Saat orang-orang ingin mengadakan majlis sama' Sunan An-Nasa'i dengan qiraah pada Imam Abu Thahir As-Silafi, mereka menyodorkan naskah tulisan Sa'd Al-Khair untuk kitab tersebut.
Naskah ini adalah manuskrip Sunan An-Nasa'i yang sudah diverifikasi dengan tashih sama'i pada Abu Muhammad Ad-Duni, gurunya Imam As-Silafi sendiri dalam riwayat Sunan An-Nasa'i.
Imam As-Silafi pun bertanya terlebih dahulu, "Di naskah itu ada tercantum nama saya atau tidak? Ahmad ibnu Muhammad?"
Mereka menjawab, "Tidak!"
Sontak, Imam As-Silafi pun menarik naskah tersebut dari tangan muridnya, dengan roman terbalut murka. Lalu beliau lempar naskah tersebut, seraya mengatakan, "Aku tidak meriwayatkan kecuali dengan naskah asliku sendiri!"
Para murid pun menyampaikan, "Tapi naskah ini ditulis oleh Sa'd Al-Khair, seorang hafizh yang tsiqah, dan beliau telah menuliskannya atas riwayat dari guru Anda (Ad-Duni)."
Imam As-Silafi menanggapi, "Kalau dalam naskah itu tercantum nama saya, bolehlah. Tapi kalau tidak, maka saya tidak akan menggunakannya untuk riwayat!"
# Demikianlah gambaran kejelian dan kedisiplinan para pembesar musnid di masa lampau. Mereka sangat jeli dalam memilah posisi yang tepat dalam riwayat, dan mereka amat disiplin untuk tidak menggunakan apa yang bukan milik mereka dalam majelis riwayat. Demi keotentikan sanad, dan demi mewujudkan sikap bersahaja apa adanya. Rahimahumullaahu rahmatan waasi'ah.
Ustadz babanya sofia
Ustadz nidlol mas'ud
Kisah ini, persisnya, diceritakan oleh Al-Hafizh Al-Mundziri, yang menceritakannya pada Ibnu Nuqthah. RH.
Lain waktu, beliau agak 'dinakali' oleh murid-muridnya. Dua murid beliau (yang juga sekaligus merupakan dua orang hafizh besar): Abdul Ghani Al-Maqdisi dan Abdul Qadir Ar-Ruhawi, RH, bermaksud untuk mendapatkan riwayat kitab As-Sunnah karya Imam Al-Lalaka'i dari Imam As-Silafi.
Mereka membawakan naskah kitab tersebut. Naskah yang dibawa oleh Abdul Qadir juga sudah merupakan naskah manuskrip yang valid. Mereka menyampaikan, "Kami bawa kitab As-Sunnah."
Imam As-Silafi pun melihat naskah tersebut, dan berkomentar, "Ini memang naskah yang akurat, dan kitab As-Sunnah termasuk sudah saya terima secara sama'i dari Abu Bakr Ath-Thuraitsitsi ketika di Baghdad".
Kedua murid mengatakan, "Kami ingin menyimakkannya di hadapan Anda." (guna mendapatkan sanad kitab tersebut dari beliau)
Sang Imam menjawab, "Bagaimana mungkin kalian membacakannya atas namaku dengan menggunakan naskah yang bukan naskah asliku?!"
Mereka kemudian meminta naskah asli beliau tersebut, dan beliau memperkenankan.
Nah, di lain waktu (nampaknya di majelis bebas kitab lain), kedua murid itu datang lagi ke beliau. Mereka ingin memasukkan agenda pembacaan kitab As-Sunnah tadi di majelis tersebut, tetapi denagn naskah kemarin yang bukan naskah asli beliau.
Abdul Qadir berkata pada Abdul Ghani, "Jangan engkau yang membacakan. Jangan juga saya. Sebab, kalau beliau bertanya pada kita sisa berapa lagi klip naskah ini, kita tidak akan bisa mengelabuhi beliau."
Lantas mereka berdua pun menyerahkan naskah kitab As-Sunnah tadi kepada murid lain bernama Al-Wajih. Al-Wajih ini langsung membacakannya di hadapan Imam As-Silafi.
Usaha agak sedikit berhasil. Namun, setelah berlangsung sejenak waktu, Imam As-Silafi tiba-tiba mengangkat kepalanya, memandang ke murid-muridnya, dan bertanya, "Kitab apa ini yang kalian baca?"
Mereka tidak bisa tidak menjawab, "Kitab As-Sunnah karya Al-Lalaka'i!"
Seketika As-Silafi menanggapi, "Kok kalian membacakannya atas namaku sementara di naskah itu tidak tercantum namaku?!"
Para murid masih berkilah, "Ini naskah yang akurat, dan sudah dicocokkan dengan naskah asli (Anda)."
Barulah, dengan jawaban ini Imam As-Silafi terdiam, dan mereka pun melanjutkan penyimakan kitab kepada beliau.
Dalam hikayat lain, beliau bersedianya karena dibujuk melalui sang istri.
Dalam pandangan lain, beliau RH justru tetap sampai wafat tidak bersedia mengesahkan sanad pembacaan tersebut!