Berdoa agar dihilangkan wabah, penyakit, dan musibah lainnya bukanlah termasuk suul-adab (adab yang buruk) kepada Allah Ta’ala, bahkan hal itu merupakan perkara yang disyariatkan.
☆ ☆ ☆ ☆
Beberapa hari lalu saya menyimak kiriman potongan kajian yang pembicaranya menyebutkan bahwa memohon kepada Allah untuk menghilangkan wabah termasuk suul-adab (adab yang buruk) kepada Allah dan diklaim bahwa para wali-Nya menghindari hal tersebut. Alasannya, karena terjadinya wabah itu merupakan kehendak Allah.
Apa yang disampaikan tersebut merupakan kesalahan fatal yang memuat kecenderungan akidah fatalis.
Padahal menurut akidah yang benar, seluruh musibah yang terjadi itu tidaklah keluar dari kehendak Allah, dan Allah juga bisa berkehendak untuk menghilangkan musibah tersebut dengan berbagai sebab, yang di antara sebab tersebut adalah doa.
Ringkasnya, di dalam akidah Ahli Sunnah, seluruh rangkaian sebab dan akibat tidak keluar dari kehendak dan takdir Allah. Ketika Allah menghendaki dan menakdirkan terjadinya akibat, maka Allah pula yang menghendaki dan menakdirkan terjadinya sebab yang mengonsekuensikan akibat tersebut. Contohnya, seorang yang ditakdirkan menerima rezeki, maka dia pun ditakdirkan bekerja; seorang yang ditakdirkan punya anak, maka dia pun ditakdirkan untuk menikah; seorang yang ditakdirkan menikah, maka dia pun berusaha mencari jodoh; dan demikian seterusnya. Termasuk pula dalam hal doa, karena doa merupakan bagian dari sebab yang bermanfaat untuk merealisasikan akibat. Sedangkan kita disyariatkan untuk mengupayakan sebab.
Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersabda,
الدعاء ينفع مما نزل و مما لم ينزل و إن البلاء لينزل فيتلقاه الدعاء فيعتلجان إلى يوم القيامة
“Doa itu bermanfaat untuk hal yang telah terjadi maupun yang belum terjadi. Sungguh, bencana itu turun lalu bertemu dengan doa, maka keduanya bertarung hingga hari kiamat.” [HR al-Hakim no. 1813 dan dinilai hasan oleh al-Albany dalam Shahih al-Jami’.]
Demikianlah pula yang dipraktikkan oleh Nabi—yang beliau adalah sosok panutan terbaik dibandingkan seluruh wali yang ada di muka bumi. Nabi mendoakan diangkatnya berbagai musibah dan penyakit yang menimpa sebagian umatnya. Meskipun beliau tentu juga meyakini bahwa turunnya musibah dan penyakit tersebut merupakan kehendak Allah. Banyak sekali hadis valid yang terkait dengan hal tersebut.
Justru termasuk suul-adab (kekurangajaran) yang luar biasa kalau sampai ada yang berani menyatakan bahwa perbuatan beliau yang demikian termasuk suul-adab kepada Allah Ta’ala.
Berikut ini sebagian kecil dari contoh hadis dimaksud.
Dari ‘Aisyah (radhiyallahu ‘anha), beliau berkata,
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان إذا أتى مريضا أو أتي به قال: أذهب الباس رب الناس اشف وأنت الشافي لا شفاء إلا شفاؤك شفاء لا يغادر سقما
“Apabila Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) didatangi orang sakit atau menjenguknya, beliau mendoakan, ‘Ya Allah, Tuhan manusia, hilangkanlah sakit (ini). Sembuhkanlah ia, engkau adalah Yang Maha Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan (dari)-Mu, kesembuhan yang tidak menyisakan sakit.’” [HR al-Bukhary no. 5351, Muslim no. 2191, dan lain-lain.]
Contoh lainnya adalah hadis dari Anas bin Malik (radhiyallahu ‘anhu), yang mengisahkan bahwa seorang pria masuk masjid pada hari Jumat ketika Nabi sedang berkhutbah, lalu ia meminta kepada Nabi agar berdoa minta turun hujan untuk menghilangkan musibah paceklik yang sedang melanda kaumnya. Maka Nabi pun berdoa dan hujan pun kemudian turun dengan derasnya. [HR al-Bukhary no. 967, Muslim no. 897, dan lain-lain.]
Intinya, banyak sekali dalil yang menunjukkan bahwa hal semacam itu bukanlah termasuk suul-adab kepada Allah. Bagaimana mungkin itu termasuk suul-adab sedangkan Nabi mengajarkan yang demikian?
☆ ☆ ☆ ☆ ☆
Sebagai tambahan, karena pembicara dimaksud sempat menyebut tentang wali, maka berikut ini adalah sebagian kisah wali Allah di era Salaf, yang ia berdoa agar Allah menurunkan hujan untuk menghilangkan musibah paceklik yang sedang terjadi—dan tentunya ia pun tahu bahwa terjadinya musibah paceklik tersebut adalah atas kehendak Allah.
