Tritauhid ala Asy'ari
Sebagian orang memplesetkan pembagian tauhid menjadi tiga dengan istilah "tritauhid" (dimiripkan dengan trinitas kaum nasrani). Padahal, tauhid menurut ulama asyariah itu juga ada 3 (tiga), yaitu:
1. Tauhid Dzat.
2. Tauhid Sifat.
3. Tauhid Af'al (perbuatan).
Ini sebagaimana disebutkan Syaikh Kamal bin Abi Syarif bin Al-Hamam dalam Kitab Al-Musamarah (hal. 47) :
التوحيد هو اعتقاد الوحدانية في الذات والصفات والأفعال
"Tauhid adalah keyakinan tentang keesaan (Allah) dalam Dzat, Sifat, dan Af'al".
Al-'Allamah As-Sanusiy atau As-Sinusiy (salah satu ulama rujukan Asy'ariyah mutakhirin) dalam Syarah Ummul-Barahin juga membagi tauhid menjadi 3 jenis :
1- Tauhid Adz-Dzat (penetapan Allah hanya satu).
2- Tauhid Ash-Shifat (penetapan bahwa sifat Allah tidak disamai oleh makhluk).
3- Tauhid Al-Af'al (penetapan hak mutlak Allah dalam penciptaan, kodrat, dan pengurusan alam semesta).
Al-Bajuri rahimahullah juga menyatakan :
“Kesimpulannya bahwasanya wahdaniah/keesaan/ketauhidan Allah yang mencakup (1) Keesaan pada Dzat, (2) Keesaan pada sifat-sifat Allah, dan (3) Keesaan pada perbuatan-perbuatanNya…”
(Hasyiah Al-Bajuri ‘alaa Jauharot At-Tauhid, hal. 114)
Demikian juga tauhid menurut sufisme terbagi menjadi 3, yaitu :
1. Tauhid 'awam (orang-orang awam yang baru sampai syariat)
2. Tauhid khawash (orang-orang yang sudah makrifat)
3. Tauhid Khawashul khawash ( orang-orang yang sudah sampai pada tingkatan hakikat ).
Adapun pembagian tauhid menjadi dua, tiga, atau empat menurut ahlussunnah itu berdasarkan istiqra (penelitian menyeluruh) dari nash-nash yang ada jadi bukan hasil mengarang bebas.
Berikut di antara ulama ahlussunnah yang membagi tauhid menjadi tiga yakni tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid asma wa shifat :
1. Al-Imam Abu Hanifah (w. 150 H)
2. Al-Qadhi Abu Yusuf (w. 182 H)
3. Al-Imam Ath-Thabari (w. 310 H)
4. Al-Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi (w. 321 H)
5. Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari (w. 387 H)
6. Al-Hafizh Ibnu Mandah (w. 395 H)
7. Al-Imam Ibnu Abdul Barr (w. 463 H)
Dan lainnya dari kalangan para ulama Ahlul Hadits wal Atsar rahimahumullah baik kalangan salaf maupun khalaf.
Ada juga para ulama yang membagi tauhid menjadi dua yakni tauhid Al-Ma'rifat wal Itsbat dan tauhid Al-Qashdu wa Ath-Thalab diantaranya :
1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H)
2. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (w. 751 H)
Lalu, jika kita membaca Al-Qaulul Mufid yang ditulis oleh ulama kontemporer dari Yaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi Al-Abadi, beliau membagi tauhid menjadi empat yakni :
1. Tauhid rububiyah
2. Tauhid uluhiyah
3. Tauhid asma wa shifat
4. Tauhid mutaba'ah
Diantara referensinya terbaik dalam hal ini adalah kitab Al-Qaulus Sadid fir Raddi 'ala Man Ankara Taqsimat Tauhid karya Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah.
Berikut penjabaran pembagian tauhid menjadi 3 atau 2 jenis
أقسام التوحيد.
Macam-Macam Tauhid
التوحيد -باعتبار ما يتعلق بالله- أقسام ثلاثة:
At-Tauhid - berkaitan dengan apa yang berhubungan dengan Allah - memiliki tiga kategori:
توحيد الربوبية: وهو إفراد الله بأفعاله، كالخلق والملك والتدبير.
