Sabtu, 12 Oktober 2024

Zaid dan Amar

Oleh Dr. Zamzam Afandi A., M.Ag.*

Bagi yang pernah menyantri, terutama di pesantren tradisional di seluruh pelosok tanah air ini, pasti sangat akrab dengan nama Zaid dan Amr. Bagaimana tidak, dalam pelajaran nahwu, mulai tingkat dasar, kitab Jurūmiah, tingkat menengah, nadham‘Imrīṭī hingga tingkat atas, Alfiyah Ibnu Mālik, contoh-contoh yang disajikan dalam berbagai teorinya mulai dari jumlah fi’liah, jumlah ismiah, syibhul jumlah, dan seterusnya selalu menyebut kedua nama-nama tersebut.
Saya belum pernah secara khusus mencari tahu atau menenliti mengapa fenomena ini terjadi. Adakah latar belakang sosial, budaya maupun politik yang menyelimutinya sehingga nama Zaid, Amr, dan Bakr begitu populer dan digandrungi oleh para ahli nahwu sehingga nama-nama lain tenggelam dan menghilang dari ingatan mereka? Hingga detik ini pun saya juga belum tahu persis jawabanya.
Namun suatu ketika, saya membaca sebuah buku bertitel al-Nadlarāt (berbagai renungan), karya seorang budayawan besar Mesir yang cukup terkenal di kalangan akademik dan mahasiswa, khususnya yang kuliah pada Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Program Studi Bahasa Bahasa dan Sastra Arab, yaitu Musṭafā Luṭfī al-Manfalūṭī (1293 H/1876 M). Al-Manfalūṭī termasuk penulis prolifilik yang sangat produktif. Di antara karya-karya monumentalnya ialah Majdūlīn (Magdalena), al-Fadhīlah, al- Ḥijāb, al-Syāir, Fī Sabīl al-Tāj, al-‘Ibādah, al-‘Abarāt dan al-Nadlarāt yang terdiri dari tiga jilid. Saya termasuk mahasiswa yang beruntung karena dapat memperoleh dan membaca sebagian besar karya-karya al-Manfalūṭī karena dijual di toko buku (al-Marhum) Gunung Agung yang berlokasi tepat di sebelah utara UIN Suanan Kalijaga.
Dalam al-Nadlarāt, jilid dua, halaman 15-18, ada satu tulisan dengan judul yang menarik perhatian saya: Zaid dan Amar (زيد وعمرو). Sebelum membaca, saya menyangka tulisan pendek ini berkisah tentang peran dua sosok dalam dunia politik atau dunia sastra. Ternyata isinya lebih dari sekadar yang menjadi ekspektasi saya. Membicarakan contoh nahwu (Zaid dan Amr) yang berakhir dengan tragedi politik yang menggegerkan negeri Irak.
Dawud Pasha/Basya (داود باشا) (1767–1851), penguasa terakhir Daulah Mamlukiah di Irak. Kekhilafahan semi otonomi di bawah Khalifah Utsmaniyah (Ottoman). Lahir di Georgia dengan nama Davit Manvelashvili sebagai pemeluk Kristen. Namun setelah dibebaskan dari statusnya sebagai budak (mamlūk), ia memeluk Islam. Karir militernya terus meroket hingga ia bisa menduduki jabatan politik tertinggi sebagai gubernur di Irak. Di samping aktif dan sibuk berurusan dengan dunia politik dan pemerintahan, Dawud juga sangat mencintai pengetahuan, salah satunya ialah nahwu. Sadar sebagai bukan orang Arab, untuk mendalami pengetahuan nahwunya ia harus belajar keras. Oleh karena itu, ia mengundang para guru atau ulama yang terkenal ahli nahwu pada masanya.
Setelah sekian lama belajar nahwu, mungkin karena bosan atau jengkel dengan contoh nahwu yang diberikan oleh sang guru nahwunya yang selalu menjadikan Amr sebagai objek kekerasan, dipukuli Zaid (ضرب زيد عمروا) dibunuh (قُتل عمرو), Dengan nada marah sambil menghentakkan kakinya, Dawud mengajukan sebuah pertanyaan.