Muhammad bin al-Munkadir, seorang tokoh generasi Tabiin (w. 130 H, rahimahullah), bertutur:
“Ada sebuah tiang di masjid Nabawi yang biasanya saya pakai untuk menghadapnya di dalam shalat dan juga untuk duduk bersandar. Ketika itu penduduk Madinah sedang dilanda kemarau panjang. Mereka sudah keluar melakukan salat Istisqa`, namun hujan belum juga turun.
Pada suatu malam, saya beristirahat sambil bersandar pada tiang tersebut seusai mengerjakan salat Isya di masjid Nabawi. Tiba-tiba datanglah seorang lelaki berkulit hitam yang mengenakan jubah dan syal di lehernya. Ia maju menghadap tiang di bagian depan, sementara saya (tersembunyi) di balik tiang di belakangnya. Orang itu selanjutnya mengerjakan salat dua rakaat, kemudian ia duduk dan berdoa:
أي رب خرج أهل حرم نبيك يستسقون فلم تسقهم، فأنا أقسم عليك لما سقيتهم
‘Duhai Rabbku, penduduk kota Nabi-Mu telah keluar untuk meminta hujan kepada-MU namun Engkau belum jua menurunkan hujan kepada mereka, maka aku bersumpah atas nama-Mu agar kiranya Engkau menurunkan hujan kepada mereka.’
Saya pun bergumam, ‘Orang ini gila.’
Namun, belum sampai ia menurunkan tangannya, tiba-tiba terdengarlah suara halilintar, kemudian diikuti dengan turunnya air hujan dari langit. Ketika mendengar suara hujan, ia pun memuji Allah dengan berbagai pujian yang belum pernah saya dengar yang semisalnya, lalu ia berkata:
ومن أنا وما أنا حيث استجبت لي، ولكن عذت بحمدك وعذت بطولك
‘Siapa aku, apa kedudukanku, sehingga Engkau mengabulkan doaku… Namun aku berlindung kepada-MU dengan memuji-Mu dan aku berlindung kepada-Mu dengan karunia-Mu.’
Lelaki itu kemudian mengerjakan salat, hingga menjelang waktu Subuh, maka ia pun mengerjakan salat Witir. Ketika masuk waktu Subuh, ia pun mengerjakan salat sunah Fajar, lalu ia pun salat shubuh berjamaah bersama orang-orang lainnya, termasuk saya.”
Demikian kurang lebih penuturan Muhammad bin al-Munkadir.
Selanjutnya, Muhammad bin al-Munkadir berusaha mengikuti dan mengetahui identitas orang tersebut. Tak lama kemudian upaya itu berhasil. Ketika perbuatan dan identitasnya diketahui oleh Muhammad bin al-Munkadir, orang itu pun pergi menghilang dengan meninggalkan kediamannya. Muhammad bin al-Munkadir kembali berupaya mencarinya, namun ternyata sudah tidak bisa menemukannya.
[Ref.: Shifah as-Shafwah, vol. I, hlm. 403-404 dan Ayna Nahnu min Akhlaq al-Salaf, hlm. 24-26.]
Terdapat kisah yang mirip dengan itu namun lebih mengagumkan, yang dituturkan oleh tokoh Salaf lainnya, ‘Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 H, rahimahulllah). Kali ini kisahnya terjadi di Makkah.
Ketika itu, penduduk Makkah mengalami krisis kemarau. Mereka sudah melaksanakan salat Istisqa` namun hujan belum jua turun.
Hingga pada suatu malam, ‘Abdullah bin al-Mubarak melihat sosok berkulit hitam dan berpenyakitan berdoa di dalam masjid al-Haram,
اللهم إنهم قد دعوك فلم تجبهم وإني أقسم عليك أن تسقينا
‘Ya Allah, mereka telah memohon kepada-Mu namun belum Engkau kabulkan. Dan aku bersumpah atas nama-Mu agar kiranya Engkau menurunkan hujan kepada kami.’
Seusai ucapannya, hujan pun turun.
‘Abdullah bin al-Mubarak takjub dengan peristiwa tersebut dan kemudian menyelidiki identitas orang tersebut. Ternyata ia adalah seorang budak remaja yang berpenyakitan. ‘Abdullah bin al-Mubarak pun membelinya dari pemiliknya dengan harga 14 dinar dan kemudian membebaskannya. Ketika mengetahui kisah di balik pembeliannya dan identitasnya terbongkar, orang tersebut lantas berdoa,
اللهم إذ شهرتني فاقبضني إليك
“Ya Allah, Engkau telah menjadikan aku terkenal maka wafatkanlah aku.”
Orang itu pun wafat seketika itu jua. ‘Abdullah bin al-Mubarak dan penduduk Makkah pun berduka dengan kematiannya. [Ref.: Shifah al-Shafwah, vol. I, hlm. 444.]
☆ ☆ ☆ ☆ ☆
Demikian, semoga bermanfaat. Allahu a’lam.
04/07/2021
AdniKu