Kamis, 31 Oktober 2024

lembaga nasional dan internasional tidak bermadzhab

Diantara lembaga fatwa yang "tidak bermadzhab" adalah DSN-MUI. Sampai-sampai mereka mengembangkan sendiri metode penetapan fatwanya dalam 4 kaidah besar yang dinamakan "makhorij fiqhiyyah":
1. At-Taysir al-Manhaji
2. Tafriq al-Halal 'an al-Haram
3. I'adatun Nazhor
4. Tahqiq al-Manath

Itu yang level nasional, sementara lembaga fatwa yg levelnya internasional seperti AAOIFI, majma' fiqih OKI, konferensi² internasional membahas suatu hukum tertentu spt penetapan kalender islam, dll, sudah barang tentu lintas madzhab, tidak terikat dengan satu madzhab saja, namun tetap mengkaji seluruh pandangan dalam madzhab² yang ada. 

Dalam lingkup yg lebih sempit, tiap² pribadi pembelajar (tholibul ilmi) pada dasarnya juga harus berusaha mencari pendapat fikih yang mendekati petunjuk Al-Qur'an dan As-Sunnah, tanpa terikat dengan satu madzhab tertentu. 

Adapun bagi awam yg sama sekali tidak memiliki kemampuan "memahami" dalil, maka cukup baginya bertanya kepada ahli ilmu yg dia tsiqoh kepadanya, tanpa ada kewajiban mengikuti seluruh pandangan madzhab tertentu. 

Fiqih madzhab hanya membantu dalam tangga keilmuan fikih, meski itu bukan satu-satunya cara dalam belajar fikih.

Wallahu a'lam.
https://www.facebook.com/share/p/1WqeTFrEt1/

Rabu, 30 Oktober 2024

Tidaklah aku ditimpa musibah, pasti aku akan menganggapnya perkara yang besar. Maka aku pun mengingat dosa-dosaku, sehingga aku menganggap (musibah tersebut) hanyalah perkara yang kecil.

P E N G I N G A T  D I R I

Seorang Tabi'i, Mutharrif bin Abdullah mengatakan, 

"Tidaklah aku ditimpa musibah, pasti aku akan menganggapnya perkara yang besar. Maka aku pun mengingat dosa-dosaku, sehingga aku menganggap (musibah tersebut) hanyalah perkara yang kecil. "

Al-'Uqūbāt karya Ibnu Abid Dunya
____________

Ustadz abu razin taufiq

Selasa, 29 Oktober 2024

Siapa yang tidak mencintai ilmu (agama), tidak ada kebaikan untuknya

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,

مَنْ لَا يُحِبُّ الْعِلْمَ لَا خَيْرَ فِيهِ

“Siapa yang tidak mencintai ilmu (agama), tidak ada kebaikan untuknya.”

"Seorang tidak bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat; bukan berarti dia tidak mengambil perkataan para ulama sama sekali...

SYAIKH PROFESOR DOKTOR IBRAHIM BIN ‘AMIR AR-RUHAILI -hafizhahullaah- berkata:

"Seorang tidak bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat; bukan berarti dia tidak mengambil perkataan para ulama sama sekali...

Akan tetapi sebagian orang memberikan pernyataan: “Jika seseorang tidak bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat; maka berarti dia tidak kembali kepada seorang ulama pun!” Maka ini tidak benar. Ini masalah lain; yaitu bahwa ahli ilmu jika mengatakan bahwa dia tidak bermadzhab dengan madzhab tertentu; maka maknanya dia tetap kembali kepada para ulama dan mengambil faedah dari ilmu mereka...

DAN UMUM NYA PENUNTUT ILMU PADA ZAMAN SEKARANG ADALAH TIDAK BERMADZHAB DENGAN MADZHAB TERTENTU. Mereka menulis kitab-kitab tapi tidak mengambil dari kepala (pendapat) mereka sendiri, justru mereka kembali kepada perkataan para ulama. Oleh karena itulah mereka menukil dari Abu Hanifah, dari Malik, dari Asy-Syafi’i, dari Ahmad, dari Ibnu Taimiyyah, dari Al-Albani, dari Bin Baz. Inilah jalan yang benar, dengan tanpa bermadzhab dengan madzhab tertentu..."

diterjemahkan dengan ringkas oleh: Ahmad Hendrix

Untuk selengkapnya: https://www.facebook.com/share/p/p9sUkjVsFXTKrqvs/?mibextid=oFDknk

SHALAT MALAM & DHUHA, ADA APA?Pada

SHALAT MALAM & DHUHA, ADA APA?

Pada asalnya shalat dhuha itu dilaksanakan ghibban yakni selang-seling hari. Berkata Al Ba'liy rahimahullah,

وتسن صلاة الضحى غبا أو يوما بعد يوم.

"Dan dianjurkan shalat dhuha secara ghibban, yaitu sehari dilakukan kemudian lusa baru dilakukan lagi." [Kasyful Mukhaddarât, hal. 157]

Hanya saja, bagi sesiapa yang tidur lelap dan sering terlewat shalat malam maka hendaknya ia mengqadhanya di siang hari dengan shalat dhuha. Maka bisa jadi ia dawam shalat dhuha jika tiap malam ia terlewat shalat malam. Rasul shallallahu 'alayhi wasallam bersabda,

مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ، أَوْ عَنْ شَىْءٍ مِنْهُ، فَقَرَأَهُ فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ؛ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ

"Sesiapa yang tidur sebelum menyelesaikan hizb-nya (wirid bacaan Quran, dzikir, atau shalatnya), atau sesuatu darinya, maka ia membacanya (men-qadhanya) di waktu antara shalat shubuh dan shalat zhuhur (Dhuha), maka dituliskan untuknya seakan-akan ia melakukannya di malam hari." [Muslim, Shahih]

Berkata Al Ba'liy rahimahullah,

واختار الشيخ تقي الدين المداومة لمن لم يقم الليل

"Syaikh Taqiyyuddin memilih agar Dhuha itu didawamkan bagi sesiapa yang tidak shalat malam." [Kasyful Mukhaddarât, hal. 157]

Syaikh Shâlih al Munajjid hafizhahullah mengatakan,

فتبين بذلك: أن من فاته وردُه، كلُّه أو بعضه؛ فإنه يستحب له أن يقضيه بالنهار...

"Maka jelaslah, bahwa sesiapa yang terlewat wiridnya (kebiasaan ibadahnya) di waktu malam, seluruhnya atau sebagiannya, maka ia dianjurkan untuk mengqadhanya di siang hari..." [https://islamqa.info/ar/answers/398062/]

Jadi bagi anda ahli schroll medsos yang sering kali terlewat shalat malam, mulailah berbenah! Namun jika anda terlewat shalat memang karena kelelahan bekerja (bukan main medsos), anda bisa mengamalkan anjuran ini, yakni meng-qadha shalat malam di siang hari dengan dhuha, minimalnya dua raka'at, maksimal delapan.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat.

✒️ Abu Hazim Mochamad Teguh Azhar, MA.

NASEHAT_BIN_BAZ#TENTANG_BERMADZHAB

#NASEHAT_BIN_BAZ
#TENTANG_BERMADZHAB

Siapa yang tak kenal Syaikh Mufti Al Faqih Abdul Aziz bin Baz رحمه الله seorang Imam Ahlis Sunnah dan Mufti Dunia, ulama yang bermadzhab Hanbali tetapi dalam fatwa-fatwanya beliau mengedepankan dalil dan tidak fanatik kepada madzhabnya, diantara nasehat beliau ketika menjawab pertanyaan seputar bermadzhab :

▪ Apakah seseorang boleh meninggalkan madzhab yang telah ia ikuti dan berpindah ke madzhab lain, kapan itu dibolehkan?

👉Syaikh Bin Baz رحمه الله menjawab :
Madzhab yang empat bukanlah suatu hal yang wajib bagi manusia, adapun ungkapan bahwa setiap penuntut ilmu atau setiap muslim harus mengikuti salah satu dari empat madzhab adalah ungkapan yang fasid [rusak], tidak benar. karena yang wajib untuk diikuti adalah apa yang telah disyariatkan oleh Allah melalui lisan RasulNya shallallahu alaihi wasallam, karena tidak ada seorang pun [selain Nabi] yang wajib diikuti [dan diambil] pendapatnya, tidak pula para imam yang empat [Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad], karena yang wajib adalah mengikuti Nabi shallallahu alaihi wasallam dan berjalan diatas manhaj beliau dalam berhukum dan syariat. Maka tidak boleh taqlid kepada siapapun orangnya, tetapi yang wajib adalah ittiba' kepada Nabi dan mengambil syariat Allah melalui sunnahnya, baik itu sesuai empat imam madzhab atau menyelisihi mereka, inilah yang benar. !

Maka dari sini dapat difahami bahwa tidak ada kewajiban untuk mengikuti satu madzhab tertentu, kalau seandainya seseorang mengambil pendapat Imam Ahmad dalam suatu masalah dan menisbatkan kepadanya, kemudian ia berpindah ke madzhab Syafi'i dalam masalah yang sama atau dalam masalah-masalah lainnya karena sesuai dengan dalil maka tidak mengapa, atau berpindah ke madzhab Malik atau ke madzhab Abu Hanifah maka tidak mengapa yang terpenting adalah mengikuti dalil. 

Jika dalam suatu masalah seseorang mengikuti madzhab Ahmad kemudian ia melihat bahwa dalil [yang kuat] bersama Malik, atau Syafi'i, atau Abu Hanifah, atau Dzahiriyah, atau bersama ulama salaf lainnya maka ia [harus] mengikuti dalil tersebut, karena pijakannya adalah dalil. Sebagaimana firman Allah (Qs. An Nisa : 59) :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)". 
yaitu dalam permasalahan khilaf [perbedaan pendapat] dikembalikan kepada dalil.

Adapun permasalah ijma' [yang telah disepakati] maka tidak perlu diperdebatkan lagi, wajib bagi setiap muslim untuk mengambil apa yang disebutkan [ijma'] ulama dan tidak boleh menyelisihi mereka.
Sedangkan dalam permasalah khilaf dan perbedaan pendapat maka penuntut ilmu wajib melihat kepada dalil, jika nampak baginya dalil bersama Ahmad, atau Malik, atau Abu Hanifah, atau yang lainnya maka wajib baginya mengikuti dalil dan konsisten diatas dalil, tidak mengikuti hawa nafsu dan syahwat, tapi mengikuti dalil.

Jika ada seseorang yang berpindah dari madzhab ke madzhab lainnya karena mengikuti hawa nafsunya, apabila pendapat madzhab tertentu sesuai keinginanya ia pilih, atau memilih madzhab tertentu karena mengikuti syahwatnya maka ini tidak boleh, ini adalah mempermainkan. Tetapi jika seseorang berpindah dari satu pendapat madzhab ke madzhab lainnya karena melihat kepada dalil dan pendapat ulama serta merajihkannya dengan dalil bukan hawa nafsu maka yang demikian ini sikap terpuji dan mendapatkan pahala, inilah yang wajib dilakukan. 

✏Fatawa Nur ala Ad Darbi __________
https://binbaz.org.sa/fatwas/5543/%D9%88%D8%AC%D9%88%D8%A8-%D8%A7%D8%AA%D8%A8%D8%A7%D8%B9-%D8%A7%D9%84%D8%AF%D9%84%D9%8A%D9%84-%D9%88%D8%A7%D9%86-%D8%AE%D8%A7%D9%84%D9%81-%D8%A7%D9%84%D9%85%D8%B0%D9%87%D8%A8

وفقني الله وإياكم لاتباع الحق والاستقامة عليه،.

