Hukum Tasyabbuh bil-Kuffar dalam Madzhab Hanbaliy
Menurut madzhab Hanbaliy, hukum dari tasyabbuh bil-kuffar (menyerupai orang-orang kafir) adalah makruh, jika perkara tersebut bukan merupakan kekhususan dan syi’ar dari orang kafir.
Adapun jika perkara tersebut merupakan kekhususan dan syi’ar dari orang kafir, maka hukumnya dalam madzhab Hanbaliy adalah haram.
Musa ibn Ahmad Abun-Naja al-Hajjawiy rahimahullah berkata,
ولما صارت العمامة الصفراء والزرقاء والحمراء من شعارهم، حرم على المسلم لبسها.
“Ketika ‘imamah kuning, biru, dan merah adalah termasuk syi’ar mereka, maka haram bagi seorang muslim untuk memakainya.” [1]
Kemudian, setelah itu beliau menambahkan,
وإن تزيَّا بها مسلم أو علَّق صليبا بصدره، حرم ولم يكفر.
“Jika seorang muslim berpakaian dengannya atau menggantungkan salib di dadanya, maka haram tetapi tidak kufur.” [2]
Manshur ibn Yunus al-Buhutiy rahimahullah ketika menjelaskan tentang kalimat al-Hajjawiy rahimahullah ini, beliau berkata,
(وإن تزيَّا بها مسلم أو علَّق صليبا بصدره، حرم) لحديث: “من تشبَّه بقوم فهو منهم”، ويكون قولهم فيما تقدَّم: “يُكرَه التشبُّه بزي أهل الكتاب ونحوهم” مخصوصا بما هنا، والفرق ما في هذه من شدة المشابهة (ولم يكفر) بذلك كسائر المعاصي، والخبر للتنفير.
“(Jika seorang muslim berpakaian dengannya atau menggantungkan salib di dadanya, maka haram) berdasarkan hadits, ‘Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka.’ Maka perkataan mereka sebelumnya [yakni, perkataan para ulama’ Hanabilah] bahwa makruh untuk melakukan tasyabbuh dengan pakaian ahli kitab dan yang semisal mereka, maka ini dikhususkan oleh perkara yang disebutkan di sini. Dan perbedaannya [antara perkara tasyabbuh yang disebutkan di sini dan perkara-perkara tasyabbuh lainnya yang disebutkan sebelumnya] adalah bahwa terdapat tasyabbuh yang kuat dalam perkara yang disebutkan di sini. (Tetapi dia tidak kufur) karena melakukan hal tersebut, seperti kemaksiatan lainnya. Dan hadits tersebut adalah untuk membuat orang-orang takut untuk melakukan perkara tersebut sehingga mereka menghindarinya.” [3]
Poin ini juga semakin diperjelas oleh Mushthafa ibn Sa’d ar-Ruhaibaniy rahimahullah, ketika beliau mengkritisi perkataan Mar’iy ibn Yusuf al-Karmiy rahimahullah, yaitu perkataan beliau,
وقد مر يُكرَه تشبُّه بهم، ولا يحرم، خلافا له هنا.
“Telah lewat bahwa makruh untuk melakukan tasyabbuh dengan mereka, dan tidak haram, berbeda dengannya [yakni, berbeda dengan apa yang disebutkan oleh al-Hajjawiy dalam al-Iqna’] di sini [yakni, dalam masalah ini, karena dalam masalah-masalah tasyabbuh sebelumnya al-Hajjawiy juga menyebutkan hukumnya makruh dalam al-Iqna’].” [4]
Maka, Mushthafa ibn Sa’d ar-Ruhaibaniy rahimahullah kemudian mengkritik perkataan ini,
(وقد مر) في باب ستر العورة: (يُكرَه تشبُّه بهم) بما يشبه شد الزنار في صلاة وغيرها، (ولا يحرم) على المذهب (خلافا له) أي: لصاحب “الإقناع” (هنا)، كذا قال، وعبارته: وإن تزيَّا بها، أي: بالعمامة الزرقاء، مسلم، أو علَّق صليبا بصدره، حرم ولم يكفر.