Tauhid ar-Rububiyah; yaitu Mengesakan Allah dalam seluruh perbuatan-Nya (terhadap hamba-Nya), seperti penciptaan, penguasaan, dan pengaturan.
توحيد الألوهية: وهو إفراد الله بالعبادة، كالدعاء والذبح والنذر.
Tauhid al-Uluhiyah: yaitu mengesakan Allah dalam ibadah, seperti (berdoa) hanya kepada Allah, dan juga sembelihan dan nadzar.
توحيد الأسماء والصفات: وهو إفراد الله بما يختص به من الأسماء والصفات.
Tauhid al-Asma’ wa Shifaat: yaitu mengesakan Allah dengan apa yang khusus dari seluruh nama dan sifat Allah.
وهو -باعتبار ما يطلب من العبد- قسمان:
Tauhid – berdasarkan atas apa yang dituntut dari hamba – ada dua jenis:
1. توحيد المعرفة والإثبات، وهو التوحيد العلمي الخبري، ويشمل توحيد الربوبية والأسماء والصفات.
Tauhid al-Ma’rifah wal Itsbat (Tauhid Ma’rifah dan Penetapan), dan itu adalah tauhid al-Ilmi al-Khobari (teoritis dan berupa keyakinan) yang meliputi tauhid Ar-Rububiyah dan al-Asma’ was Shifaat.
2. توحيد الطلب والقصد، وهو التوحيد العملي، ويشمل توحيد الألوهية، والمراد به توحيده في الطلب التعبدي، والقصد التعبدي.
Tauhid at-Tholab wal Qoshd. Yaitu at-Tauhid al-‘Amali (terapan), dan itu meliputi Tauhid al-Uluhiyah dan yang dimaksudkan adalah mentauhidkan Allah dalam at-Tholab at-Ta’abudi - permintaan khusus dalam peribadahan dan al-Qoshdu at-Ta’abudi – tujuan khusus dalam peribadahan.
والدليل على هذا التقسيم هو السبر والتقسيم واستقراء النصوص، فكما قسم العلماء العلم إلى فقه وحديث وتفسير، فكذلك قسموا التوحيد إلى هذه الأقسام، فبالنظر إلى النصوص نجد أن الله عز وجل يخاطب الكفار بالربوبية فيلزمهم بها على الألوهية، أو أنه يثبت لهم إيمانا في أمر وكفرا في أمر آخر، فيكون إيمانا مقيدا، وهذان يدلان على التقسيم.
Dan dalil atas pembagian tersebut adalah berdasarkan penyelidikan, pembagian dan istiqro’ mengekstrapolasi berbagai teks, sebagaimana para ulama membagi ilmu menjadi fikih, hadits dan tafsir, maka begitu pula mereka membagi tauhid menjadi 3 macam tersebut, dan ketika menelaah kepada berbagai macam nash maka kita dapati bahwa Allah itu mengajak bicara kepada orang-orang kafir dengan rububiyah-Nya dan mengharuskan mereka untuk berada di atas tauhid al-Uluhiyah, atau bahwa Allah menetapkan bagi mereka iman dalam suatu perkara dan menetapkan kekufuran dalam perkara lainnya. Maka hal tersebut adalah iman yang terbatas, dan kedua hal tersebut menunjukkan kepada pembagian tersebut.
قال تعالى: {ولئن سألتهم من خلقهم ليقولن الله فأنى يؤفكون}، وقال: {قل من يرزقكم من السماء والأرض أمن يملك السمع والأبصار ومن يخرج الحي من الميت ويخرج الميت من الحي ومن يدبر الأمر فسيقولون الله فقل أفلا تتقون}، وهذا في توحيد الربوبية.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?, (QS. Az-Zukhruf: 87)
Dan Allah berfirman:
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" (QS. Yunus: 31)
Dan ini adalah dalil tentang Tauhid ar-Rububiyah.
وقال: {فاعلم أنه لا إله إلا الله}، وقال: {ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت}، وقال: {وما أرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون}، وهذا في توحيد الألوهية.