- Apa dosa dan salah Amr sehingga ia layak mendapat perlakuan seperti itu setiap hari? Apakah Amr sedemikian lemah sehingga ia juga tidak dapat membalas sedikit pun atas semua hinaan tersebut?
+ Guru : Tuan, tidak ada yang memukul atau yang dipukul. Semua itu sekadar contoh agar mudah dipahami oleh para murid saja.
Jawaban sang guru tersebut tidak memuaskan Dawud, justeru membuatnya makin marah. Maka ia memerintahkan agar guru itu dimasukkan ke penjara. Kemudian Dawud minta dicarikan guru nahwu yang lain, ia juga mengajukan pertanyaan yang sama kepada guru nahwu barunya. Namun ia mendapat jawaban yang sama, maka guru itu pun juga dijebloskan ke dalam penjara. Setelah itu masih ada banyak guru yang diminta mengajar nahwu, lagi-lagi semua guru nahwu yang didatangkan ke istana Dawud mengalami nasib yang sama, dipenjara karena tidak mampu menjawab pertanyaan kenapa Amr selalu jadi objek kekerasan?
Habis sudah guru nahwu di Irak, tidak ada lagi guru nahwu yang mengajar di sekolah-sekolah, semua masuk penjara sehingga penuh para guru nahwu. Irak pun dibuat heboh karena kasus ini. Menjadi isu politik yang menjadi perhatian warga Irak.
Nampaknya semangat Dawud untuk belajar nahwu belum sirna, ia minta dihadirkan para pakar nahwu dari Bagdad. Para Ahli nahwu Bagdad sudah mendengar apa yang terjadi dengan para ahli nahwu Irak. Mereka pun sudah mempersiapkan jawaban atas pertanyaan Dawud. Delegasi para ahli nahwu Bagdad dipimpin oleh seorang pakar yang sudah sangat terkenal kepakarannya dalam ilmu nahwu.
Betul, setelah menghadap Dawud, ia mengajuakan pertanyaan seperti yang telah diduga. Pimpinan delegasi menjawab berikut.
+ Kesalahan dan dosa yang dilakukan Amr memang layak mendapatkan hukuman seperti itu atau bahkan lebih dari itu tuan.
Mendengar jawabannya, amarah Dawud mulai melemah, wajahnya tampak berseri, dan langsung melanjutkan pertanyaannya.
- Kenapa demikian, apa kesalahan Amr?
+ Ia telah melecehkan nama Tuan, ia telah mencuri wawu dari Tuan. Karena itu, para ahli nahwu sepakat memberi mandat pada Zaid agar menghajar Amr sebagai balasan atas kekurangajarannya terhadap Tuan (Perlu diketahui bahwa dalam gramatika Arab, kata داود asalanya ditulis dengan dua wawu sehingga berbunyi داوود), sedangkan wawu pada kata Amr (عمروا ) merupakan tambahan atau zaidah yang berfungsi sebagai pembeda atau tafriqah antara Umar dan Amr.
Mendengar jawaban tersebut, Dawud sangat gembira dan puas. Seketika ia berucap:
- Kamu adalah orang yang paling tahu di kolong langit dan bumi ini. Silahkan sekarang ajukan permintaan apa saja ke saya, akan saya penuhi.
+ Saya tidak meminta apa pun Tuan selain mohon para guru nahwu itu dibebaskan dari penjara. Permintaannya pun dikabulkan. Setelah itu, para para delegasi ahli nahwu Bagdad itu pulang dengan lega, membawa berbagai hadiah yang diberikan oleh Dawud Pasya.

* Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya,UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Status ustadz budiansyah abu nizar