Minggu, 04 Agustus 2024

SYARAH USHUL AS-SUNNAHLIL IMAM AL-HUMAIDY rahimahullah(bagian 05)

FAWAID_DAURAH_ILMIYAH_SOLO
PONPES_IMAM_BUKHARI_SOLO

شرح أصول السنة 
للإمام الحميدي رحمه الله
مع فضيلة الشيخ الأستاذ الدكتور إبراهيم بن عامر الرحيلي حفظه الله تعالى

SYARAH USHUL AS-SUNNAH
LIL IMAM AL-HUMAIDY rahimahullah
(bagian 05)

Dijelaskan oleh Fadhilah Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily hafizhahullah

فأول ما ينبغي أن يعرف هذا الأصل، وإن كان من حيث الترتيب عند كثير من أهل العلم يذكر القدر متأخراً عن التوحيد، وعن الإيمان بالله واليوم الآخر، والإيمان بالكتب والرسل والملائكة، لأنه جاء في حديث جبريل أن النبي صلى الله عليه وسلم ذكره آخر أركان الإيمان. تقديمه باعتبار أنه متقدم من حيث الزمن، فإن الله قدر مقادير الصلاة قبل وجود الخلائق وقبل أن يشرع لهم التشريع. ولا مشاحة في الاصطلاح، سواء قدم القدر أو غيره، فلا تسريب في ذلك ولا يشدد في هذا.

Hal pertama yang harus diketahui adalah pokok ini, meskipun dari segi urutan menurut banyak ulama disebutkan takdir setelah tauhid, dan iman kepada Allah dan hari akhir, dan iman kepada kitab-kitab, rasul-rasul, dan malaikat, karena dalam hadits Jibril bahwa Nabi Muhammad ﷺ menyebutkannya sebagai rukun iman yang terakhir. Diajukan dengan pertimbangan bahwa itu lebih awal dari segi waktu, karena Allah telah menetapkan takdir shalat sebelum adanya makhluk dan sebelum Dia mensyariatkan hukum untuk mereka. Tidak ada masalah dalam istilah, apakah takdir disebutkan terlebih dahulu atau yang lainnya, tidak ada celaan dalam hal ini dan tidak perlu terlalu keras.

قال: "أن يؤمن الرجل بالقدر خيره وشره". هذا الأول، وهو أن يؤمن الرجل، وقوله: "الرجل" هنا على سبيل التغليب، وإلا فالأمة كلها مخاطبة من الرجال والنساء، من الإنس والجن، من العرب والعجم، كلهم مخاطبون بهذا الدين. "أن يؤمن الرجل بالقدر خيره وشره".

Dikatakan: "bahwa seseorang beriman kepada takdir, baik dan buruknya." Ini yang pertama, yaitu bahwa seseorang beriman, dan kata "seseorang" di sini digunakan secara umum, karena seluruh umat baik laki-laki dan perempuan, manusia dan jin, Arab dan non-Arab, semuanya ditujukan dengan agama ini. "bahwa seseorang beriman kepada takdir, baik dan buruknya."

القدر هو ما قدره الله بناء على علمه السابق من مقادير الخلائق قبل خلق المخلوقات وقبل وجود الكائنات. كما جاء في الحديث: "أن الله لما خلق القلم قال له: اكتب. قال: ما أكتب؟ قال: اكتب ما هو كائن إلى قيام الساعة". فجرى بالمقادير.

Takdir adalah apa yang Allah tetapkan berdasarkan ilmu-Nya yang sebelumnya mengenai takdir makhluk sebelum penciptaan makhluk dan sebelum adanya keberadaan. Sebagaimana dalam hadits: "Ketika Allah menciptakan pena, Dia berkata kepadanya: tulislah. Pena berkata: Apa yang harus saya tulis? Allah berkata: tulislah apa yang akan terjadi sampai hari kiamat." "Maka semuanya berjalan sesuai dengan takdir.