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah) (QS. Muhammad: 19) dan Allah Ta’ala berfirman: ( Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu) (QS. An-Nahl: 36)
Dan Allah Ta’ala berfirman: Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. Al-Anbiyaa: 25)
Dan ini adalah (dalil) dalam Tauhid al-Uluhiyah.
وقال: {ليس كمثله شيء وهو السميع البصير}، وهذا في توحيد الأسماء والصفات.
Dan Allah Ta’ala berfirman: Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS. Asy-Syura: 11)
Dan ini adalah Tauhid al-Asma’ was Shifaat.
وقال: {رب السماوات والأرض وما بينهما فاعبده واصطبر لعبادته هل تعلم له سميا}، وهذا في الأنواع الثلاثة
Allah Ta’ala berfirman:
Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? (QS. Maryam: 65)
Dan ini berkaitan dengan dalil dari Ketiga macam tauhid tersebut.
والعلاقة بين هذه الأقسام هي أن توحيد الألوهية متضمن لتوحيد الربوبية والأسماء والصفات، وتوحيد الربوبية والأسماء والصفات مستلزم لتوحيد الألوهية.
Hubungan antara macam-macam tersebut adalah bahwa Tauhid Uluhiyah mencakup tauhid Rububiyah dan Asma’ was Sifat.
Tauhid Rububiyah dan Asma wa Shifat adalah mengharuskan adanya Tauhid Uluhiyah.
فالربوبية تذكر في القرآن لأمرين:
Tauhid Rububiyah disebutkan dalam al-Qur’an dalam dua perkara:
1. للإلزام بتوحيد الإلهية، قال تعالى: {يا أيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم…} إلى قوله: {تعلمون}.
1. Untuk mengharuskan tauhid Uluhiyah, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu …) sampai ayat (padahal kalian mengetahui) (QS. Al-Baqarah: 21-22)
2. ولتعظيم الله سبحانه وتعالى، قال تعالى: {فقلت استغفروا ربكم إنه كان غفارا يرسل السماء عليكم مدرارا…} إلى قوله: {مالكم لا ترجون لله وقارا}.
2. Untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah Ta’ala berfirman:
maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,
sampai pada ayat, Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? (QS. Nuh 10-13)
والألوهية والربوبية لفظان يجتمعان ويفترقان، فإذا اجتمعا في الذكر افترقا في المعنى، وإذا افترقا في الذكر اجتمعا في المعنى، كلفظ الفقير والمسكين ونحوه. والتوحيد إذا أطلق فالمراد به توحيد الألوهية.
Uluhiyah dan Rububiyah adalah dua lafazh yang bisa bersatu dan bisa berpisah. jika bersatu maka mempunyai makna sendiri-sendiri, jika berpisah dalam penyebutan maka maknanya menyatu, seperti lafazh faqir dan miskin dan yang semisalnya. Tauhid jika dimutlakkan maka yang dimaksudkan dengannya adalah Tauhid Uluhiyah.
فإن الخلق مجمعون على إفراد الله بالربوبية وكمال صفاته، وقد أثبته الله لهم كما في قوله: {وما يؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون}، فدل على أنه إذا أطلق لا يراد به غير الألوهية لأن غيره حاصل.
Seluruh makhluk Allah bersepakat dalam mengesakan Allah dengan Rububiyah dan kesempurnaan sifat-Nya. Allah telah menetapkannya bagi makhluk-Nya sebagaimana firman Allah: “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106). Maka ini menunjukkan bahwa jika dimutlakkan penyebutan tauhid tidak dimaksudkan dengannya selain penyebutan Uluhiyah karena tauhid selainnya adalah telah ada (dengan sendirinya konsekuensi dari Tauhid Uluhiyah adalah telah ditegakkan Tauhid Rububiyah dan Asma wa Sifat).
والرسل دعت إلى التوحيد وأرادت الألوهية، قال تعالى: {وما أمروا إلا ليعبدوا إلها واحدا لا إله إلا هو}، وفهم المخاطبون بالرسالات هذا المفهوم من خطابها: {قالوا أجئتنا لنعبد الله وحده ونذر ما كان يعبد آباؤنا} وقالوا: {أجعل الآلهة إلها واحدا}.
