Demikianlah seyogyanya guru mengajari muridnya mandiri, dan dewasa .
Kawan, apa anda mengira bahwa seluruh dalil Al Qur'an dan hadits hanya boleh dikaji dan kemudian dipahami dan disarikan hukumnya oleh para ulama'?
Sedangkan orang awam, dianggap kwalat bila berusaha mentadaburi sebagian ayat atau hadits.
Menurutnya, orang awam hanya boleh menerima penjelasan ulama', dan tidak boleh mentadaburi apalagi sampai mengamalkannya, kecuali bila telah diajari oleh seorang ulama' A- Z. Alias sekali awam, bodoh, tidak menguasai berbagai ilmu alat, maka pemahamannya pastilah salah, dan haram diamalkan.
Benarkah demikian?
Kawan, yuk simak penjelasannya dari sahabat Ibnu 'Abbas radhiallahu 'anhuma:
التفسير على أربعة أوجه: وجه c، وتفسير لا يعذر أحد بجهالته، وتفسير يعلمه العلماء، وتفسير لا يعلمه إلا الله .
Tafsir itu ada empat level:
Level pertama: tafsir yang dapat dipahami oleh seluruh orang Arab, dengan kemampuannya memahami bahasa Arab.
Level kedua: Tafsir yang tidak ada alasan bagi siapapun untuk mengaku bahwa dirinya tidak memahaminya.
Level ketiga: Tafsir yang hanya dikuasai oleh para ulama'.
Level keempat : Tafsir yang hanya dikuasai oleh Allah Ta'ala. (At Thobari dll)
Dan yang perlu diingat pula, ulama'pun bertingkat tingkat, sehingga bisa jadi sebagian ulama' salah paham, sedangkan yang lain memahaminya dengan benar, dan ada ulama' yang lebih berilmu dibanding yang lainnya.
Karena itu, yuk bersikap secara proporsional, jangan biarkan orang awam berbicara semuanya, namun juga jangan mengekang orang awam secara mutlak, karena betapa banyak ayat ayat yang begitu jelas maknanya, sehingga siapapun yang membaca redaksi ayatnya, atau terjemahannya, maka ia paham maksud ayat tersebut, semisal ayat tentang haramnya babi, wajibnya shalat, haramnya zina dll.
Akan lebih bijak bila ummat Islam dimotovasi untuk belajar, bukan terus didoktrin bahwa hingga akhir zaman ia tetap tidak mungkin paham dalil, sehingga ia hanya boleh mengamalkan atau memahami ayat melalui penjelasan gurunya.
Adanya pola pikir "saya tidak mau pakai pemahaman saya sendiri" dalam memahami ayat atau hadits, saya hanya mau memakai pemahaman ulama', sehingga ayat dan hadits yang jelaspun, selama belum pernah ia dengar dari gurunya maka ia anggap sebagai syubhat, sehingga dapat menjatuhkan dirinya dalam kesesatan.
Adanya pola pikir semacam ini bisa jadi merupakan indikator adanya proses "pembodohan ummat" alias ummat didoktrin bahwa dirinya bodoh dalam segala hal hingga akhir masa.
Kenapa murid harus dilatih mandiri dan diberi ruang mengembangkan diri? Karena sang guru seberapapun luas ilmunya, suatu saat akan mati.
Akankah ketika sang guru mati, matilah ilmu, dakwah, dan fatwa?
Dan sang guru juga tidak akan kuasa memenuhui kebutuhan seluruh ummat Islam akan fatwa, kajian, ceramah, dan lainnya.
Bila anda berkata: lo murid murid sang guru akan diutus, mewakili sang guru.
Maka ketahuilah jumlah dan kebutuhan ummat Islam terlalu besar untuk dicukupi dan dipikul
Oleh satu orang ahli ilmu dan murid muridnya saja, dan juga terlalu besar untuk dipikul oleh satu lembaga dan sifitasnya.
Sebagaimana kebutuhan ummat akan ilmu tidak hanya ketika ketemu dengan ulama’ dan murid muridnya.
Betapa sering ummat Islam didahapkan pada masalah yang tidak mungkin untuk bertanya kepada siapapun.
Bahkan sang ulama’ dan murid muridnya pun akan merasa terbebani bila semua masalah harus dikonsultasikan kepadanya.
Semoga mencerahkan.
Ustadz Dr Muhammad Arifin Badri MA