Senin, 28 Oktober 2024

SEPULUH HAL YANG SIA-SIA & TIDAK BERMANFAAT

SEPULUH HAL YANG SIA-SIA & TIDAK BERMANFAAT

قال ابن القيم رحمه الله: عشرة أشياء ضائعة لا ينتفع بها:
١. علم لا يعمل به،
٢. وعمل لا إخلاص فيه، ولا اقتداء فيه بكتاب الله وسنة رسوله - صلى الله عليه وسلم - فإنه لا يوفق لهما إذا لم يخلص العمل،
٣. ومال لا ينفق منه، فلا يستمتع به جامعه في الدنيا ولا يقدِّمه أمامه لآخرته، 
٤. وقلب فارغ من محبة الله والشوق إلى لقائه والأنس به، 
٥. وبدن معطَّل من طاعة الله وخدمته، 
٦. ومحبة لا تتقيد برضا المحبوب وامتثال أوامره.
٧. ووقت معطل من استدراك فارط واغتنام برٍّ وقربة،
٨. وفكر يجول فيما لا ينفع،
٩. وخدمة من لا يقربك خدمته إلى الله، ولا تعود عليك بصلاح دنياك، 
١٠. وخوفك ورجاؤك ممن ناصيته بيد الله وهو أسير في قبضته، ولا يملك لنفسه نفعًا ولا ضرًّا ولا موتًا ولا حياةً ولا نشورًا

وأعظم هذه الإضاعات: إضاعة القلب، وإضاعة الوقت، فإضاعة القلب عن الله من إيثار الدنيا على الآخرة، وإضاعة الوقت من طول الأمل، فاجتمع الفساد كله في اتباع الهوى وطول الأمل، والصلاح كله في اتباع الهدى والاستعداد للقاء الله

Ibnu Qoyyim Al Jauziyah dalam al-Fawa'id mengatakan bahwa ada sepuluh hal yang sia-sia & tidak bermanfaat :
1. Memiliki ilmu namun tidak diamalkan.
2. Beramal namun tidak ikhlash dan tidak mengikuti tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. Memiliki harta namun enggan untuk menginfakkan. Harta tersebut tidak digunakan untuk hal yang bermanfaat di dunia dan juga tidak diutamakan untuk kepentingan akhirat.
4. Hati yang kosong dari cinta dan rindu pada Allah.
5. Badan yang lalai dari taat dan mengabdi pada Allah.
6.Cinta yang di dalamnya tidak ada ridho dari yang dicintai dan cinta yang tidak mau patuh pada perintah-Nya.
7. Waktu yang tidak diisi dengan kebaikan dan pendekatan diri pada Allah.
8. Pikiran yang selalu berkelana pada hal yang tidak bermanfaat.
9. Pekerjaan yang tidak membuatmu semakin mengabdi pada Allah dan juga tidak memperbaiki urusan duniamu.
10. Rasa takut dan rasa harap pada makhluk yang dia sendiri berada pada genggaman Allah. Makhluk tersebut tidak dapat melepaskan bahaya dan mendatangkan manfaat pada dirinya, juga tidak dapat menghidupkan dan mematikan serta tidak dapat menghidupkan yang sudah mati.
Dan yang paling sia-sia dari perkara diatas adalah menyia-nyiakan hati dan menyia-nyiakan waktu. Menyia-nyiakan hati dari Allah yaitu mengedepankan urusan dunia daripada urusan akherat. Adapun menyia-nyiakan waktu yaitu panjang angan-angan (suka menunda-nunda perbuatan baik/ ibadah). Kemudian terkumpulah segala kerusakan pada hawa nafsu & panjang angan-angan, sedangkan segala kebaikan ada pada mengikuti petunjuk (al-huda "Al-Qur'an & Sunnah") dan persiapan bekal untuk bertemu Allah. 

Nasehat pagi nan singkat dari guru & orang tua kita 
Ust. Salim Ghanim Lc.
Dari status fb ustadz fajar al fariz

Pembagian tawasul dalam Islam terdiri dari dua kategori utama, yaitu tawasul yang diperbolehkan (masyru’) dan tawasul yang dilarang (mamnu’). Berikut adalah penjelasan rinci mengenai kedua kategori tersebut:

Pembagian tawasul dalam Islam terdiri dari dua kategori utama, yaitu tawasul yang diperbolehkan (masyru’) dan tawasul yang dilarang (mamnu’). Berikut adalah penjelasan rinci mengenai kedua kategori tersebut:

1. Tawasul Masyru' (yang Diperbolehkan dalam Syariat)

Tawasul yang diperbolehkan dalam syariat Islam memiliki beberapa bentuk:

Tawasul dengan Nama dan Sifat-sifat Allah
Memohon kepada Allah dengan menyebut nama-nama-Nya yang agung dan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Contohnya adalah berdoa dengan menyebut, “Ya Allah, Engkau Maha Pengampun, ampunilah aku.”

Tawasul dengan Amal Sholeh
Memohon kepada Allah dengan menyebut amal baik yang telah dikerjakan dengan ikhlas. Misalnya, seseorang berdoa kepada Allah agar dikabulkan keinginannya dengan menyebut amal ibadah tertentu yang pernah dilakukannya karena Allah semata.

Tawasul dengan Doa Orang Sholeh yang Hidup dan Hadir
Meminta orang yang saleh, yang masih hidup, dan berada di tempat yang sama untuk mendoakannya kepada Allah. Misalnya, meminta doa kepada seseorang yang dianggap saleh untuk diberikan kesehatan atau keberkahan.

2. Tawasul Mamnu' (yang Dilarang)

Tawasul yang dilarang terdiri dari beberapa bentuk yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tauhid:

Tawasul Bid’i
Meminta tawasul dengan cara-cara yang tidak ada dasarnya dalam ajaran Nabi dan tidak dicontohkan oleh para sahabat. Ini termasuk menggunakan metode atau cara tawasul yang dibuat-buat, yang tidak disyariatkan.

Tawasul Syirki
Meminta kepada Allah melalui perantara makhluk yang sudah wafat atau benda tertentu, serta meminta doa kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa makhluk tersebut memiliki kekuatan untuk mendatangkan manfaat atau mudarat. Hal ini termasuk syirik karena menjadikan selain Allah sebagai perantara ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah.

Tawasul yang masyru' mendekatkan seseorang kepada Allah sesuai tuntunan syariat, sedangkan tawasul yang mamnu’ bertentangan dengan akidah tauhid dan berisiko mengarah pada syirik.
Ustadz Dr ali musri semjan putra Ma

Minggu, 27 Oktober 2024

kriteria hukum had potong tangan untuk pencuri

Hukum had potong tangan untuk pencuri 
jika barang kurang lebih seharga satu juta setara 1/4 dinar kriteria nya jika barang tersebut diletakan dalam penyimpanannya
Tp jika tergeletak di tempat umum yg tidak semestinya ( tertinggal lupa) yg begini tidak mendapatkan hukum had potong tangan karena tuduhan jika demikian kurang kuat 
Ustadz noor ihsan silviantoro 

Baiat para wanita kepada nabi muhammad shallallahu alaihi wasalam baiat untuk tidak menyekutukan Allah atau untuk mentauhidkan Allah semata dalam dzatNya maupun dalam perbuatanNya dan sifat Nya

Baiat para wanita kepada nabi muhammad shallallahu alaihi wasalam baiat untuk tidak menyekutukan Allah atau untuk mentauhidkan Allah semata dalam dzatnya maupun dalam perbuatannya  dan sifatNya
Ustadz noor ihsan silviantoro 
Pengajian muslimah jogja 
Masjid pogong dalangan 
Videomuslim.tv
https://www.youtube.com/live/v-kBkFHg2-s?si=o10L3cubihEZz_Wk

Syaikh muhammad bin shalih al utsaimin rahimahullah jika bersikat gigi lebih bersih dari pada bersiwak maka hukumnya lebih bagus lebih afdhol dari bersiwak

Syaikh muhammad bin shalih al utsaimin rahimahullah jika bersikat gigi lebih bersih dari pada bersiwak maka hukumnya lebih bagus lebih afdhol dari bersiwak 
Ustadz Dr ridho abdillah 
Pengajian muslimah jogja
Masjid pogong dalangan 
Videomuslim.tv 
https://www.youtube.com/live/7Jqr282fqyY?si=qv5Kqw8V30fTQjAR

Tatto itu menjadi najis ketika tatto berada di tempat badan yg terkena wudhu, dan wudhunya tidak sah

Tatto itu menjadi najis ketika tatto berada di tempat badan yg terkena wudhu, dan wudhunya tidak sah 
Ustadz Dr ridho abdullah 
Pengajian muslimah jogja 
masjid pogong dalangan 
Videomuslim.tv
https://www.youtube.com/live/7Jqr282fqyY?si=FOU_kbpbHAOOqovw

Memuliakan kehidupan dunia, membatasi kepemimpinan dan kreativitas hanya pada dunia, serta menganggap bahwa orang-orang yang mengejarnya adalah pemilik tekad yang luhur, tidak selaras dengan ajaran Islam. Islam memerintahkan untuk beramal demi kehidupan akhirat dan memuji mereka yang berupaya mencapai derajat-derajat mulia di sana, sambil tetap mengambil bagian yang wajar dari dunia. Dunia baru dipuji jika ia menjadi jalan untuk meraih kemenangan di akhirat

Syaikh Dr. Shalih al-Ushaimiy hafizhahullah:

“Memuliakan kehidupan dunia, membatasi kepemimpinan dan kreativitas hanya pada dunia, serta menganggap bahwa orang-orang yang mengejarnya adalah pemilik tekad yang luhur, tidak selaras dengan ajaran Islam. Islam memerintahkan untuk beramal demi kehidupan akhirat dan memuji mereka yang berupaya mencapai derajat-derajat mulia di sana, sambil tetap mengambil bagian yang wajar dari dunia. Dunia baru dipuji jika ia menjadi jalan untuk meraih kemenangan di akhirat.”
ustadz didik suyadi

FITNAH (KEJELEKAN) DISEBABKAN ISTRI DAN ANAK

FITNAH (KEJELEKAN) DISEBABKAN ISTRI DAN ANAK

Allah -Subhaanahu Wa Ta’aalaa- berfirman:

{قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيْرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوْهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللهِ وَرَسُوْلِهِ وَجِهَادٍ فِيْ سَبِيْلِهِ فَتَرَبَّصُوْا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِيْنَ}

“Katakanlah: “Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. At-Taubah: 24)

Waspadalah wahai da’i dan penuntut ilmu yang tidak fokus dalam berdakwah atau dalam mengurus pesantren/madrasah yang menjadi tanggung jawabnya -yang ini termasuk jihad-: disebabkan pengaruh istri dan anaknya, yang menuntutnya untuk mencari dunia -walaupun dengan dalih: tambahan penghasilan-.

Imam Ibnul Qayyim -rahimahullaah- berkata: “Betapa banyak kesempurnaan dan kesuksesan yang terluput dari hamba disebabkan istri dan anaknya.” [“’Uddatush Shaabiriin” (hlm. 66 -cet. Kairo)]

Ada seorang bertanya kepada Ibnu ‘Abbas -radhiyallaahu ’anhumaa- tentang tafsir ayat ini:

{يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْ...}

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka;...” (QS. At-Taghabun: 14)

Ibnu ‘Abbas berkata: Mereka adalah para laki-laki penduduk Makkah yang masuk Islam dan ingin (hijrah) mendatangi Nabi -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Tapi istri dan anak-anak mereka tidak mau untuk membiarkan mereka mendatangi Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam-. Tatkala (kemudian) mereka mendatangi Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- dan mereka mendapati manusia (para Shahabat yang lebih dahulu hijrah) telah faham terhadap agama (sedangkan mereka sendiri belum); maka mereka ingin menghukum (istri dan anak mereka) tersebut. Maka Allah -‘Azza Wa Jalla- turunkan:

{يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلاَدِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوْهُمْ...}

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka;...” (QS. At-Taghabun: 14)

[Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (no. 3317) dan beliau berkata: Hasan Shahih]

Imam Al-Mubarokfuri -rahimahullaah- berkata dalam “Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jaami’ at-Tirmidzi” (IX/217):

“Firman Allah: “maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka” yakni: jangan sampai menta’ati istri dan anak untuk tertinggal dalam kebaikan; seperti jihad dan hijrah... Maka ada jenis istri dan anak yang memusuhi kalian dan menyibukkan kalian sehingga kalian tertinggal dari kebaikan dan dari keta’atan kepada Allah.”

Maka hendaknya seorang bersikap ARIF dan bijaksana dalam menyikapi hal ini.

-ditulis oleh: Ahmad Hendrix

NASEHAT_USTADZAIN

#NASEHAT_USTADZAIN

◾Petikan nasehat Ustadzuna Ahmas Faiz Ashifuddin حفظه الله:
1. Senantiasa menjaga Ikhlas.
Para penggerak dakwah dan pegiat dakwah harus mengikhlaskan semua aktifitas dakwahnya, dan yang kita cari hanyalah ridha dan pahala dari Allah.
Karena keikhlasan memiliki kasiat yang besar, perhatikan firman Allah:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

"Maka apabila mereka -orang musyrik- naik kapal mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan Allah". (Qs. Al Ankabut : 65)

Jika orang musyrik saja saat mengikhlaskan doanya kepada Allah maka dikabulkan doanya dan diselamatkan dari bahaya gelombang ombak di tengah lautan, maka orang yang beriman terlebih pegiat dakwah jika mengikhlaskan doanya tentu lebih utama untuk dikabulkan doanya.