Para Rasul menyeru kepada tauhid, dan tauhid yang dituju ini adalah tauhid Uluhiyah, Allah Ta’ala berfirman:
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. (QS. At-Taubah: 31). Dan pemahaman orang yang diajak bicara dengan risalah dan ini adalah apa yang bisa dipahami dari redaksional ayat:
Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami? (QS. Al-A’raaf: 70) dan Mereka berkata, “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja?” (QS. Shaad: 5).
الرد على شبهات في تقسيم التوحيد:
Bantahan terhadap syubhat dalam pembagian Tauhid:
Syubhat pertama:
1. يزعم بعضهم أنه يلزم من إثبات أقسام التوحيد الثلاثة تعدد الآلهة، وأنها تصير ثلاثة.
Sebagian orang mengira bahwa pembagian tauhid menjadi tiga itu mengharuskan sesembahan yang berbilang, dan jumlahnya menjadi tiga.
والجواب: أنه لا تلازم، فإن هذه الأقسام هي حقوقه التي يجب أن يوحد فيها لا أنها ذوات منفصلة عنه، وهذه هي عين شبهة منكري أسماء الله وصفاته كالجهمية وغيرهم، حيث يدَّعون أنَّه يلزم من إثبات الأسماء والصفات تعدد القدماء، حتى إن جهماً شيخ القوم نقل عنه أنَّه قال: لو قلت إنَّ لله تسعة وتسعين اسماً لعبدت تسعة وتسعين إلهاً.
Jawab: Sesungguhnya hal tersebut tidak mengharuskan demikian, karena pembagian itu adalah hak-haknya tauhid yang wajib dalam rangka menyatukan di dalamnya bukan karena mempunyai dzat yang terpisah darinya, Dan ini adalah sumber syubhat para pengingkar Nama-nama dan Sifat-Sifat Allah seperti Jahmiyah dan selain mereka. Dimana mereka mengklaim bahwa ada keharusan untuk menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang telah ditetapkan oleh orang-orang terdahulu, bahkan Jahm bin Sofyan (tokohnya Jahmiyah) dinukil darinya bahwa dia mengatakan, “Kalau aku katakan bahwa bagi Allah ada 99 nama maka tentunya aku harus beribadah kepada 99 sesembahan.”
وهذا بعينه متلقى من عُبَّاد الأصنام المشركين بالله تعالى، حيث قالوا: يدعو محمدٌ إلى إله واحد، ثم يقول: يا الله يا سميع يا بصير، فيدعو آلهةً متعدِّدة، فأنزل الله: {قُلِ ادْعُوا اللهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيّاً مَّا تَدْعُوا فَلَهُ الأَسْمَآءُ الحُسْنَى}، فأيُّ اسمٍ دعوتموه به فإنَّما دَعَوْتُم المُسمَّى بذلك الاسم، فأخبر سبحانه أنَّه إله واحدٌ وإن تعدَّدت أسماؤه الحُسنى المشتقَّة من صفاته.
Hal ini khususnya diterima dari para penyembah berhala yang mengagung-agungkan Allah Ta’ala, Dimana mereka mengatakan: Muhammad berdoa kepada Ilah sesembahan yang satu, kemudian dia mengatakan: Ya Allah Ya Sami’ (Dzat Yang Maha Mendengar), Ya Bashir (Dzat Yang Maha Melihat) maka dia telah berdoa kepada sesembahan yang berbeda-beda, maka Allah menurunkan ayat:
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).” (QS. Al-Isra: 110).
Apa pun nama yang kalian berdoa dengannya, maka kalian telah menyeru dengan nama tersebut, maka Allah telah mengabarkan bahwa Allah adalah sesembahan yang satu meskipun Namanya-namanya yang indah diambil dari sifat-sifat-Nya banyak sekali.
Syubhat kedua:
2. يقول بعضهم بأنه لا فرق بين الربوبية والألوهية، وأن التفريق باطل.
2. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara rububiyah dan uluhiyah dan sesungguhnya pembedaan itu adalah batil.