من أصول السنة الإيمان بالقدر، والقدر يُذكر منفرداً عن القضاء ويُذكر مقترناً بالقضاء. فيقال: الإيمان بالقضاء والقدر، ويقال: الإيمان بالقدر. وهذا على سبيل الانفراد، ويقال أيضاً على سبيل الانفراد: الإيمان بالقضاء. والفرق بين القضاء والقدر أن القدر هو تقدير الله السابق لمقادير المخلوقات قبل وجودها وقبل برئها. وأما القضاء فهو تنفيذ التقدير بظهوره من التقدير إلى الوجود. ولهذا فالقضاء هو خلق الله وإيجاده لما قدره في الأزل من الذوات والأفعال.

Salah satu prinsip as-sunnah adalah iman kepada takdir, dan takdir disebutkan secara terpisah dari qadha dan juga disebutkan bersama dengan qadha. Maka dikatakan: iman kepada qadha dan takdir, dan dikatakan: iman kepada takdir. Ini secara terpisah, dan juga dikatakan secara terpisah: iman kepada qadha. Perbedaan antara qadha dan takdir adalah bahwa takdir adalah ketetapan Allah sebelumnya mengenai takdir makhluk sebelum adanya dan sebelum penciptaannya. Sedangkan qadha adalah pelaksanaan ketetapan dengan munculnya dari takdir menjadi kenyataan. Oleh karena itu, qadha adalah penciptaan yang dilakukan oleh Allah dan perwujudannya terhadap apa yang telah Dia tetapkan sejak azali (yang abadi tanpa ada awalnya) dari dzat dan perbuatan. (bisa dikatakan maknanya:
• Takdir (القدر) adalah ketetapan Allah yang sudah ditentukan sejak awal mengenai segala sesuatu yang akan terjadi pada makhluk sebelum mereka diciptakan dan sebelum adanya alam semesta.
• Qadha (القضاء) adalah pelaksanaan atau realisasi dari ketetapan tersebut, yaitu ketika ketetapan itu muncul menjadi kenyataan dalam bentuk penciptaan dan kejadian di alam nyata)

فإذا قدر الله في الأزل أن هذا الرجل يولد له هذا الابن، فهذا موجود في القدر قبل أن يوجد هذا الرجل وقبل أن توجد الزوجة وقبل أن يتزوج.

Maka jika Allah menetapkan sejak azali bahwa seseorang akan memiliki anak ini, maka ini sudah ada dalam takdir sebelum keberadaan orang tersebut dan sebelum adanya istri dan sebelum dia menikah.

فهذا وجود في التقدير، أن هذا يُقدر له أن يكون له من الولد كذا وكذا. فإذا قضى الله بذلك وتزوج وولد الولد الأول، فهذا قضاء بالتقدير بخلق الابن الأول، وهكذا الثاني والثالث. فالقضاء هو خلق الله للمخلوقات وإيجاده للأفعال. لأن القضاء ليس هو فقط للذوات، بل حتى للأفعال.

Maka ini ada dalam takdir, bahwa seseorang ditetapkan memiliki anak sekian dan sekian. Jika Allah memutuskan qadha’ hal tersebut dan orang itu menikah lalu melahirkan anak pertama, maka ini adalah qadha dengan taqdir penciptaan anak pertama, dan begitu seterusnya dengan anak kedua dan ketiga. Maka qadha adalah penciptaan yang dilakukan oleh Allah terhadap makhluk dan perwujudannya terhadap perbuatan. Karena qadha bukan hanya untuk berlaku dzat, tetapi juga untuk perbuatan.

ولهذا نقول فيما يقع من الأمور: هذا قضاء الله، يعني أن الله قضى به وقدره. فهذا كل من القضاء والقدر، لكن إذا ذُكر القدر منفرداً دخل فيه القضاء، وإذا ذُكر القضاء منفرداً دخل فيه القدر. الكلمات التي يقول فيها العلماء: "إذا اجتمعت افترقت، وإذا افترقت اجتمعت"، كالإسلام والإيمان، والفقير والمسكين، ومنها القضاء والقدر.