2. Semangat dan Sungguh-sungguh menjadi sebab hidayah bagi orang lain. 
Kita sebagai bagian pegiat dan penggerak dakwah maka harus semangat dalam menyebarkan dan menyampaikan hidayah Islam dan Sunnah. 

◾Petikan nasehat Ustadzuna Wujud Arba'in حفظه الله:
1. Diantara sebab keberuntungan dan kejayaan adalah dengan berdakwah.

Perhatikanlah firman Allah:

وَالعَصْرِ
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

"Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran". 

Berilmu, beramal, berdakwah dan bersabar.

2. Kita harus bertanya kepada diri kita, apa tujuan yang ingin kita hadirkan dalam berdakwah?
Syaikh Ibnu Baz رحمه الله berkata:

والهدف -في الدعوة- إخراج الناس من الظلمات إلى النور، وإرشادهم إلى الحق حتى يأخذوا به، وينجو من النار، وينجو من غضب الله، وإخراج الكافر من ظلمة الكفر إلى النور والهدى، وإخراج الجاهل من ظلمة الجهل إلى نور العلم، والعاصي من ظلمة المعصية إلى نور الطاعة

"Tujuan dalam berdakwah adalah mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, membimbing manusia kepada kebenaran sehingga mengikutinya, agar selamat dari neraka, selamat dari kemurkaan Allah, mengeluarkan orang kafir menuju cahaya dan petunjuk, mengeluarkan orang jahil menuju cahaya ilmu, mengeluarkan pelaku maksiat dari kegelapan maksiat menuju cahaya thaat".

Berusaha mengajak ahlul bid'ah menjadi ahlis sunnah, ahlul maksiah menjadi ahli thaat, ahlul kufri menjadi ahlil iman dan orang-orang yang jahil menjadi berilmu.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin رحمه الله: Maka modal seorang dai -dan pegiat dakwah- adalah illmu; berilmu tentang materi yang akan didakwahkan, berilmu bagaimana dakwah ini disampaikan, berilmu tentang mereka yang akan didakwahi.

Maka penting untuk menjaga hubungan ukhuwwah imaniyyah. Apa yang sudah kita hadirkan untuk saudara-saudara kita?
-----------------
جزى الله خيرا الوالدين الأستاذين وبارك في عمرهما ودعوتهما،.
Ustadz alif el qibty

Sabtu, 26 Oktober 2024

Senantiasa menghadirkan niat baik

✍🏻 _*Senantiasa menghadirkan niat baik*_

_*Pertanyaan*_
_Ustad niat tempatnya di dalam hati tidak dilafadzkan, bagaimana cara kita untuk menghadirkan niat baik di dalam hati ?_

_*Jawab*_

Alhamdulilah..

Memang betul bahwa setiap amalan sudah terdapat niat dan niat tempatnya di dalam hati tidak diucapkan lewat lisan.

Mengucapkan niat lewat lisan termasuk perbuatan bid'ah yang terlarang, hal ini sebagaimana hadits nabi sallallahu alaihi wa salam:

إنما الأعمال بالنيات و إنما لكل امرؤ ما نوى 

_"Setiap amalan tergantung dengan niat dan setiap orang mendapatkan (pahala/dosa) dari apa yang ia niatkan"_
(HR. Bukhari & Muslim)

Namun yang perlu diketahui bahwa niat yang dibahas oleh para ulama ada dua:

- niat yang berkaitan dengan keabsahan amalan
- niat yang berkaitan dengan kualitas amalan

Niat yang pertama banyak dibahas oleh fuqoha (ahli fiqih) sedangkan yang kedua paling banyak disinggung dalam bab suluk dan tazkiyatun nufus

Niat yang pertama memiliki dua fungsi: 

تمييز العادة عن العبادة
تمييز العبادة بعضها عن بعض

1/ membedakan kebiasaan dengan ibadah 
2/ membedakan satu ibadah dengan ibadah yang lain 

Sebagai contoh:

- yang membedakan mandi junub dengan mandi biasa selain membasahi air ke seluruh tubuh adalah niat, dengan itu apabila seseorang junub kemudian dia mandi dan tidak ada niat membersihkan diri dari hadats (junub) maka sholatnya tidak sah hingga ia meniatkan akan hal tersebut 

- contoh kedua: diantara yang membedakan sholat Sunnah fajar dan sholat subuh adalah niat dan seterusnya 

Permasalahan di atas banyak dibahas oleh fuqoha dalam kitab² fiqih

Adapun yang kedua tentang niat ikhlas dalam beramal maka banyak dibahas oleh ulama dalam kitab adab dan suluk 

Menghadirkan niat ikhlas, jujur dan taqarrub kepada Allah Taala dalam ibadah dan aktifitas merupakan perkara yang agung dan kebiasaan orang-orang Sholeh dahulu 

Bahkan kualitas amalan dan besar pahala dalam ibadah tergantung dari keikhlasan di dalam hati dan ittiba' 

Para ulama ketika menjelaskan kebaikan yang berlipat ganda dalam hadits:
_"..Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allâh menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak.._
(HR. Bukhari & Muslim)
Bahwa kelipatan pahala bagi seseorang tergantung dari kadar keikhlasan dan ittiba' nya
(Penjelasan syekh Soleh alu Syaikh dalam rosail)

Maka bisa jadi dua orang yang sholat dalam shof yang sama dengan gerakan yang sama namun yang satu mendapatkan pahala sebesar gunung sedangkan yang lain sebesar biji disebabkan dari niat mereka

Yang satu sholat hanya sebatas menjalankan kewajiban sedangkan yang lain sholat ikhlas, menjalankan perintah Allah dalam Al-Qur'an dan meneladani Rasulullah dalam gerakan sholat dll

Maka dengan niat tersebut berbeda pahala mereka walaupun sholat pada waktu, shaff dan imam yang sama 

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Mubarak: 

رب عمل صغير تعظمه النية و رب عمل كبير تصغره النية 

_"Berapa banyak amalan yang kecil dibesarkan oleh niatnya dan berapa banyak amalan yang besar dikecilkan oleh niatnya"_

Nah.. niat seperti ini harus dihadirkan di dalam hati lantaran manusia banyak lalai dan lupa serta tidak ada pos dan tempatnya di dalam hati manusia, sebagaimana perkataan salaf:

قيل لسهيل: أي شيء أشد على النفس؟ قال: الإخلاص إذ ليس لها فيه نصيب

Ditanyakan kepada Suhail: _Perkara apa yang paling sulit pada hati?_ maka ia menjawab: _*keikhlasan karena tidak ada bagiannya di dalam hati*_

Kalau seseorang senantiasa memperhatikan kebaikan amal dan berharap perjumpaan dengan Allah Taala maka perkara yang paling sulit adalah ikhlas dalam semua keadaan dan aktifitas, ia benar-benar merasakan perkataan Sufyan rahimahullah:

ما عالجت شيئا أشد على من نيتتي لأنها تتقلب علي

_"Tidak ada yang paling berat aku perbaiki dari pada niatku karena sering berubah-ubah"_

Ingat manusia senantiasa di atas kebaikan apabila selalu memiliki niat yang baik dan jujur kepada Allah Taala baik pada ketaatan atau perkara mubah sekalipun, imam Ahmad rahimahullah pernah menasehati kepada anaknya:

يا بني انو خيرا فإنك على الخير ما نويت بخير

_"Wahai anakku selalu niatkan kebaikan! Karena sesungguhnya engkau di atas kebaikan selama memiliki niat yang baik"_

Semoga Allah memberikan kepada kita semua keikhlasan dalam perkataan dan perbuatan

Semoga bermanfaat 
Akhukum Abu Badar Bajre 

✍🏻 Tanya-jawab kajian malam ahad

Joint: https://t.me/catatanabubadarbajre

BOLEHKAH JUAL MASJID?

BOLEHKAH JUAL MASJID?

Kita tahu jika dikatakan bangunan ini adalah masjid, melainkan bangun itu adalah wakaf, dan aset wakaf tidak boleh diperjualbelikan, diwariskan, dihibahkan, dll. (Begitu juga gak boleh dong dijadiin mahar...hehe).

Namun berikut ini adanya hajat kebutuhan dan kondisi dimana perlu adanya penjualan masjid atau aset wakaf lainnya sebagai berikut :
1. Pertama: Apabila manfaatnya benar-benar hilang atau tidak bisa digunakan lagi, maka penjualan itu diperbolehkan.
   
Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, yang di dalamnya Rasulullah ﷺ berkata kepada Umar, “Sedekahkanlah pokoknya (wakafnya), dan tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan.” 

Karena saat asset wakaf tidak bisa digunakan lagi, tujuan dari wakaf menjadi batal, sedangkan dalam menggantinya terdapat pemeliharaan atas tujuan wakaf itu sendiri.

2. Kedua: Manfaatnya tidak hilang, tetapi penjualan dianggap lebih maslahat. Jumhur ulama melarang menjualnya, namun salahsatu riwayat Imam Ahmad, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Al-Imam asy-Syaukani membolehkannya. 

Al_Imam asy-Syaukani menjelaskan : “Telah ditetapkan bahwa wakaf adalah milik Allah yang ditahan untuk diambil manfaatnya, dan sesuatu yang demikian tidak dilihat dari sisi keinginan pewakaf, kecuali dalam hal menjaga agar pahala wakafnya dapat kembali kepadanya dengan cara yang paling sempurna dan lengkap, selama hal itu memungkinkan. Sudah diketahui bahwa menggantikan sesuatu dengan yang lebih baik, dilihat dari tujuan yang dimaksudkan dari wakaf dan manfaat yang diinginkan dari legalitas syarinya, adalah sesuatu yang baik dan diperbolehkan secara syar'i dan akal. Karena hal itu adalah mendatangkan maslahat yang murni tanpa adanya halangan.

Kami telah menjelaskan kepadamu lebih dari sekali bahwa siapa pun yang memahami syariat ini sebagaimana mestinya, akan mendapati bahwa syariat ini dibangun atas dasar mendatangkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. Dan di sini telah ditemukan alasan yang memadai, yaitu mendatangkan maslahat dengan jelasnya keutamaan, serta tidak adanya penghalang, yaitu kerusakan. Maka tidak ada lagi keraguan tentang baiknya penggantian tersebut”” (Lihat: "As-Sail Al-Jarrar", hal. 650).

   Hal ini didasarkan pada hadits Aisyah radhiyallahu 'anha yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Wahai Aisyah, seandainya bukan karena kaummu baru saja meninggalkan kekafiran, aku pasti akan memerintahkan untuk membongkar Ka'bah dan memasukkan bagian yang dikeluarkan darinya, menempelkan bangunannya ke tanah, serta membuat dua pintu, pintu timur dan pintu barat." (Muttafaq 'Alaih). 

 Ka'bah adalah wakaf terbaik di muka bumi. Juga, telah diriwayatkan bahwa Umar dan Utsman radhiyallahu 'anhuma melakukan perubahan pada bangunan Masjid Rasulullah ﷺ (Diriwayatkan oleh Bukhari).

3. Ketiga: Apabila tidak terlihat adanya kemaslahatan dari memindahkan atau menjual wakaf, maka tidak diperbolehkan untuk menjualnya; karena hukum asalnya adalah tidak boleh dijual.

Lihat : Fikih Al-Awqaf wal Washaya wal Hibaat, hlm 172-176 dan Al-Mukhtashar Fiil Mua'malah, hlm : 257.

Kalau semua masalah perbedaan ditolerir dengan alasan khilafiyah

Renungan sebelum tidur...
Kalau semua masalah perbedaan ditolerir dengan alasan khilafiyah (bahkan masalah aqidah) akhirnya para penyembah kuburan akan berkata : Biarkanlah kami meminta kepada penghuni kuburan dan beristighotsah kepada mayat mayat, toh ada ulama yang membolehkan !
Akhirnya kaum mu'tazilah akan berkata biarkanlah kami menolak sifat-sifat Allah dan kami katakan al-Qur'an adalah makhluk, toh ada ulama yang menyatakan demikian !
Akhirnya muncul kaum liberal dan berkata : Buat apa diributkan antara nashrani dan Islam, toh Nashrani juga agama tauhid, mereka juga meyakini Tuhan esa hanya saja cara pengungkapan yang berbeda yaitu trinitas !
Atau berkata : Buat apa diperdebatkan masalah aqidah, toh yang penting niatnya dan akhlaknya baik !