والجواب أن يقال لهم ماذا تقولون في من يقول بأن الله خالق رازق مدبر لكنه يؤمن بالأصنام ويعبدها؟ فإن قالوا بأنه مسلم فقد خالفوا إجماع المسلمين بل كفروا بالله، وإن قالوا بأنه مشرك فيقال لهم: ماذا تسمون اعتقاده بأن الله وحده هو الخالق والرازق والمدبر، فإن قالوا نسميه توحيدا فيقال لهم: من أين جاءه الشرك وقد جاء بالتوحيد، وإن قالوا: هو جاء بجزئ من التوحيد وخالف في جزئ آخر فيقال لهم قد خالفتم وفرقتم وهدمتم قولكم.
Jawab: Hendaknya dikatakan kepada mereka apa yang kalian akan katakan kepada orang yang berkata bahwa Allah adalah Dzat Yang mencipta, memberi rezki, yang mengatur namun dia beriman dengan berhala dan beribadah kepadanya? Maka jika mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan tersebut adalah seorang muslim maka dia telah menyelisihi ijma’ kaum muslimin bahkan telah kafir terhadap Allah, dan jika mereka mengatakan model orang tersebut adalah seorang musyrik maka dikatakan kepada mereka, “Apa yang kalian sebut tentang keyakinannya bahwa Allah itu adalah Dzat Yang Mencipta, Yang Memberikan rezki, Yang mengatur, maka jika mereka mengatakan, “Kami menamakannya tauhid” maka dikatakan kepada mereka, “ Dari mana datangnya kesyirikan padanya padahal dia telah membawa tauhid? Jika mereka mengatakan, “orang tersebut telah membawa sebagian dari tauhid dan menyelisihi sebagian lainnya, maka dikatakan kepada mereka, maka kalian telah menyelisihi dan memisahkan dan menghancurkan perkataan kalian.
ثم إن عدم التفريق بين توحيد الربوبية وتوحيد الألوهية جهل باللغة وبالشرع، ففي اللغة فرق بين الرب والإله مبنى ومعنى، فأما من جهة المبنى فالإله فعال بمعنى مفعول كبساط بمعنى مبسوط، فإله على زنة اسم المفعول، وأما الرب فأصلها رابٌّ، وهي على زنة اسم الفاعل، وفرق بين اسم الفاعل واسم المفعول.
Kemudian, Sesungguhnya tidak adanya pembedaan antara tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah maka itu adalah jahil terhadap bahasa dan syar’i. Maka dalam bahasa ada perbedaan antara Rabb dan al-Ilah secara struktur komponen penyusun katanya dan maknanya. Dari sisi struktur komponen penyusunnya maka al-Ilah itu mempunyai rumus fa’aala dengan makna maf’ul (objek) seperti basaath (bentangan) dengan makna mabsuuth (yang dibentangkan), maka al-Ilah dengan rumusan isim maf’ul (ma’luh yang diibadahi) sedangkan ar-Rabb maka asal katanya adalah Raabbun menurut rumusan isim fa’il dan beda antara isim fa’il dan isim maf’ul.
وأما من جهة المعنى فالألوهية التي هي مصدر إله ليست هي الربوبية التي هي مصدر الرب، فالإلهية بمعنى العبادة والتذلل باتفاق أهل اللغة، والإله هو المعبود بإجماع أهل العلم (ابن عبدالبر)،
Dan sedangkan menurut sisi makna maka Uluhiyah yang dia adalah mashdar kata Ilah dan rububiyah itu bukanlah mashdar dari kata ar-Rabb, maka al-Ilahiyah dengan makna ibadah dan at-tadalul (perendahan diri) dengan kesepakatan ahli bahasa. Dan al-Ilah itu adalah al-Ma’bud (yang diibadahi) dengan ijma ahli ilmu (Ibnu Abdil Barr).
فأله يأله إذا ذل وتعبد، وأما الربوبية فإن الرب هو المالك السيد، فأين معنى المعبود من معنى المالك السيد.
Maka fi’il kata kerja Alaha – Ya’lahu jika merendahkan diri dan beribadah, sedangkan Rububiyah maka sesungguhnya ar-Rabb itu itu adalah al-maalik Dzat Yang Maha Menguasai, as-Sayyid (Dzat Yang Memiliki), maka Dimana makna al-Ma’bud (yang diibadahi) dari makna al-maalik as-sayyid. Dzat Yang Maha Menguasai, as-Sayyid (Dzat Yang Memiliki).