Oleh karena itu, kami mengatakan dalam hal-hal yang telah terjadi: ini adalah qadha Allah, artinya Allah memutuskan qadha’ dan mentaqdirkannya. Maka ini semua adalah qadha dan takdir, tetapi jika takdir disebutkan secara terpisah, qadha juga termasuk di dalamnya, dan jika qadha disebutkan secara terpisah, takdir juga termasuk di dalamnya. Kata-kata yang dikatakan para ulama: "Jika keduanya disebut bersama, maka keduanya memiliki makna yang berbeda; namun jika disebut secara terpisah, maka keduanya mencakup makna yang sama." , seperti penyebutan Islam dan iman, fakir dan miskin, dan termasuk hal tersebut adalah  qadha dan takdir. (bisa dikatakan dua istilah dapat memiliki makna yang lebih spesifik ketika disebut bersama-sama, namun mencakup makna satu sama lain ketika disebut secara terpisah.)

قوله: "بالقدر خيره وشره" أي بما قدره الله عز وجل ووجد من الخير والشر، مما يحب ويكره، مما يسر ويحزن، كل ذلك بقدر الله. قدر النعم وما يفرح به الناس من الأرزاق، وقدر المصائب والبلاء وما يحزن له الناس من مر القضاء، كل ذلك مقدر بناء على علم الله السابق. فيجب الإيمان بهذا كله.

Kata-katanya: "dengan takdir baik dan buruknya" yaitu dengan apa yang Allah tetapkan dan terjadi dari kebaikan dan keburukan, dari apa yang disukai dan dibenci, dari apa yang menyenangkan dan menyedihkan, semuanya adalah takdir Allah. Dia menetapkan nikmat dan apa yang membuat orang bahagia dari rezeki, dan menetapkan musibah dan cobaan serta apa yang membuat orang sedih dari ketentuan Allah, semuanya ditetapkan berdasarkan ilmu Allah yang sebelumnya. Maka wajib beriman kepada semuanya ini.

وقد انحرفت في هذا الباب بعض الطوائف، القدرية والجبرية. القدرية قالوا إن الله يقدر الخير، ولكنه لا يقدر الشر، ولا يقدر المعاصي، لأنه لو قدرها وعاقب عليها لكان هذا ظلماً. وقالوا: إن نقول إن الله لا يقدر الذنوب، ولو قدرها لكان هذا معارضاً للشرع. فكيف يأمر بالطاعات وينهى عن المعاصي ثم يقدر المعاصي؟ فعارضوا بين الشرع والقدر.

Beberapa golongan telah menyimpang dalam hal ini, yaitu Qadariyah dan Jabariyah. Qadariyah mengatakan bahwa Allah menetapkan kebaikan, tetapi tidak menetapkan keburukan, dan tidak menetapkan maksiat, karena jika Dia menetapkannya dan menghukum atasnya maka ini adalah ketidakadilan. Mereka mengatakan: kita mengatakan bahwa Allah tidak menetapkan dosa, jika Dia menetapkannya maka ini bertentangan dengan syariat. Bagaimana Dia memerintahkan ketaatan dan melarang maksiat kemudian menetapkan maksiat? Mereka mempertentangkan antara syariat dan takdir.

ويقابلهم الجبرية، قالوا إن كل ما يقع هو بتقدير الله، فكما أن أولئك غلوا في الشرع وعارضوا به القدر وعطلوا القدر، فهؤلاء غلوا في القدر وأبطلوا به الشرع، فقالوا: كل ما يقع من الشرور والآثام والبلاء كله من الله، وأنكروا أن يكون العبد هو فاعل الشر، أو أن العبد هو العاصي. قالوا: بل إن الناس مجبورون على أفعالهم. قالوا: وعندما نقول: فلان فعل، فهو من قبيل قولنا: سال الوادي. فالوادي لم يحصل منه فعل، ولكن لجريان الماء فيه قلنا: سال الوادي. فكذلك الإنسان ليس له فعل، بل لكون الله خلق هذا الفعل فيه قلنا: فعل. وإلا هو ليس فاعلاً، مثلما نقول: أمطرت السماء، السماء لم تمطر، ولكن أنزل الله المطر منها، والوادي لم يفعل ولكن جرى الماء فيه.