Permasalahan khilafiyah ada yang bisa ditolerir dan ada yang tidak boleh ditolerir bahkan wajib diingkari.
Kalau permasalahan al-Quran makhluk harus ditolerir maka begitu bodohnya Imam Ahmad bertahan mempertahankan aqidahnya hingga dipenjara dan disiksa...?! Semuanya karena beliau tidak mentolerir.
Entah sebagian kita yang selalu mentolerir yang lebih pandai ataukah imam Ahmad?
Ustadz Dr firanda andirja 

Jauhilah olehmu suatu pembicaraan yang apabila kamu benar maka kamu tidak diberi pahala, dan apabila kamu salah maka pasti kamu berdosa. Yaitu berburuk sangka kepada saudaramu

Jauhilah olehmu suatu pembicaraan yang apabila kamu benar maka kamu tidak diberi pahala, dan apabila kamu salah maka pasti kamu berdosa. Yaitu berburuk sangka kepada saudaramu (Tahdzib at-Tahdzib oleh Ibnu Hajar, 1/425)
Ustadz ari wahyudi 
Www.al-mubarok.com


Memahami dalil sesuai kontek itu penting, agar pemahaman dan aplikasinya sesuai dengan praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan sesuka kita sendiri. Patut dipahami bahwa suatu amalan dikatakan sunnah atau benar, bila memenuhi beberapa kriteria:

Siapa bilang makan dengan tiga jari itu sunnah?

Memahami dalil sesuai kontek itu penting, agar pemahaman dan aplikasinya sesuai dengan praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan sesuka kita sendiri. Patut dipahami bahwa suatu amalan dikatakan sunnah atau benar, bila memenuhi beberapa kriteria:

1. Bentuk amalannya benar sesuai dalil.
2. Benar alasan/tujuan/latar belakang mengerjakannya.
3. Benar caranya.
4. Benar kadarnya.
5. Benar waktunya.
6. Benar tempatnya.

Sebagai contoh, shalat subuh yang sudah jelas dasar/dalilnya saja dikatakan sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila dilakukan dengan niat/tujuan yang benar, pada waktu yang benar, dengan cara yang benar, kadar rakaat/rincian amalan yang benar, dan ditunaikan di tempat yang benar.

Ketentuan ini berlaku dalam semua amalan kita….tanpa terkecuali amalan amalan yang bersifat rutinitas alias bukan ibadah. Dengan memenuhi keenam aspek di atas, anda terhindar dari salah praktek atau sikap ekstrim atau malpraktik.

Contoh lain: Makan dengan menggunakan tiga jari, adalah amalan yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 
Sahabat ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhnu mengisahkan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَأْكُلُ بِثَلاَثِ أَصَابِعَ وَيَلْعَقُ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا.
Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa makan dengan tiga jarinya, dan menjilati ketiga jarinya itu (seusai makan) sebelum beliau mengusapnya. (Muslim)

Namun demikian, bila dilakukan tanpa memenuhi ketentuan di atas, ya salah alias menyimpang, menyebabkan terjadinya malpraktik.

Imam An Nawawi berkata: Pada hadits ini terdapat dalil tentang sunnah makan dengan tiga jari, dan tidak menggunakan jari keempat dan kelima, kecuali bila ada alasan, misalnya karena makannanya berkuah, atau alasan lainnya, yang tidak memungkinkan untuk makan dengan tiga jari atau alasan serupa lainnya. (Syarah Shahih Muslim 13/203-204)

Kok demikian penjelasan Imam An Nawawi? Kawan, anda harus baca sejarah dan budaya masyarakat Arab kala itu, mereka makan kurma, atau roti, atau haisah (dodol kurma) dan sejenisnya. Makanan makan yang normalnya memang dimakan dengan tiga jari. Bila ada yang memakannya dengan lima jari malah kelihatan aneh, mengesankan rakus sebagaimana dijelaskan oleh para ulama’.

La kalau dinegri kita yang biasa makan dengan kuah, minimal tumisan yang menyebabkan nasi terpisah pisah bahkan licin karena minyak atau kuahnya. 

Kebayang kan, betapa repotnya makan bakso atau soto atau rawon atau nasi dengan sayur lodeh dengan tiga jari? Heem jelas merepotkan dan menyusahkan diri sendiri, atau disebut takalluf, hidup kok suka yang susah susah. 

Semoga mencerahkan, bila belum cerah juga, maka itu pertanda anda perlu kuliah lagi di sini: https://pmb.stdiis.com/
Ustadz Dr muhammad arifin badri 

Kembali Nenggak Khamer!

Kembali Nenggak Khamer!

Al-Hafidzh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsir beliau membawakan riwayat Ibnu Abi Hatim dari Yazid bin Al-Asham, 

"Dahulu ada seorang laki-laki dari negeri Syam yang dikenal ketangguhannya dan dulunya ia sering menyambangi Umar bin Al-Khatthab radhiyallahu 'anhu.

Namun belakangan Umar merasa kehilangan dengan orang tersebut lalu beliau bertanya,

"Bagaimana kabar Fulan bin Fulan?"

Orang-orang berkata, "Dia kembali menenggak minum-minuman keras."

Maka Umar memanggil juru tulisnya untuk membuat sepucuk surat, tulislah olehmu,

من عمر بن الخطاب إلى فلان ابن فلان سلام عليك أما بعد، فإني أحمد إليك الله الذي لا إله إلا هو غافر الذنب وقابل التوب شديد العقاب ذي الطول لا إله إلا هو إليه المصير

"Dari Umar bin Al-Khatthab kepada Fulan bin Fulan, keselamatan atasmu, amma ba'd, sesungguhnya aku mengajak engkau untuk memuji Allah yang tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia, Dzat yang Mengampuni dosa dan menerima taubat lagi keras hukuman-Nya, Dzat yang luas karunianya, tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia, hanya kepadaNya-lah kembali (semua makhluk)."

Dan Umar mengatakan kepada orang-orang di sekitar beliau, 

"Doakanlah kebaikan untuk saudaramu itu agar Allah membuka hatinya." 

Sesampainya surat itu kepada si Fulan maka dia langsung membacanya seraya berkata,

"Dialah Dzat yang mengampuni dosa dan menerima taubat lagi keras hukuman-Nya, Dia telah mengingatkanku akan azab-Nya dan menjanjikan untukku ampunan-Nya."

Al-Hafidzh Abu Nu'aim membawakan riwayat dari Ja'far bin Burqan dengan tambahan, 

"Maka tak henti-hentinya dia mengulang ucapannya itu hingga membuatnya menangis dan kemudian dia benar-benar meninggalkan khamer dan bertaubat dengan sebaik-baiknya."

Setelah sampai kabar baik kepada Umar tentang keadaan Fulan tersebut maka Umar berkata,

“Demikianlah yang semestinya kalian perbuat, jika kalian melihat saudara kalian tergelincir dalam kesalahan, luruskanlah dia, doakan agar Allah berikan tawfiq kepadanya, dan doakanlah kebaikan untuknya agar dia bertaubat dan Allah mengampuni dosanya. Dan janganlah kalian menjadi penolong setan untuk membuat dirinya semakin jauh dari Allah."

Faedah Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr hafidzhahullah. #manhajulhaq

Uluwwul Himmah (2)

.:: 'Uluwwul Himmah (2) ::.

[ Kisah Asy-Syaikh Al-Albani dengan Tukang Kayu ]

Suatu kali, Asy-Syaikh -rahimahullaah- memanggil seorang tukang kayu. Kata beliau kepadanya, "Aku ingin mengubah pintu perpustakaan." 
Yang tadinya membuka dari arah kanan diubah menjadi membuka dari arah kiri.
Mata si tukang kayu terbelalak.
Buat apa?

Katanya, "Ya Syaikh, pintu ini membuka ke kiri atau ke kanan, apa masalahnya?"

"Kamu bisa gak?" tanya Syaikh.

"Ya bisa saja, tapi beritahu aku apa penyebabnya?" kata si tukang kayu.

Kata Syaikh, "Aku letakkan mejaku di situ, sedangkan pintu ini membukanya begini. Ini membuatku harus berjalan 5 langkah lagi dari mulai membuka pintu sampai ke meja kerjaku.
Aku ini siang malam keluar dari ruang kerja sebanyak 5 kali untuk shalat.
Terkadang, aku juga harus keluar untuk keperluan rumah, atau untuk muhadharah, atau keperluan² lainnya hingga 7 kali.
Untuk setiap keluar masuk itu, tersia-sia waktuku 15 hingga 20 menit dalam sehari.

Kalo sepekan, berapa yang aku sia-siakan?

Kalo sebulan, berapa yang aku sia-siakan??

Tetapi, kalo kita jadikan pintu ini begini, maka cukup satu langkah untuk membuka pintu dan satu langkah ke mejaku. Jadi, tidak tersia-sia waktuku."

Demikianlah sekelumit kisah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani yang diceritakan oleh sang murid, Syaikh 'Ali bin Hasan Al-Halabi. Semoga Allah Ta'ala merahmati keduanya.

Semoga menginspirasi.
BaarakAllaahu fiikum.

(gambar: halaman depan maktabah)
Ustadz danang fathur rohman 

wujud wara’

ana g tau, apakah inikah yg disebut wara’.
Tp menurut ana ini luar biasa sekali. Sangat langka di zaman kita.

beliau mutkhoshish di bidang fiqih, s1 dan s2-nya.

ini kisah yg ana dapatkan dr teman yg waktu itu mengantar beliau dengan menggunakan mobil.

12 tahun yg lalu, kurang lebih. Beliau pernah jajan di suatu warung yg ada di sekitar Sarangan. Qadarullah beliau lupa untuk membayar segelas kopi.

12 tahun setelahnya, ketika beliau diantar oleh teman ana ini pulang ke rumahnya, beliau request untuk bisa dilewatkan Sarangan.

sesampainya di Sarangan, mungkin sudah agak beda kondisinya dengan 12 tahun yg lalu. yg berjualan tambah banyak, ditambah lagi lupa, warung yg mana dulu pernah disambangi oleh beliau.

walhasil semua warung disawer oleh beliau dengan 50 ribuan (padahal harga kopi sekarang paling 20 ribu g sampe). Kata temen ana yg nganter, itu klo ditotal antara 1-2 juta an.

Kalau antum gimana?

jujur klo itu ana, paling klo sdh g ketemu mana penjualnya dan yg mana warungnya. Paling 50 ribu tak sedekahkan tak niatkan untuk penjual tadi.

Ya mungkin apa yg beliau lakukan itu wujud wara’ beliau.

di bawah ini ada suplemen tambahan untuk masalah ini.

Berkata syaikhul Islam, ibnu taimiyah
المال إذا تعذر معرفة مالكه صرف في مصالح المسلمين عند جماهير العلماء كمالك وأحمد وغيرهما، 
harta, jika tidak mungkin untuk mengetahui pemiliknya, maka dibelanjakan/dialihkan kepada kemaslahatan muslimin. Ini pendapat mayoritas ulama’, Imam Malik, Ahmad dan selain keduanya.

فإذا كان بيد الإنسان غصوب أو عوار أو ودائع أو رهون قد يئس من معرفة أصحابها فإنه يتصدق بها عنهم أو يصرفها في مصالح المسلمين. اهـ.
jika pada dirinya ada harta rampasan, atau pinjaman, atau titipan, atau gadaian, dan ia sudah tidak bisa lagi menemukan siapakah pemiliknya, maka ia bersedekah dengan harta itu, ditujukan pahalanya untuk orang tersebut. Atau ia belanjakan untuk kepentingan kaum muslim

Beliau juga berkata
إذا كان على الإنسان دين ولم يعرف صاحب الدين، بأن: انتقل إلى مكان آخر أو سافر، وهكذا لو كان عنده وديعة أو عارية وذهب صاحبها ولم يدر عنه ولم يعرفه فإنه بعد التحري وبعد بذل المستطاع في التعرف عليه أو على مكانه إذا عجز فإنه ينتظر المدة المناسبة لعله يأتي صاحبه إليه إن كان يعرفه،

jika seseorang punya tanggungan harta kpd orang lain, dan tidak diketahui pemilik harta tersebut, semisal ia sudah pindah rumah, atau melakukan safar. Seperti juga misalnya ia dititipi suatu barang, atau dipinjami suatu barang, lalu pemiliknya pergi entah kemana tdk diketahui, maka setelah ia berusaha mencari orang tersebut dan mencari kediamannya dan tidak juga mampu mendapatkannya, maka ia tunggu dulu  sampai beberapa waktu. Siapa tahu pemiliknya akhirnya datang kepadanya. Itu pun jika ia mengenalinya.