وأما في الشرع فإن هذا القول يلزم منه أن يكون قوله تعالى: {قل أعوذ برب الناس} هو مثل قوله: {إله الناس} وأنه تكرار لا فائدة منه، وهذا قول باطل ينزه عنه كلام الله سبحانه وتعالى.
Dan secara syar’I maka perkataan ini mengharuskan firman Allah Ta’ala: “Katakanlah aku berlindung dengan Rabb nya manusia.” Lafazh ini seperti firman Allah, “Ilaahin Naas – Sesembahannya manusia” dan bahwa pengulangan itu tidak ada faidah darinya. Ini adalah perkataan yang bathil, disucikan darinya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Syubhat Ketiga:
3. يزعم بعضهم أن هذا التقسيم محدث أحدثه محمد بن عبد الوهاب، وبعضهم يقول ابن تيمية، والجواب من أوجه ثلاثة:
3. Ada yang berpendapat bahwa pembagian tiga tauhid tersebut adalah hasil inovasi dan diperkenalkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan ada pula yang mengatakan (yang membuatnya adalah) Ibnu Taimiyyah, dan jawabannya ada tiga aspek:
الأول: أنه وإن كان محدثا فمادام أن دليله الاستقراء فلا إشكال، ولا مشاحة في الاصطلاح.
Yang pertama: Sekalipun itu adalah hasil inovasi itu maka itu dalilnya adalah istiqro-i (bersifat induksi) maka tidak ada masalah, tidak ada perbedaan pendapat dalam istilah (terminology).
والثاني: أن هذا الافتراء باطل، فقد ذكر هذا التقسيم جماعة من أهل العلم المتقدمين إما بتصريح أو بإشارة إليه، ومنهم: ابن بطة العكبري وابن مندة وأبو يوسف وأبو حنيفة والطحاوي وابن جرير الطبري والقرطبي وابن حبان والطرطوشي وغيرهم.
Yang kedua: ini adalah iftira’ (mengada-ada suatu perkara yang tidak ada dasarnya – syubhat diatas) yang batil, Maka telah disebutkan pembagian tauhid ini oleh banyak ulama terdahulu, baik dengan terang-terangan atau dengan isyarat kepadanya. Para ulama itu antara lain: Ibnu Baththoh al-‘Ukbariy, Ibnu Man, dahAbu Yusuf, Abu Hanifah, at-Thohawi, Ibnu Jarir at-Thobariy, al-Qurthuby, Ibnu Hibban, at-Thurthusy dan selain mereka.
والثالث: أن عامة المتكلمين يقسمون التوحيد إلى ثلاثة أقسام، فيقولون هو واحد في ذاته لا قسيم له، وواحد في صفاته لا شبيه له، وواحد في أفعاله لا شريك له، وتقسيم هؤلاء ينطوي على أمور باطلة كثيرة ليس هذا موضع بيانها، لكن المراد بيان أنهم أنفسهم يقسمون.
Yang Ketiga: Sesungguhnya kebanyakan para ahli filsafat membagi tauhid menjadi tiga macam, maka mereka mengatakan dia adalah satu dalam dzatnya tidak terbagi-bagi, satu dalam sifat-Nya tidak ada yang serupa bagi-Nya, satu dalam seluruh perbuatan-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, dan pembagian yang dilakukan mereka itu mengandung banyak perkara yang batil. hal ini bukan tempat untuk menjelaskannya, namun yang dimaksud adalah untuk memperjelas bahwa mereka sendiri yang telah membuat pembagian.
Syubhat keempat:
4. أضاف بعض الحركيين قسما رابعا وهو توحيد الحاكمية، وهذا التقسيم لا يصح، وذلك لأمرين:
4. Sebagian orang Harokiyun ( tambahan: Orang-orang harokah adalah suatu kaum yang (kelihatannya) berjuang untuk Islam. Mereka berpendapat bahwa memahami agama ini tidaklah cukup untuk memperjuangkan Islam, sampai setiap individu bergabung di dalam suatu gerakan dakwah, yang didalamnya mereka diperintah dan dilarang, (mereka harus) mendengar dan taat. Kegiatan ini kebanyakan disertai dengan bai’at dan sumpah setia, meskipun mereka berada di dalam suatu negara yang dipimpin oleh penguasa muslim.) menambahkan pembagian tauhid menjadi empat yaitu Tauhid Hakimiyah. Dan pembagian yang keempat ini tidak benar, alasannya ada dua perkara:
الأول: أنه بمقتضى مفهوم التقسيم يكون كل قسم مغايرا للقسم الآخر، وأما توحيد الحاكمية فداخل في توحيد الربوبية والألوهية، فإن أريد به التشريع والتحليل والتحريم فهذا توحيد الربوبية، وإن أريد به التعبد بذلك فهذا توحيد الألوهية.