“(Telah lewat) dalam bab menutup aurat: (bahwa makruh untuk melakukan tasyabbuh dengan mereka) yaitu melakukan yang semisal dengan memakai zunnar [yakni, sabuk yang dipakai oleh orang-orang Nashrani] dalam shalat dan selainnya, (dan tidak haram) dalam madzhab, (berbeda dengannya) yakni, dengan penulis al-Iqna’ [yakni, al-Hajjawiy rahimahullah], (di sini). Demikianlah yang dikatakan oleh beliau, di mana redaksinya adalah: Jika seorang muslim berpakaian dengannya, yakni mengenakan ‘imamah biru, atau menggantungkan salib di dadanya, maka haram tetapi tidak kufur.
ولا ريب أن قول صاحب “الإقناع” هو المعوَّل عليه بلا نزاع، يؤيِّده ما قاله الشيخ تقي الدين: التشبُّه بهم نُهي عنه إجماعا، لحديث “من تشبَّه بقوم فهو منهم” رواه أحمد وأبو داود، وقال الشيخ تقي الدين: أقل أحواله أنه يقتضي تحريم التشبُّه، وإن كان ظاهره كفر المتشبِّه بهم.
Dan tidak diragukan lagi bahwa perkataan penulis al-Iqna’ itulah yang dijadikan sandaran dan pegangan tanpa ada perdebatan lagi. Ini didukung oleh apa yang dikatakan oleh Syaikh Taqiyyud-Din [yakni, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah]: Tasyabbuh dengan mereka itu dilarang secara ijma’, berdasarkan hadits, ‘Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia adalah bagian dari mereka.’ Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud. Syaikh Taqiyyud-Din berkata: Keadaannya yang paling ringan adalah bahwa hadits ini menunjukkan kepada haramnya tasyabbuh dengan mereka, walaupun secara zhahirnya hadits ini menunjukkan kepada kufurnya orang yang melakukan tasyabbuh dengan mereka tersebut.
وقال: ولما كانت العمامة الصفراء والزرقاء من شعارهم، حرم على المسلم لبسها، انتهى.
Beliau [yakni, al-Hajjawiy rahimahullah, penulis al-Iqna’] berkata: Ketika ‘imamah kuning dan biru itu adalah termasuk syi’ar mereka, maka haram bagi seorang muslim untuk memakainya. Selesai kutipan.
وقولهم فيما تقدَّم: يُكرَه تشبُّه بهم إذا لم يقو، كشد الزنار، ولبس الفاختي، والعسلي، لأنه ليس بتشبُّه محض، وكثير من المسلمين يفعلونه في هذه الأزمنة من غير نكير.
Dan perkataan mereka [yakni, para ulama’ Hanabilah] yang telah lalu, yaitu makruh untuk melakukan tasyabbuh dengan mereka, maka ini dalam kasus jika tasyabbuh tersebut tidak kuat, seperti memakai zunnar [yakni, sabuk yang dikenakan oleh orang-orang Nashraniy], mengenakan fakhitiy [yakni, pakaian yang dikenakan oleh orang-orang Nashraniy], dan ‘asaliy [yakni, pakaian yang dikenakan oleh orang-orang Yahudi], karena ini bukanlah perkara tasyabbuh yang murni, dan banyak dari kaum muslimin yang melakukannya di zaman belakangan ini tanpa ada yang mengingkarinya.
وأما المختص بهم كالعمامة الزرقاء والقلوصة، وتعليق الصليب في الصدر، فهذا لا ريب في تحريمه، ويكون قولهم فيما تقدَّم مخصوصا بما هنا، والفرق ما في هذه من شدة المشابهة، وما ورد في الخبر فهو محمول على ما إذا قويت المشابهة.