وإن لم يأت فإنه يتصدق بذلك على الفقراء والمساكين، أو يصرف ذلك في بعض المشاريع الخيرية
jika pemiliknya tidak datang juga, maka ia. bersedekah dengan harta itu kpd faqir miskin, atau ia salurkan kepada pos2 kebaikan yg lain.
Ustadz kukuh abu yumna 

Penjelasan Hadits: “Luruslah Atau Mendekati Lurus”

Penjelasan Hadits: “Luruslah Atau Mendekati Lurus”

Dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:

قارِبُوا وسَدِّدُوا، واعْلَمُوا أنَّه لَنْ يَنْجُوَ أحَدٌ مِنكُم بعَمَلِهِ قالوا: يا رَسولَ اللهِ، ولا أنْتَ؟ قالَ: ولا أنا، إلَّا أنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللَّهُ برَحْمَةٍ منه وفَضْلٍ

"Dekatilah lurus atau berlaku luruslah! Dan ketahuilah bahwa salah seorang di antara kalian tidak akan selamat karena amalannya". Para sahabat bertanya: "Demikian juga engkau wahai Rasulullah?". Nabi bersabda: "Demikian juga aku. Namun Allah telah memenuhi aku dengan rahmat dari-Nya dan karunia-Nya" (HR. Muslim no.2816).

"Al-muqārabah" artinya pertengahan, tidak berlebihan dan tidak juga kurang. Dan "as-sadād" artinya bersikap lurus dan teguh di atas kebenaran. "Yataghammadunī" berarti menutupi dan memenuhi. Para ulama mengatakan bahwa makna istikamah adalah berpegang teguh pada ketaatan kepada Allah Ta'ala. Mereka mengatakan bahwa istikamah adalah bagian dari jawami' al-kalim (kalimat yang singkat namun padat makna). Para ulama juga mengatakan bahwa istikamah itu maknanya adalah teraturnya segala urusan. Hanya dengan pertolongan Allah-lah semua ini dapat tercapai.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan:

Hadis ini menunjukkan bahwa istikamah dilakukan sesuai dengan kemampuan. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam:

قارِبُوا وسَدِّدُوا

"Dekatilah lurus atau berlaku luruslah!".

Artinya, usahakanlah agar perbuatanmu mendekati kebenaran semaksimal mungkin. Hal ini karena, seberapa pun seseorang mencapai ketakwaan, pasti dia akan berbuat kesalahan. Sebagaimana dalam hadis Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam disebutkan:

كلُّ بني آدمَ خطَّاءٌ وخيرُ الخطَّائين التوابونَ

"Setiap anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik pembuat kesalahan adalah mereka yang bertobat" (HR. At Tirmidzi no. 2499, dihasankan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:

لوْ لَمْ تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ، وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ، فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ، فَيَغْفِرُ لهمْ

"Seandainya kalian tidak berdosa, Allah akan menggantikan kalian dengan kaum yang berdosa, kemudian mereka memohon ampun kepada Allah, lalu Allah mengampuni mereka" (HR. Muslim no.2749).

Maka, manusia diperintahkan untuk mendekatkan diri pada kebenaran dan berlaku lurus semaksimal kemampuannya.

Selengkapnya:

https://fawaidkangaswad.id/2024/10/21/penjelasan-hadits-luruslah-atau-mendekati-lurus/

@fawaid_kangaswad

Jumat, 25 Oktober 2024

أحسن أشكال الجماع .

أحسن أشكال الجماع .

وَقَالَ ابْنُ القَيمِ رَحِمَهُ اللهُ : «وَأَحْسَنُ أَشْكَالِ الجِمَاعِ : أَنْ يَعْلَوَ الرَّجُلُ المَرْأَةُ ، مُسْتَفْرشًا لَهَا بَعْدَ المُلاعَبَةِ وَالقُبْلَةِ، وَبِهَذَا سُمِّيَتِ المَرْأَةِ فِرَاشًا ، كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( الْوَلَدُ

لِلْفِرَاشِ» (۳).

وَهَذَا مِنْ تَمَامٍ قَوَامِيَّةِ الرَّجُل عَلَى الْمَرْأَةِ ، كَمَا قَالَ - تَعَالَى :

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ النِّسَاءِ [النِّسَاء : ٣٤] .

وكما قنا



وأردأ أشكاله أن تعلوه المرأة، ويُجامعها على ظهره، وهو خلاف الشكل الطبيعي الذي طبع الله عليه الرجل والمرأة، بل نوع الذكر والأنثى، وفيه من المفاسد، أن المني يتعسر خروجه كله ، فربما بقي في العضو منه فيتعفن ويفسد، فيضر وأيضاً : فربما سال إلى الذكر رطوبات من الفرج، وأيضاً، فإن الرحم لا

(1) أخرجه البخاري ۲۷۸/۵ في الوصايا باب قول الموصي لوصيه تعاهد ولدي ومسلم (١٤٥٧) في الرضاع باب الولد للفراش، من حديث عائشة . (۲) هو التابغة الجعدي والبيت في شعره ص ۸۱ والشعر والشعراء، ص ٢٩٦ .

٢٣٤

يتمكن من الاشتمال على الماء واجتماعه فيه وانضمامه عليه لتخليق الولد، وأيضاً: فإن المرأة مفعول بها طبعاً وشرعاً، وإذا كانت فاعلة خالفت مقتضى الطبع والشرع. وكان أهل الكتاب إنما يأتون النساء على جنوبهن على حرف،

ويقولون : هو أيسر للمرأة .

Hak-hak pemimpin dan pemerintah

_*Hak-hak pemimpin dan pemerintah*_

Setiap kelompok manusia membutuhkan pemimpin yang menaungi dan membina kemaslahatan mereka.

Kalau dalam rumah tangga dibutuhkan pemimpin (yaitu bapak) yang menaungi istri dan anaknya serta menjaga kemaslahatan dari keburukan, _bagaimana dengan masyarakat berjumlah besar pada satu negara!?_ Pasti jauh lebih membutuhkan agar kemaslahatan terus ada diantara mereka!

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

"و لهذا روي أن السلطان ظل الله في الأرض، يقال: ستون سنة من إمام جائر أصلح من ليلة بلا سلطان، و التجربة تبين ذلك"

_*"Diriwayatkan bahwa pemimpin merupakan naungan Allah di atas muka bumi, dan dikatakan pula: bahwa enam puluh di bawah pemimpin yang dzalim lebih baik dari satu malam tanpa pemimpin, praktek dan pengalaman menjelaskan akan hal tersebut"*_
(As-siyasah As-syar'iyyah:161-162)

Berangkat dari hal tersebut, maka ada Hak-hak pemimpin yang wajib ditunaikan oleh rakyat sesuai tuntunan Al-Qur'an dan as-sunah yaitu sebagai berikut:

[1] _*Meyakini dan menerima keabsahan pemimpin*_

Seorang pemimpin ketika sah diangkat menjadi pemimpin pada satu daerah/negara maka ia merupakan pemimpin yang sah, wajib atas setiap muslim mengakui kepemimpinannya

Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata:

"الأئمة مجمعون من كل مذهب على أن من تغلب على بلد أو بلدان، له حكم الإمام في جميع الأشياء، لو لا هذا ما استقامت الدنيا..."

_"Semua para Imam bersepakat (baca ijma') di semua madzhab bahwa kalau seorang yang merebut satu wilayah/negara, maka ia memimpin negara tersebut dalam semua aspek, kalau tidak seperti itu maka tidak akan berjalan urusan-urusan keduniawian.."_
(To'at waliyyil amri wa atsaruha fi tahqiqil amni: 24)

Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: 

_"Wajib atasmu untuk mengakui dia adalah pemimpin, barangsiapa yang mati dan tidak ada diatas pundaknya bai'at kepada seorang pemimpin maka ia mati dalam keadaan jahiliyah"_
(Syarhu al-arba'in an-nawawiyyah:149)

[2] _*kewajiban mendengarkan dan ta'at kepada pemimpin selain dari perbuatan maksiat*_

Allah taala telah memerintahkan di dalam Al-Quran untuk taat kepada pemimpin dan itu pula termasuk dalam rangkaian ketaatan kepada Allah dan rasulNya dengan syarat selain perbuatan maksiat 

Allah taala berfirman:

_"Wahai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul dan para pemimpin kalian.."_
(An-nisaa:59)

Rasul sallallahu alaihi wa salam bersabda:

"على المرء المسلم السمع و الطاعة فيما أحب و كره، إلا أن يؤمر بمعصية، فإن أمر بمعصية فلا سمع و لا طاعة"

_"Wajib atas setiap muslim mendengarkan dan ta'at kepada pemimpin baik perkara tersebut ia suka atau tidak, kecuali apabila pemimpin tersebut menyuruh kepada maksiat, apabila menyuruh kepada maksiat maka tidak ada ketaatan kepadanya"_
(Muttafaqun alayhi)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

_"Dalam hadits tersebut terpadat kewajiban taat kepada pemimpin yang terikat dengan perbuatan selain dari kemaksiatan, hikmah dibalik ketaatan kepada mereka menjaga persatuan lantaran dalam perpecahan terdapat kerusakan"_
(Fathul bari:13/112)

[3] _*Menyebarkan kebaikan pemimpin dan menutup aibnya*_

Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

"نشر محاسنهم في الرعية، لأن ذلك يؤدي إلى محبة الناس لهم، و إذا أحبهم الناس سهل انقيادهم لأوامرهم
و هذا عكس ما يفعله بعض الناس حيث ينشر المعايب و يخفي الحسنات، فإن هذا جور عظيم"

_"Menyebarluaskan kebaikan pemimpin kepada rakyat, karena dapat menumbuhkan kecintaan kepada manusia kepada pemimpinnya, apabila manusia mencintai pemimpinnya akan mudah menjalankan perintah-perintahnya_
_Dan hal ini kebalikan dari yang banyak dilakukan oleh sebagian manusia dengan menyebarluaskan aib dan kebobrokan pemimpin serta menyembunyikan kebaikan mereka, perbuatan ini merupakan satu kejahatan yang amat besar"_
(Syahrul arba'in nawawiyyah:149)

[4] _*Menasehati pemimpin dan banyak mendoakan kebaikan untuk mereka*_

Memberikan nasehat merupakan kewajiban atas setiap muslim baik secara perorangan maupun kelompok dll terkhusus bagi para pemimpin 

Mansehati pemimpin merupakan perbuatan yang mulia yang diridhoi Allah Taala, disebutkan dalam hadits:

_"sesungguhnya Allah taala meridhoi kalian atas tiga perkara:_
_Kalian menyembah Allah semata dan berbuat syirik kepadaNya dengan sesuatu apapun juga_
_Kalian berpegang teguh dengan tali Allah (bersatu) dan tidak berpecah belah_
_Kalian saling menasehati dengan orang-orang yang ditunjuk oleh Allah sebagai pemimpin bagi kalian"_
(HR.Muslim:593)

Namun menasehati pemimpin bukan dengan cara demonstrasi atau di atas podium dengan membeberkan kesalahannya di depan publik melainkan dengan cara penuh kelembutan dan rahasia.
Nabi sallallahu alaihi wa salam bersabda:

من أراد أن ينصح لسلطان بأمر فلا يبد له علانية و لكن ليأخذ بيده فيخلو به فإن قبل منه و إلا كان قد أدى الذي عليه له

_"Barang siapa yang hendak menasehati pemimpin pada satu perkara maka hendaklah jangan ia kemukakan di depan umum akan tetapi ia memegang tangannya dan berduaan dengannya, apabila pemimpin menerima nasehatnya maka itu yang diharapkan namun apabila tidak maka ia telah menunaikan hak pemimpinnya"_
(HR:Ahmad dan dishohihkan oleh Albani)

Adapun Mendoakan pemimpin dengan kebaikan termasuk ciri ahlussunah dan kebiasaan orang-orang Sholeh 

Abu Ja'far At-tohawi rahimahullah berkata:

و ندعو لهم بالصلاح و المعافاة

_"Kami ahlussunah mendoakan (para pemimpin) dengan kebaikan dan keselamatan"_

Imam Al-barbahari rahimahullah berkata:

إذا رأيت الرجل يدعو على السلطان فاعلم أنه صاحب بدعة، و إذا رأيت الرجل يدعو للسلطان فاعلم أنه صاحب السنة

_"Apabila engkau melihat seseorang mendoakan keburukan kepada pemimpin maka ketahuilah ia termasuk pelaku bid'ah dan apabila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan kepada pemimpin maka ia termasuk ahlussunah"_
(Syarhus Sunnah:114)

[5] _*Tidak boleh memberontak terhadap pemimpin*_

Telah sepakat ahlus Sunnah bahwa memberontak kepada pemerintah yang muslim perbuatan yang terlarang dan dapat mendatangkan mudharat yang sangat besar serta dapat terjadi pertumpahan darah.

