Al-‘Allāmah Al-Mufassir
FAKHRUDDĪN AR-RĀZĪ
(Wasiatnya Yang Memperbagusi Akidahnya, 5/8)
🔴 Alert: dibaca sampai selesai yaa, termasuk seri² sebelumnya, biar saya dapat pahala.
Setinggi-tingginya ilmu yang dicapai oleh Imam Fakhruddīn Ar-Rāzī Asy-Syāfi‘ī dibidang Ilmu Kalam, secerdas-cerdasnya Beliau membantah filsafat, sehebat-hebatnya Beliau menata pondasi Akidah Asyā‘irah dan menyebarkan akidah tsb, namun Beliau masih merasa ada yang mengganjal dihatinya, resah bin gelisah, maka menjelang akhir hayatnya Beliau berwasiat yang menunjukkan Beliau memperbagusi akidahnya yang terasa rusak. Sebagaimana termaktub dalam kitab Lisānul-Mīzān (4/506) karya Al-Ḥāfiẓ Syihābuddīn Ibnu Ḥajar Al-‘Asqalānī Asy-Syāfi‘ī (w. 852 H):
أوصى بوصية تدل على أنه حسن اعتقاده
“Ar-Razi berwasiat dengan wasiat yang menunjukkan dia memperbagusi (memperbaharui) akidahnya”.
Namun, data ini dimentahkan oleh asatizah Aswaja (salah satunya bisa dilihat SS dikomen), karena berdasarkan hasil penelitian Syekh Abdul-Fattāh Abū Guddah yang mentahqiq dan mengkomparasikan manuskrip-manuskrip kitab Lisānul-Mīzān yang ada. Hasilnya, ucapan (kutipan) tersebut tidak ada dalam manuskrip Lisānul-Mīzān dan hanya sebuah tulisan pinggir di salah satu manuskrip yang sangat tidak tepat apabila dinisbatkan kepada Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar.
Menjawab syubhat ini sangat mudah jikalau mau sedikit lebih rajin lagi dalam membaca dan menalaah biografi Imam Ar-Rāzī, memang benar bahwa kutipan itu hanya sebatas catatan pinggir (hasyiah) semata dimanuskrip kitab Lisānul-Mīzān dan pastinya tidak tepat apabila dinisbatkan kepada Al-Ḥāfiẓ Ibnu Ḥajar, akan tetapi tentu yang menulis kutipan itu (penyalin manuskrip) bukan tanpa dasar alias punya alasan. Sebagaimana kita sendiri ketika mengaji kitab, akan membubuhi catatan-catatan pinggir pada kitab kita ketika mendapati faidah baru yang tidak termaktub dalam kitab tersebut. Kalau faidah baru tersebut meragukan, biasanya saya membubuhinya dengan tanda tanya, agar nanti saya uji kevalidannya.
Adapun catatan pinggir yang dipermasalahkan tersebut, ternyata memiliki alasan, datanya valid bahwa Imam Ar-Rāzī berwasiat dengan wasiat yang menunjukkan dia memperbagusi (memperbaharui) akidahnya. Bahkan yang mencatat perihal ini adalah ulama digenerasi sebelum lahirnya Syaykhul-Islām Ibnu Taymiyyah dan para mahasantrinya, yang biasanya menjadi sasaran kritikan kaum Aswaja.
Imam Syihābuddīn Yaqūt Al-Ḥamawī (574-626 H) menyebutkan dalam Irsyādul-Arīb ilā Ma‘rifatil-Adīb (6/2587):
كان قد أملى رسالة على تلميذه ومصاحبه إبراهيم بن أبي بكر بن علي الأصبهاني تدلّ على حسن عقيدته وظنّه بكرم الله تعالى ومقصده بتصانيفه، والرسالة مشهورة
“Imam Ar-Rāzī mendiktekan risalah kepada santri sekaligus teman akrabnya (yakni) Ibrāhīm bin Abū Bakr bin ‘Alī Al-Aṣbahānī yang menunjukkan Ia memperbagusi akidahnya dan berprasangka akan kemurahan (keampunan) Allah taala dan tujuan pendiktean risalah tsb pada karya-karyanya (sebelumnya yang mabuk Ilmu Kalam), dan risalah ini terkenal…”.
Kenyataan ini juga dicatat oleh Imam Ṣalāhuddīn Aṣ-Ṣafadī Asy-Syāfi‘ī (696-764 H) dalam Al-Wāfī bil-Wafayāt (4/177).
Demikianlah keadaan akhir dari ulama sekaliber Al-‘Allāmah Al-Mufassir Fakhruddīn Ar-Rāzī Asy-Syāfi‘ī, jikalau memang manhaj akidahnya telah mantap dan bahkan menjadi tokoh ulung serta penolong mazhab akidah tersebut dimasanya, tentu tidak perlu lah Imam Ar-Rāzī berwasiat seperti itu. Artinya, akidah yang berpondasikan Ilmu Kalam itu bukan obat bagi yang sakit akidahnya, sebagaimana telah disebutkan dalam tulisan ini bagian 1/8. Dan yang terpenting adalah, bahwa Imam Ar-Rāzī memperbagusi akidahnya (yang sebelumnya merasa rusak) diakhir hayatnya itu benar.
Bagaimana menurut Anda?
Bagaimana dengan Anda?
Salam Persahabatan Berkemajuan,
Alfan Edogawa