Pertama: Menurut konsep pembagiannya, memberikan konsekuensi bahwa setiap macam tauhid berbeda dengan macam lainnya. Sedangkan Tauhid Hakimiyah itu telah masuk dalam tauhid Rububiyah dan Uluhiyah. Maka jika yang diinginkan itu adalah Tasyri’ (pensyariatan), Tahliil (penghalalan), Tahriim (pengharaman) maka ini adalah tauhid Rububiyah, dan jika yang diinginkan itu adalah peribadahan kepada yang demikian maka sudah masuk pada tauhid Uluhiyah.
فإن قيل: نفرده بالذكر لكثرة المخالفين فيه كتوحيد الأسماء والصفات أفرد بالذكر لكثرة المخالفين فيه مع أنه داخل في توحيد الربوبية، فالجواب يتضح بالوجه الثاني، وهو: أن إفراد الحاكمية بقسم يكون سبب غلو في هذا التوحيد، والغلو فيه هو سبب أول تفرق وتحزب بدعي كان في الأمة الإسلامية، فإن سبب خروج فرقة الخوارج هو الغلو في مسألة الحاكمية، فتبين أنه فرق بين المخالفة في الأسماء والصفات والمخالفة في الحاكمية، فأما الأسماء والصفات فالمخالفون فيها جفوا ولم يثبتوا، فكان ذكرها وإبرازها متعين ومطلوب، وأما الحاكمية فالمخالفون فيها غلوا وبالغوا في الإثبات، فكان عدم إظهارها أكثر هو المتعين، على أن الخطأ في الحاكمية لا يكون كفرا أكبر إلا إن صاحبه اعتقاد كفري، فمثله لا يكون قسيما للألوهية والربوبية والصفات إلا من أهل الغلو.
Maka jika dikatakan: Kami pilihkan ( tauhid Hakimiyah ) untuk disebutkan karena banyaknya penentang dalam pembagian tauhid yang tiga, seperti halnya tauhid asma wa shifat yang disebutkan, karena banyak penentangnya, padahal bisa termasuk dalam tauhid Rububiyah, maka jawabnya adalah jelas dengan sisi jawaban yang kedua, yaitu dipilihnya Tauhid Hakimiyah sebagai macam dari tauhid itu bisa menyebabkan ghuluw berlebih-lebihan dalam tauhid. Dan ghuluw (sikap berlebih-lebihan) itu adalah sebab awal munculnya perpecahan, kelompok-kelompok ahli bid’ah pada umat Islam. Maka sebab munculnya Khawarij adalah ghuluw dalam masalah Hakimiyah. Dan jelas perbedaan penyimpangan dalam asma wa shifat dan penyimpangan dalam Hakimiyah. Adapun penyimpangan terhadap Tauhid asma was shifat adalah kering dan tidak terbukti, sehingga penyimpangan tersebut perlu dan wajib untuk disebutkan dan ditonjolkan. Sedangkan
Adapun mengenai tauhid hakimiyah, orang-orang yang menyimpang didalamnya adalah ghuluw (berlebih-lebihan) bahkan sampai pada level penetapan, Hal ini tidak perlu dipertegas lagi, mengingat kesalahan dalam hakimiyah (penghukuman penguasa) bukanlah merupakan kekafiran yang besar kecuali disertai dengan keyakinan kekafiran, karena hal yang demikian tidak dapat dianggap sebagai tambahan pembagian tauhid dari tauhid Uluhiyah, Rububiyah, asma wa shifat kecuali dari orang-orang yang ghuluw alias extrimis.
Ayman abdullah