Hal ini dijelaskan dalam banyak hadits dan perkataan ulama, diantaranya:
- Sabda rasulullah shalallahu alayhi wa Sallam:

من خرج من الطاعة و فارق الجماعة فمات ميتة جاهاية

_"Barangsiapa yang keluar dari ketaatan kepada pemimpin dan memisahkan diri dari jama'ah kaum muslimin maka ia mati dalam keadaan jahiliyah"_
(HR.Muslim: 1848)

- Imam Ahmad rahimahullah berkata:

و لا يحل قتال السلطان و لا الخروج الأحد من الناس، فمن فعل ذلك فهو مبتدع على غير السنة و الطريق

_"Tidak boleh memerangi pemimpin dan memberontak kepadanya bagi siapapun juga, barangsiapa yang melakukan hal tersebut maka ia merupakan ahli bid'ah yang keluar dari jalur Sunnah"_
(Usulus Sunnah:34)

- Imam Tohawi rahimahullah berkata 

و لا نرى الخروج على أئمتنا و ولاة أمورنا و إن جاروا! و لا ندعو عليهم و لا ننزع يدا من طاعتهم، و نرى طاعتهم من طاعة الله فريضة، ما لم يأمروا بمعصية

_"Kami melarang memberontak kepada para pemerintah walaupun mereka berbuat dzalim dan tidak boleh mendoakan keburukan kepada mereka serta melepaskan ketaatan dari mereka, bahkan kami meyakini bahwa ketaatan kepada para pemimpin merupakan ketaatan kepada Allah Taala yang hukumnya wajib selama tidak di atas kemaksiatan"_
(Syarhu Aqidah Tohawiyah:397)

- Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:

_"Yang disepakati dari madzhab ahlus sunnah bahwa mereka tidak membolehkan memberontak kepada pemimpin dan memerangi dengan pedang (senjata), walaupun ada pada mereka kejahatan dan kedzaliman sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang shohih dari nabi sallallahu alaihi wa salam, lantaran memerangi mereka dengan senjata akan terjadi fitnah dan kerusakan yang jauh lebih besar dari pada kedzaliman pemimpin kepada rakyat tanpa pemberontakan dan peperangan.."_
(Minhajus Sunnah:3/390)

Semoga Allah taala menjaga para pemimpin kaum muslimin dan menjaga negara kaum muslimin dari semua fitnah dan kerusakan 

Semoga bermanfaat 
Akhukum Abu Badar Bajre

https://t.me/catatanabubadarbajre

Jika seseorang menghafal dan memahami kitab tauhid syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan aqidah wasitiyah karya syeikhul islam Ibnu Taimiyyah maka dengan izin Allah dia akan berjumpa dengan Allah sedangkan Allah ridho kepadanya.

Jika seseorang menghafal dan memahami kitab tauhid syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan aqidah wasitiyah karya syeikhul islam Ibnu Taimiyyah maka dengan izin Allah dia akan berjumpa dengan Allah sedangkan Allah ridho kepadanya.

Dengan dua kitab ini, sempurnalah aqidah anda. Dan saya berpendapat wajibnya menghafal dua kitab ini oleh penuntut ilmu. Agar dia kuat dan kokoh di dalam berakidah. Serta tidak bimbang dan ragu pada apa yang dia katakan dan yakini tentang Allah azza wa jalla.

Syekh Abdul Muhsin Al Qosim حفظه الله
ust uut abu anas

Kamis, 24 Oktober 2024

Thoghut bernama "MANHAJ"?

Thoghut bernama "MANHAJ"?

Sebagian orang beranggapan bahwa "manhaj" telah menjadi thoghut baru karena menurut mereka:
- para pendaku pengikut manhaj itu berta'ashub baik scr terang terangan/tersembunyi
- mereka sendiri cakar-cakaran
- tidak loyal kpd jihad & perjuangan kelompok lain
- dll

Ok, kita ulik satu per satu.

Manhaj bukanlah kata receh yg tak punya urgensi. 
Bahkan manhaj/minhaj ini sangatlah penting dlm menentukan arah beragama kita.

Hampir semua penyimpangan baik dari golongan yg "alergi" dg kata manhaj maupun pendaku manhaj dan simpatisan "perbaikan manhaj" bermula dari ketidaksempurnaan pemahaman terhadap manhaj yg salaf yg benar.

So...kaum muslimin yg "gandrung" dan terobsesi untuk kembali kpd manhaj salaf pun tak lepas dari sisi lemah dan ketidaksempurnaan di sana sini. Apakah pemahaman anda ttg manhaj sdh sempurna? Sila dijawab sendiri.

Agar anda jangan menganggap "manhaj" sebagai "thoghut baru" maka posisikan diri anda sbgmn mereka yg sama sama ingin meniti jalan/manhaj salaf, mereka bisa salah sbgmn anda juga tidak selalu benar.

Mereka ta'ashub? 
Mungkin, tp apakah anda benar2 munshif tdk punya ta'ashub? 
Ah...kita itu cuma 11-12.
Sama sama introspeksi & setel woles aja.

Cakar-cakaran?
Motivasi dasarnya mmg tuk cari yg lebih mndekati kebenaran, lepas dari apakah sdh proporsional/benar/salahnya.
Antum kan juga suka nyakar teman2 itu dg laqop murjiah, antek zionis, dan pengapling surga, tdk loyal kpd perjuangan kaum muslimin dll to? 

Masih mending salafi yg "cakar-cakaran" itu ga pake kontak fisik, sbatas adu argumen yg byak diantaranya juga masih belum ilmiyah. 
Ya kurang lebih kita ni sama2 masih kekanak kanakan. 

Tidak loyal kpd perjuangan Islam?
Sebenarnya, itu tuduhan kosong karena anda blum paham mindset perjuangan yg terbangun dlm komunitas mereka. 

Lha gimana mau ada chemestry yg pas klo you juga pasang kacamata kuda & skeptis tdk mau mendekat?

Mendekatlah, klo ada yg salah mk luruskan dg cara yg terbaik. Insya Allah anda akan paham mindset perjuangan mereka.
Ustadz noor ihsan silviantoro 

Tritauhid ala Asy'ari

Tritauhid ala Asy'ari

Sebagian orang memplesetkan pembagian tauhid menjadi tiga dengan istilah "tritauhid" (dimiripkan dengan trinitas kaum nasrani). Padahal, tauhid menurut ulama asyariah itu juga ada 3 (tiga), yaitu:
1. Tauhid Dzat.
2. Tauhid Sifat.
3. Tauhid Af'al (perbuatan).

Ini sebagaimana disebutkan Syaikh Kamal bin Abi Syarif bin Al-Hamam dalam Kitab Al-Musamarah (hal. 47) :

التوحيد هو اعتقاد الوحدانية في الذات والصفات والأفعال

"Tauhid adalah keyakinan tentang keesaan (Allah) dalam Dzat, Sifat, dan Af'al".

Al-'Allamah As-Sanusiy atau As-Sinusiy (salah satu ulama rujukan Asy'ariyah mutakhirin) dalam Syarah Ummul-Barahin juga membagi tauhid menjadi 3 jenis :

1- Tauhid Adz-Dzat (penetapan Allah hanya satu).
2- Tauhid Ash-Shifat (penetapan bahwa sifat Allah tidak disamai oleh makhluk).
3- Tauhid Al-Af'al (penetapan hak mutlak Allah dalam penciptaan, kodrat, dan pengurusan alam semesta).

Al-Bajuri rahimahullah juga menyatakan :
“Kesimpulannya bahwasanya wahdaniah/keesaan/ketauhidan Allah yang mencakup (1) Keesaan pada Dzat, (2) Keesaan pada sifat-sifat Allah, dan (3) Keesaan pada perbuatan-perbuatanNya…”
(Hasyiah Al-Bajuri ‘alaa Jauharot At-Tauhid, hal. 114)

Demikian juga tauhid menurut sufisme terbagi menjadi 3, yaitu : 
1. Tauhid 'awam (orang-orang awam yang baru sampai syariat)
2. Tauhid khawash (orang-orang yang sudah makrifat)
3. Tauhid Khawashul khawash ( orang-orang yang sudah sampai pada tingkatan hakikat ).

Adapun pembagian tauhid menjadi dua, tiga, atau empat menurut ahlussunnah itu berdasarkan istiqra (penelitian menyeluruh) dari nash-nash yang ada jadi bukan hasil mengarang bebas.

Berikut di antara ulama ahlussunnah yang membagi tauhid menjadi tiga yakni tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid asma wa shifat :

1. Al-Imam Abu Hanifah (w. 150 H) 
2. Al-Qadhi Abu Yusuf (w. 182 H) 
3. Al-Imam Ath-Thabari (w. 310 H)
4. Al-Imam Abu Ja'far Ath-Thahawi (w. 321 H)
5. Al-Imam Ibnu Baththah Al-Ukbari (w. 387 H)
6. Al-Hafizh Ibnu Mandah (w. 395 H)
7. Al-Imam Ibnu Abdul Barr (w. 463 H)

Dan lainnya dari kalangan para ulama Ahlul Hadits wal Atsar rahimahumullah baik kalangan salaf maupun khalaf.

Ada juga para ulama yang membagi tauhid menjadi dua yakni tauhid Al-Ma'rifat wal Itsbat dan tauhid Al-Qashdu wa Ath-Thalab diantaranya :

1. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H)
2. Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (w. 751 H)

Lalu, jika kita membaca Al-Qaulul Mufid yang ditulis oleh ulama kontemporer dari Yaman Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi Al-Abadi, beliau membagi tauhid menjadi empat yakni :
1. Tauhid rububiyah
2. Tauhid uluhiyah
3. Tauhid asma wa shifat
4. Tauhid mutaba'ah

Diantara referensinya terbaik dalam hal ini adalah kitab Al-Qaulus Sadid fir Raddi 'ala Man Ankara Taqsimat Tauhid karya Syaikh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah.

Berikut penjabaran pembagian tauhid menjadi 3 atau 2 jenis

أقسام التوحيد.

Macam-Macam Tauhid

التوحيد -باعتبار ما يتعلق بالله- أقسام ثلاثة:

At-Tauhid - berkaitan dengan apa yang berhubungan dengan Allah - memiliki tiga kategori:

توحيد الربوبية: وهو إفراد الله بأفعاله، كالخلق والملك والتدبير.

Tauhid ar-Rububiyah; yaitu Mengesakan Allah dalam seluruh perbuatan-Nya (terhadap hamba-Nya), seperti penciptaan, penguasaan, dan pengaturan.

توحيد الألوهية: وهو إفراد الله بالعبادة، كالدعاء والذبح والنذر.

Tauhid al-Uluhiyah: yaitu mengesakan Allah dalam ibadah, seperti (berdoa) hanya kepada Allah, dan juga sembelihan dan nadzar.

توحيد الأسماء والصفات: وهو إفراد الله بما يختص به من الأسماء والصفات.

Tauhid al-Asma’ wa Shifaat: yaitu mengesakan Allah dengan apa yang khusus dari seluruh nama dan sifat Allah.

وهو -باعتبار ما يطلب من العبد- قسمان:

Tauhid – berdasarkan atas  apa yang dituntut dari hamba – ada dua jenis:

1. توحيد المعرفة والإثبات، وهو التوحيد العلمي الخبري، ويشمل توحيد الربوبية والأسماء والصفات.

Tauhid al-Ma’rifah wal Itsbat (Tauhid Ma’rifah dan  Penetapan), dan itu adalah tauhid al-Ilmi al-Khobari (teoritis dan berupa keyakinan) yang meliputi tauhid Ar-Rububiyah dan al-Asma’ was Shifaat.

2. توحيد الطلب والقصد، وهو التوحيد العملي، ويشمل توحيد الألوهية، والمراد به توحيده في الطلب التعبدي، والقصد التعبدي.