Adapun perkara yang merupakan kekhususan dari mereka, seperti ‘imamah biru dan qalushah, dan menggantungkan salib di dada, maka ini tidak diragukan lagi hukumnya haram, dan perkataan mereka sebelumnya [yakni, perkataan para ulama’ Hanabilah] dikhususkan oleh perkara yang disebutkan di sini. Dan perbedaannya adalah bahwa terdapat tasyabbuh yang kuat dalam perkara yang disebutkan di sini. Adapun apa yang disebutkan di hadits, maka itu dipahami berlaku untuk kasus yang tasyabbuh-nya kuat.” [5]
Dari penjelasan di atas, kita simpulkan bahwa menurut madzhab Hanbaliy, perkara yang merupakan tasyabbuh yang murni, yakni sisi tasyabbuh-nya kuat dengan orang-orang kafir, karena itu adalah perkara yang merupakan kekhususan mereka dan bahkan merupakan syi’ar mereka, maka ini hukumnya adalah haram.
Sedangkan jika sisi tasyabbuh-nya tidak kuat, karena itu bukan merupakan kekhususan dan syi’ar dari orang-orang kafir, sehingga itu mengapa hal tersebut kemudian menjadi tersebar di tengah-tengah kaum muslimin dan tidak ada yang mengingkarinya, maka ini hukumnya adalah makruh.
Jika kita berbicara tentang hukum meditasi, di mana itu adalah kekhususan dan syi’ar dari orang kafir, di mana diajarkan di dalamnya keyakinan dan akidah mereka secara sedikit demi sedikit, lalu duduk dengan posisi tertentu yang itu sama dengan cara mereka duduk dalam ritual mereka, lalu diam tidak bergerak dan tidak berbicara dalam waktu tertentu dan memusatkan pikiran pada sesuatu atau pada nafasnya sendiri, di mana ini adalah cara-cara untuk membuat pikiran dan kesadaran kita menuju kepada trance state, yang banyak dilaporkan bahwa ada kesamaan antara kondisi ini dengan kondisi orang-orang yang hendak berkomunikasi dengan jin seperti orang-orang Shaman dan selain mereka, karena orang-orang kafir di Barat justru memang ingin meniru kondisi trance state yang mereka lihat dari orang-orang Shaman dan selain mereka tersebut, maka walaupun mereka melakukan tauriyah bahwa meditasi itu dapat memberikan manfaat untuk kesehatan (karena itulah yang menjadi aspek marketing dari orang-orang Shaman dan selainnya tentang meditasi ini sejak zaman dahulu, sehingga itu mengapa orang-orang kafir di Barat ingin meniru munculnya kondisi trance state ini dengan tujuan ingin mendapatkan manfaat kesehatan darinya, padahal ini adalah klaim yang tidak memiliki bukti yang kuat dan ilmiah dalam ilmu medis), maka ini hukumnya adalah haram.
Oleh karena itu, jangan samakan pembahasan tentang meditasi ini dengan pembahasan tentang tasyabbuh bil-kuffar dalam masalah makan menggunakan sumpit, libur di hari Sabtu dan Ahad, dll., karena masalah-masalah tersebut termasuk dalam kategori tasyabbuh yang berbeda.
Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel andylatief.com
https://andylatief.com/2024/11/19/hukum-tasyabbuh-bil-kuffar-dalam-madzhab-hanbaliy/
Footnotes:
1. al-Iqna’ li-Thalibil-Intifa’, karya Musa ibn Ahmad Abun-Naja al-Hajjawiy (7/251).
2. Lihat referensi sebelumnya.
3. Kasysyaful-Qina’ ‘an Matnil-Iqna’, karya Manshur ibn Yunus al-Buhutiy (7/251).
4. Ghayatul-Muntaha fiy Jam’il-Iqna’ wal-Muntaha, karya Mar’iy ibn Yusuf al-Karmiy (1/488).
5. Mathalibu Ulin-Nuha fiy Syarhi Ghayatil-Muntaha, karya Mushthafa ibn Sa’d ar-Ruhaibaniy (5/418).