Sebaliknya Jabariyah mengatakan bahwa semua yang terjadi adalah dengan ketetapan Allah, sebagaimana golongan tersebut berlebihan dalam syariat dan menentang takdir serta menolak takdir, maka golongan ini berlebihan dalam takdir dan menolak syariat, mereka mengatakan: semua yang terjadi dari keburukan dan dosa serta cobaan semuanya dari Allah, mereka menyangkal bahwa hamba adalah pelaku keburukan atau hamba adalah yang berbuat dosa. Mereka mengatakan: manusia terpaksa atas perbuatan mereka. Mereka mengatakan: ketika kita mengatakan: seseorang melakukan, ini seperti kita mengatakan: sungai mengalir. Sungai tidak melakukan apa-apa, tetapi karena air mengalir di dalamnya maka kita mengatakan: sungai mengalir. Begitu juga manusia tidak memiliki perbuatan, tetapi karena Allah menciptakan perbuatan tersebut di dalamnya maka kita mengatakan: melakukan. Sebenarnya dia tidak melakukan, seperti kita mengatakan: langit menurunkan hujan, langit tidak menurunkan hujan, tetapi Allah menurunkan hujan dari langit, sungai tidak melakukan apa-apa tetapi air mengalir di dalamnya.

وهذا ضلال، كما أن مسلك القدرية ضلال. والذي عليه أهل السنة أن الله قدر كل شيء، فقدر الخير والشر، وقدر الطاعات والمعاصي، والعبد هو الفاعل للخير والشر. وقالوا: نحن لا نعارض بين القدر والشرع. فالله مقدر لكل ما يقع في الوجود، ولكن من حكمته أنه لما أمر الناس بالدين أعطاهم القدرة على أن يطيعوا أو يعصوا. فمن أراد الطاعة يسرها له، ومن أراد المعصية يسرها له، كما جاء في الحديث: " كلٌّ مُيَسَّرٌ لِما خُلِقَ لهُ ".

Ini adalah kesesatan, sebagaimana jalan Qadariyah adalah kesesatan. Yang dipegang oleh Ahlus Sunnah adalah bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, baik dan buruk, ketaatan dan maksiat, dan hamba adalah pelaku kebaikan dan keburukan. Mereka mengatakan: kita tidak mempertentangkan antara takdir dan syariat. Allah menetapkan segala yang terjadi di alam semesta, tetapi dari hikmah-Nya bahwa ketika Dia memerintahkan manusia dengan agama, Dia memberi mereka kemampuan untuk taat atau maksiat. Barangsiapa yang menginginkan ketaatan, Allah memudahkan baginya, dan barangsiapa yang menginginkan maksiat, Allah memudahkan baginya, sebagaimana dalam hadits: " Setiap orang dimudahkan beramal sesuai dengan tujuan diciptakannya." " (HR. Al-Bukhari no. 7551 dan Muslim no. 2649)

ولا نقول إن الله هو الفاعل للخير والشر الذي قام في الإنسان، فالإنسان هو الفاعل في الصلاة، هو المصلي، ولا نقول الله هو المصلي. والعبد هو الصائم والعبد هو الذاكر، والله هو الذي خلق هذا الفعل فيه. وكذلك نقول: العبد هو الفاعل للمعاصي، ولا يقال إن الله تعالى عن ذلك فعل هذه الذنوب، لكنه قدّرها وأعطى العبد القدرة عليها.

Kita tidak mengatakan bahwa Allah adalah pelaku kebaikan dan keburukan yang ada pada manusia, manusia adalah pelaku dalam shalat, dia yang shalat, dan kita tidak mengatakan Allah yang shalat. Hamba yang berpuasa dan hamba yang berdzikir, dan Allah yang menciptakan perbuatan ini di dalamnya. Begitu juga kita mengatakan: hamba adalah pelaku maksiat, dan tidak dikatakan bahwa Allah yang melakukan dosa-dosa ini, tetapi Dia telah menetapkannya dan memberi hamba kemampuan untuk melakukannya.

Bersambung============

Lajnah Tafrigh Faedah Daurah - Mahad Imam Al-Bukhari Solo

#Daurah_Al_Ilmiyyah_Solo_Mahad_Imam_Al_Bukhari_Muharram1446H
Ustadz Zaki rakhmawan