Tauhid at-Tholab wal Qoshd. Yaitu at-Tauhid al-‘Amali (terapan), dan itu meliputi Tauhid al-Uluhiyah dan yang dimaksudkan adalah mentauhidkan Allah dalam at-Tholab at-Ta’abudi - permintaan khusus dalam peribadahan dan al-Qoshdu at-Ta’abudi – tujuan khusus dalam peribadahan.

 والدليل على هذا التقسيم هو السبر والتقسيم واستقراء النصوص، فكما قسم العلماء العلم إلى فقه وحديث وتفسير، فكذلك قسموا التوحيد إلى هذه الأقسام، فبالنظر إلى النصوص نجد أن الله عز وجل يخاطب الكفار بالربوبية فيلزمهم بها على الألوهية، أو أنه يثبت لهم إيمانا في أمر وكفرا في أمر آخر، فيكون إيمانا مقيدا، وهذان يدلان على التقسيم.

Dan dalil atas pembagian tersebut adalah berdasarkan penyelidikan, pembagian dan istiqro’ mengekstrapolasi berbagai teks, sebagaimana para ulama membagi ilmu menjadi fikih, hadits dan tafsir, maka begitu pula mereka membagi tauhid menjadi 3 macam tersebut, dan ketika menelaah kepada berbagai macam nash maka kita dapati bahwa Allah itu mengajak bicara kepada orang-orang kafir dengan rububiyah-Nya dan mengharuskan mereka untuk berada di atas tauhid al-Uluhiyah, atau bahwa Allah menetapkan bagi mereka iman dalam suatu perkara dan menetapkan kekufuran dalam perkara lainnya. Maka hal tersebut adalah iman yang terbatas, dan kedua hal tersebut menunjukkan kepada pembagian tersebut.

قال تعالى: {ولئن سألتهم من خلقهم ليقولن الله فأنى يؤفكون}، وقال: {قل من يرزقكم من السماء والأرض أمن يملك السمع والأبصار ومن يخرج الحي من الميت ويخرج الميت من الحي ومن يدبر الأمر فسيقولون الله فقل أفلا تتقون}، وهذا في توحيد الربوبية.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: "Allah", maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?, (QS. Az-Zukhruf: 87)

Dan Allah berfirman:
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah "Mangapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?" (QS. Yunus: 31)
Dan ini adalah dalil tentang Tauhid ar-Rububiyah.

وقال: {فاعلم أنه لا إله إلا الله}، وقال: {ولقد بعثنا في كل أمة رسولا أن اعبدوا الله واجتنبوا الطاغوت}، وقال: {وما أرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون}، وهذا في توحيد الألوهية.
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka ketahuilah bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah) (QS. Muhammad: 19) dan Allah Ta’ala berfirman: ( Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu) (QS. An-Nahl: 36) 
Dan Allah Ta’ala berfirman: Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (QS. Al-Anbiyaa: 25)
Dan ini adalah (dalil) dalam Tauhid al-Uluhiyah.

وقال: {ليس كمثله شيء وهو السميع البصير}، وهذا في توحيد الأسماء والصفات.

Dan Allah Ta’ala berfirman: Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat. (QS. Asy-Syura: 11) 
Dan ini adalah Tauhid al-Asma’ was Shifaat.

وقال: {رب السماوات والأرض وما بينهما فاعبده واصطبر لعبادته هل تعلم له سميا}، وهذا في الأنواع الثلاثة

Allah Ta’ala berfirman:
Rabb (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)? (QS. Maryam: 65)
Dan ini berkaitan dengan dalil dari Ketiga macam tauhid tersebut.

والعلاقة بين هذه الأقسام هي أن توحيد الألوهية متضمن لتوحيد الربوبية والأسماء والصفات، وتوحيد الربوبية والأسماء والصفات مستلزم لتوحيد الألوهية.

Hubungan antara macam-macam tersebut adalah bahwa Tauhid Uluhiyah mencakup tauhid Rububiyah dan Asma’ was Sifat.
Tauhid Rububiyah dan Asma wa Shifat adalah mengharuskan  adanya Tauhid Uluhiyah.

 فالربوبية تذكر في القرآن لأمرين:

Tauhid Rububiyah disebutkan dalam al-Qur’an dalam dua perkara:

1. للإلزام بتوحيد الإلهية، قال تعالى: {يا أيها الناس اعبدوا ربكم الذي خلقكم…} إلى قوله: {تعلمون}.
1. Untuk mengharuskan tauhid Uluhiyah, sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu …) sampai ayat (padahal kalian mengetahui) (QS. Al-Baqarah: 21-22)

2. ولتعظيم الله سبحانه وتعالى، قال تعالى: {فقلت استغفروا ربكم إنه كان غفارا يرسل السماء عليكم مدرارا…} إلى قوله: {مالكم لا ترجون لله وقارا}.

2. Untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Allah Ta’ala berfirman: 
maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,
sampai pada ayat,    Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? (QS. Nuh 10-13)

 والألوهية والربوبية لفظان يجتمعان ويفترقان، فإذا اجتمعا في الذكر افترقا في المعنى، وإذا افترقا في الذكر اجتمعا في المعنى، كلفظ الفقير والمسكين ونحوه. والتوحيد إذا أطلق فالمراد به توحيد الألوهية.

Uluhiyah dan Rububiyah adalah dua lafazh yang bisa bersatu dan bisa berpisah. jika bersatu maka mempunyai makna sendiri-sendiri, jika berpisah dalam penyebutan maka maknanya menyatu, seperti lafazh faqir dan miskin dan yang semisalnya.  Tauhid jika dimutlakkan  maka yang dimaksudkan dengannya adalah Tauhid Uluhiyah.

فإن الخلق مجمعون على إفراد الله بالربوبية وكمال صفاته، وقد أثبته الله لهم كما في قوله: {وما يؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون}، فدل على أنه إذا أطلق لا يراد به غير الألوهية لأن غيره حاصل.
Seluruh makhluk Allah bersepakat dalam mengesakan Allah dengan Rububiyah dan kesempurnaan sifat-Nya.  Allah telah menetapkannya bagi makhluk-Nya sebagaimana firman Allah: “Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf: 106). Maka ini menunjukkan bahwa jika dimutlakkan penyebutan tauhid  tidak dimaksudkan  dengannya selain penyebutan Uluhiyah karena tauhid selainnya adalah telah ada (dengan sendirinya konsekuensi dari Tauhid Uluhiyah adalah telah ditegakkan Tauhid Rububiyah dan Asma wa Sifat).

والرسل دعت إلى التوحيد وأرادت الألوهية، قال تعالى: {وما أمروا إلا ليعبدوا إلها واحدا لا إله إلا هو}، وفهم المخاطبون بالرسالات هذا المفهوم من خطابها: {قالوا أجئتنا لنعبد الله وحده ونذر ما كان يعبد آباؤنا} وقالوا: {أجعل الآلهة إلها واحدا}.
Para Rasul menyeru kepada tauhid, dan tauhid yang dituju ini adalah tauhid Uluhiyah, Allah Ta’ala berfirman:
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. (QS. At-Taubah: 31). Dan pemahaman orang yang diajak bicara dengan risalah dan ini adalah apa yang bisa dipahami dari redaksional ayat: 
Mereka berkata: "Apakah kamu datang kepada kami, agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah oleh bapak-bapak kami?  (QS. Al-A’raaf: 70) dan Mereka berkata, “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja?” (QS. Shaad: 5).

الرد على شبهات في تقسيم التوحيد:
Bantahan terhadap syubhat dalam pembagian Tauhid:

Syubhat pertama:
1. يزعم بعضهم أنه يلزم من إثبات أقسام التوحيد الثلاثة تعدد الآلهة، وأنها تصير ثلاثة.

Sebagian orang mengira bahwa pembagian tauhid menjadi tiga itu mengharuskan sesembahan yang berbilang, dan jumlahnya menjadi tiga.

والجواب: أنه لا تلازم، فإن هذه الأقسام هي حقوقه التي يجب أن يوحد فيها لا أنها ذوات منفصلة عنه، وهذه هي عين شبهة منكري أسماء الله وصفاته كالجهمية وغيرهم، حيث يدَّعون أنَّه يلزم من إثبات الأسماء والصفات تعدد القدماء، حتى إن جهماً شيخ القوم نقل عنه أنَّه قال: لو قلت إنَّ لله تسعة وتسعين اسماً لعبدت تسعة وتسعين إلهاً.

Jawab: Sesungguhnya hal tersebut tidak mengharuskan demikian, karena pembagian itu adalah hak-haknya tauhid yang wajib dalam rangka menyatukan  di dalamnya bukan karena mempunyai dzat yang terpisah darinya, Dan ini adalah sumber syubhat para pengingkar Nama-nama dan Sifat-Sifat Allah seperti Jahmiyah dan selain mereka. Dimana mereka mengklaim bahwa ada keharusan untuk menetapkan nama-nama dan sifat-sifat  yang telah ditetapkan oleh orang-orang terdahulu, bahkan Jahm bin Sofyan (tokohnya Jahmiyah) dinukil darinya bahwa dia mengatakan, “Kalau aku katakan bahwa bagi Allah ada 99 nama maka tentunya aku harus beribadah kepada 99 sesembahan.”

وهذا بعينه متلقى من عُبَّاد الأصنام المشركين بالله تعالى، حيث قالوا: يدعو محمدٌ إلى إله واحد، ثم يقول: يا الله يا سميع يا بصير، فيدعو آلهةً متعدِّدة، فأنزل الله: {قُلِ ادْعُوا اللهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيّاً مَّا تَدْعُوا فَلَهُ الأَسْمَآءُ الحُسْنَى}، فأيُّ اسمٍ دعوتموه به فإنَّما دَعَوْتُم المُسمَّى بذلك الاسم، فأخبر سبحانه أنَّه إله واحدٌ وإن تعدَّدت أسماؤه الحُسنى المشتقَّة من صفاته.

Hal ini khususnya diterima dari para penyembah berhala yang mengagung-agungkan Allah Ta’ala, Dimana mereka mengatakan:  Muhammad berdoa kepada Ilah sesembahan yang satu, kemudian dia mengatakan: Ya Allah Ya Sami’ (Dzat Yang Maha Mendengar), Ya Bashir (Dzat Yang Maha Melihat)  maka dia telah berdoa kepada sesembahan yang berbeda-beda, maka Allah menurunkan ayat: 
Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik).” (QS. Al-Isra: 110).
Apa pun nama yang kalian berdoa dengannya, maka kalian telah menyeru dengan nama tersebut, maka Allah telah mengabarkan bahwa Allah adalah sesembahan yang satu meskipun Namanya-namanya yang indah diambil dari sifat-sifat-Nya banyak sekali.

Syubhat kedua:

2. يقول بعضهم بأنه لا فرق بين الربوبية والألوهية، وأن التفريق باطل.

2. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara rububiyah dan uluhiyah dan sesungguhnya pembedaan itu adalah batil.

والجواب أن يقال لهم ماذا تقولون في من يقول بأن الله خالق رازق مدبر لكنه يؤمن بالأصنام ويعبدها؟ فإن قالوا بأنه مسلم فقد خالفوا إجماع المسلمين بل كفروا بالله، وإن قالوا بأنه مشرك فيقال لهم: ماذا تسمون اعتقاده بأن الله وحده هو الخالق والرازق والمدبر، فإن قالوا نسميه توحيدا فيقال لهم: من أين جاءه الشرك وقد جاء بالتوحيد، وإن قالوا: هو جاء بجزئ من التوحيد وخالف في جزئ آخر فيقال لهم قد خالفتم وفرقتم وهدمتم قولكم.

Jawab: Hendaknya dikatakan kepada mereka apa yang kalian akan katakan kepada orang yang berkata bahwa Allah adalah Dzat Yang mencipta, memberi rezki, yang mengatur namun dia beriman dengan berhala dan beribadah kepadanya? Maka jika mereka mengatakan bahwa orang yang melakukan tersebut adalah seorang muslim maka dia telah menyelisihi ijma’ kaum muslimin bahkan telah kafir terhadap Allah, dan jika mereka mengatakan model orang tersebut adalah seorang musyrik maka dikatakan kepada mereka, “Apa yang kalian sebut tentang keyakinannya bahwa Allah itu adalah Dzat Yang Mencipta, Yang Memberikan rezki, Yang mengatur, maka jika mereka mengatakan, “Kami menamakannya tauhid” maka dikatakan kepada mereka, “ Dari mana datangnya kesyirikan  padanya padahal dia telah membawa tauhid? Jika mereka mengatakan, “orang tersebut telah membawa sebagian dari tauhid dan menyelisihi sebagian lainnya, maka dikatakan kepada mereka,  maka kalian telah menyelisihi dan memisahkan dan menghancurkan perkataan kalian.

