta (bisa dimasukkan juga) al-Qaradhawi. Bahkan, inilah taqlid yang dicela oleh Aimmah Arba'ah. Taqlid pada pendapat yang menurut hasil kajiannya sendiri, itu adalah pendapat yang lemah.

Namun...

Namun jika perubahan pendapat tersebut, dilandasi oleh faktor-faktor di luar keilmuan, apalagi sekadar untuk kemaslahatan pribadi atau untuk memuaskan hawa nafsunya, maka ini adalah sesuatu yang sangat tercela. Misal, ada seorang alim yang pada satu waktu, berfatwa bahwa penghasilan dari bank konvensional itu haram, dan hadiah serta pemberian dari bank konvensional haram diterima, kemudian fatwanya berubah dengan berbagai macam dalih yang dia buat, karena ternyata dia mendapat jadwal ceramah di majelis taklim yang diadakan oleh bank konvensional tersebut dan tentu dapat transferan besar setiap kali ceramah tersebut?! Perubahan pendapat dan fatwa semacam ini tercela, karena motivasinya bukan ilmu, tapi maslahat duniawi untuk dirinya sendiri.

Atau pada awalnya, dia berfatwa bahwa tidak boleh mengangkat pemimpin kafir di negeri Islam. Namun setelah itu, fatwanya berubah, disebabkan hal-hal yang sifatnya pragmatis, misalnya karena partainya mengusung calon kafir dalam pilkada, hanya karena elektabilitasnya tinggi?!

Seandainya pun, pendapat baru yang dia pegang tersebut, pada dasarnya adalah pendapat Islami yang boleh diikuti, itu tetap tercela, jika perubahannya bukan karena faktor ilmu dan kaidah-kaidah syariat, tapi karena kemaslahatan pribadi dan memenuhi hawa nafsunya sendiri. Apatah lagi, jika pendapat baru tersebut bukan pendapat yang mu'tabar?!

✓M4N