ثم إن عدم التفريق بين توحيد الربوبية وتوحيد الألوهية جهل باللغة وبالشرع، ففي اللغة فرق بين الرب والإله مبنى ومعنى، فأما من جهة المبنى فالإله فعال بمعنى مفعول كبساط بمعنى مبسوط، فإله على زنة اسم المفعول، وأما الرب فأصلها رابٌّ، وهي على زنة اسم الفاعل، وفرق بين اسم الفاعل واسم المفعول.
Kemudian, Sesungguhnya tidak adanya pembedaan antara tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah maka itu adalah jahil terhadap bahasa dan syar’i. Maka dalam bahasa ada perbedaan antara Rabb dan al-Ilah secara struktur komponen penyusun katanya dan maknanya. Dari sisi struktur komponen penyusunnya maka al-Ilah itu mempunyai rumus fa’aala dengan makna maf’ul (objek) seperti basaath (bentangan) dengan makna mabsuuth (yang dibentangkan), maka al-Ilah dengan rumusan isim maf’ul  (ma’luh yang diibadahi) sedangkan ar-Rabb maka asal katanya adalah Raabbun menurut rumusan isim fa’il dan beda antara isim fa’il dan isim maf’ul.

وأما من جهة المعنى فالألوهية التي هي مصدر إله ليست هي الربوبية التي هي مصدر الرب، فالإلهية بمعنى العبادة والتذلل باتفاق أهل اللغة، والإله هو المعبود بإجماع أهل العلم (ابن عبدالبر)،

Dan sedangkan menurut sisi makna maka Uluhiyah yang dia adalah mashdar kata Ilah dan rububiyah itu bukanlah mashdar dari kata ar-Rabb, maka al-Ilahiyah dengan makna ibadah dan at-tadalul (perendahan diri) dengan kesepakatan ahli bahasa. Dan al-Ilah itu adalah al-Ma’bud (yang diibadahi) dengan ijma ahli ilmu (Ibnu Abdil Barr).

 فأله يأله إذا ذل وتعبد، وأما الربوبية فإن الرب هو المالك السيد، فأين معنى المعبود من معنى المالك السيد.

Maka fi’il kata kerja Alaha – Ya’lahu jika merendahkan diri dan beribadah, sedangkan Rububiyah maka sesungguhnya ar-Rabb itu itu adalah al-maalik Dzat Yang Maha Menguasai, as-Sayyid (Dzat Yang Memiliki), maka Dimana makna al-Ma’bud (yang diibadahi) dari makna al-maalik as-sayyid. Dzat Yang Maha Menguasai, as-Sayyid (Dzat Yang Memiliki).

 وأما في الشرع فإن هذا القول يلزم منه أن يكون قوله تعالى: {قل أعوذ برب الناس} هو مثل قوله: {إله الناس} وأنه تكرار لا فائدة منه، وهذا قول باطل ينزه عنه كلام الله سبحانه وتعالى.

Dan secara syar’I maka perkataan ini mengharuskan firman Allah Ta’ala: “Katakanlah aku berlindung dengan Rabb nya manusia.” Lafazh ini seperti firman Allah, “Ilaahin Naas – Sesembahannya manusia”  dan bahwa pengulangan itu tidak ada faidah darinya.  Ini adalah perkataan yang bathil, disucikan darinya  firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Syubhat Ketiga:

3. يزعم بعضهم أن هذا التقسيم محدث أحدثه محمد بن عبد الوهاب، وبعضهم يقول ابن تيمية، والجواب من أوجه ثلاثة:

3.  Ada yang berpendapat bahwa pembagian tiga tauhid tersebut adalah hasil inovasi dan diperkenalkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, dan ada pula yang mengatakan (yang membuatnya adalah) Ibnu Taimiyyah, dan jawabannya ada tiga aspek:

الأول: أنه وإن كان محدثا فمادام أن دليله الاستقراء فلا إشكال، ولا مشاحة في الاصطلاح.

Yang pertama: Sekalipun itu adalah hasil inovasi itu maka itu dalilnya adalah istiqro-i (bersifat induksi) maka tidak ada masalah, tidak ada perbedaan pendapat dalam istilah (terminology).

 والثاني: أن هذا الافتراء باطل، فقد ذكر هذا التقسيم جماعة من أهل العلم المتقدمين إما بتصريح أو بإشارة إليه، ومنهم: ابن بطة العكبري وابن مندة وأبو يوسف وأبو حنيفة والطحاوي وابن جرير الطبري والقرطبي وابن حبان والطرطوشي وغيرهم. 

Yang kedua: ini adalah iftira’ (mengada-ada suatu perkara yang tidak ada dasarnya – syubhat diatas) yang batil,  Maka telah disebutkan pembagian tauhid ini  oleh banyak ulama terdahulu, baik dengan terang-terangan atau dengan isyarat kepadanya.  Para ulama itu antara lain: Ibnu Baththoh al-‘Ukbariy, Ibnu Man, dahAbu Yusuf, Abu Hanifah, at-Thohawi, Ibnu Jarir at-Thobariy, al-Qurthuby, Ibnu Hibban, at-Thurthusy dan selain mereka. 

والثالث: أن عامة المتكلمين يقسمون التوحيد إلى ثلاثة أقسام، فيقولون هو واحد في ذاته لا قسيم له، وواحد في صفاته لا شبيه له، وواحد في أفعاله لا شريك له، وتقسيم هؤلاء ينطوي على أمور باطلة كثيرة ليس هذا موضع بيانها، لكن المراد بيان أنهم أنفسهم يقسمون.

Yang Ketiga:  Sesungguhnya kebanyakan para ahli filsafat membagi tauhid menjadi tiga macam, maka mereka mengatakan  dia adalah satu dalam dzatnya tidak terbagi-bagi, satu dalam sifat-Nya tidak ada yang serupa bagi-Nya, satu dalam seluruh perbuatan-Nya tidak ada sekutu bagi-Nya, dan pembagian yang dilakukan mereka itu mengandung banyak perkara yang batil. hal ini bukan tempat untuk menjelaskannya, namun yang dimaksud adalah untuk memperjelas bahwa mereka sendiri yang telah membuat pembagian.

Syubhat keempat:

4. أضاف بعض الحركيين قسما رابعا وهو توحيد الحاكمية، وهذا التقسيم لا يصح، وذلك لأمرين:
4.  Sebagian orang Harokiyun ( tambahan: Orang-orang harokah adalah suatu kaum yang (kelihatannya) berjuang untuk Islam. Mereka berpendapat bahwa memahami agama ini tidaklah cukup untuk memperjuangkan Islam, sampai setiap individu bergabung di dalam suatu gerakan dakwah, yang didalamnya mereka diperintah dan dilarang, (mereka harus) mendengar dan taat. Kegiatan ini kebanyakan disertai dengan bai’at dan sumpah setia, meskipun mereka berada di dalam suatu negara yang dipimpin oleh penguasa muslim.) menambahkan pembagian tauhid menjadi empat yaitu Tauhid Hakimiyah. Dan pembagian yang keempat ini tidak benar, alasannya ada dua perkara:

الأول: أنه بمقتضى مفهوم التقسيم يكون كل قسم مغايرا للقسم الآخر، وأما توحيد الحاكمية فداخل في توحيد الربوبية والألوهية، فإن أريد به التشريع والتحليل والتحريم فهذا توحيد الربوبية، وإن أريد به التعبد بذلك فهذا توحيد الألوهية.

Pertama: Menurut konsep pembagiannya, memberikan konsekuensi  bahwa setiap macam tauhid berbeda dengan macam lainnya. Sedangkan Tauhid Hakimiyah itu telah masuk dalam tauhid Rububiyah dan Uluhiyah.  Maka jika yang diinginkan itu adalah Tasyri’ (pensyariatan), Tahliil (penghalalan), Tahriim (pengharaman) maka ini adalah tauhid Rububiyah, dan jika yang diinginkan itu adalah peribadahan kepada yang demikian maka sudah masuk pada tauhid Uluhiyah.

فإن قيل: نفرده بالذكر لكثرة المخالفين فيه كتوحيد الأسماء والصفات أفرد بالذكر لكثرة المخالفين فيه مع أنه داخل في توحيد الربوبية، فالجواب يتضح بالوجه الثاني، وهو: أن إفراد الحاكمية بقسم يكون سبب غلو في هذا التوحيد، والغلو فيه هو سبب أول تفرق وتحزب بدعي كان في الأمة الإسلامية، فإن سبب خروج فرقة الخوارج هو الغلو في مسألة الحاكمية، فتبين أنه فرق بين المخالفة في الأسماء والصفات والمخالفة في الحاكمية، فأما الأسماء والصفات فالمخالفون فيها جفوا ولم يثبتوا، فكان ذكرها وإبرازها متعين ومطلوب، وأما الحاكمية فالمخالفون فيها غلوا وبالغوا في الإثبات، فكان عدم إظهارها أكثر هو المتعين، على أن الخطأ في الحاكمية لا يكون كفرا أكبر إلا إن صاحبه اعتقاد كفري، فمثله لا يكون قسيما للألوهية والربوبية والصفات إلا من أهل الغلو.
Maka jika dikatakan: Kami pilihkan ( tauhid Hakimiyah ) untuk disebutkan karena banyaknya penentang dalam pembagian tauhid yang tiga, seperti halnya tauhid asma wa shifat yang disebutkan, karena banyak penentangnya, padahal bisa termasuk dalam tauhid Rububiyah, maka jawabnya adalah jelas dengan sisi jawaban yang kedua, yaitu dipilihnya Tauhid Hakimiyah sebagai macam dari tauhid itu bisa menyebabkan ghuluw berlebih-lebihan dalam tauhid. Dan ghuluw (sikap berlebih-lebihan) itu adalah sebab awal munculnya perpecahan, kelompok-kelompok ahli bid’ah pada umat Islam. Maka sebab munculnya Khawarij adalah ghuluw dalam masalah Hakimiyah. Dan jelas perbedaan penyimpangan dalam asma wa shifat dan penyimpangan dalam Hakimiyah. Adapun  penyimpangan terhadap Tauhid asma was shifat adalah kering dan tidak terbukti, sehingga penyimpangan tersebut perlu dan wajib untuk disebutkan dan ditonjolkan. Sedangkan 
Adapun mengenai tauhid hakimiyah, orang-orang yang menyimpang didalamnya adalah ghuluw (berlebih-lebihan) bahkan sampai pada level penetapan,  Hal ini tidak perlu dipertegas lagi, mengingat kesalahan dalam hakimiyah (penghukuman penguasa) bukanlah merupakan kekafiran yang besar kecuali disertai dengan keyakinan kekafiran, karena hal yang demikian tidak dapat dianggap sebagai tambahan pembagian tauhid dari tauhid Uluhiyah, Rububiyah, asma wa shifat kecuali dari orang-orang yang ghuluw alias extrimis.
Ayman abdullah 

Rabu, 23 Oktober 2024

Imam Ja’far Shodiq menghukumi KAFIR orang yg menisbahkan arah dan tempat kepada Allah seperti kelakuan sebagian kaum tekstualis

Ragu2 apakah Allah  mukholafah lil-hawaditis atau tidak, ragu2 apakah Allah berbedza dari makhluknya atau tidak, ini adalah sifat ragu2 yg paling berbahaya karena mengakibatkan pelakunya murtad dan jatuh kedalam kekafiran. Jadi kudu yakin bahwa Allah itu berbeda dengan makhluknya dari segala bidang. 

Jika makhluk itu tdk lepas dari 3 unsur; jisim, jauhar dan ‘arodh, maka Allah bukanlah jisim, jauhar juga ‘arodh. Jika makhluk itu membutuhkan arah dan tempat, maka Allah maha suci dari itu semua. Atas hal ini, maka wajar sekali, klo kemudian Imam Ja’far Shodiq menghukumi KAFIR orang yg menisbahkan arah dan tempat kepada Allah seperti kelakuan sebagian kaum tekstualis. Cetek sekali pemikirannya, kok Tuhan bersemayam ! memangnya Dia seperti Anda yg suka bersemayam di atas ranjang 🥴

https://www.facebook.com/share/p/VDNgyGHR4BxNfYbr/