Bila mengacu pada kriteria berikut, maka kecamatan sudah bisa disebut "balad", sehingga bila diterapkan ke permasalahan fikih :
[1] Seseorang baru disebut musafir dan bisa mengambil keringanan safar (jama', qoshor, dsb) bila ia sudah keluar dari batas kecamatan, sehingga apabila ia masih berada di kecamatan ia tinggal, maka wajib menyempurnakan shalat (4 rakaat) dan wajib mengerjakan shakat pada waktunya (tidak menjama').
[2] Seseorang tidak lagi mendapat keringanan safar bila sudah sampai ke kecamatan tempat ia tinggal. Apabila seseorang ingin mendapat rukhshoh safar, maka ia bisa mengerjakan jama' dan qoshor saat tiba di stasiun/bandara.. bila letaknya beda kecamatan dengan tempat kita tinggal.
[3] Seseorang baru bisa mengambil keringanan tidak puasa saat safar, apabila sebelum subuh ia sudah keluar dari kecamatan tempat ia tinggal.
[4] Dalam satu kecamatan hanya boleh ada satu pelaksanaan shalat jum'at, kecuali bila ada udzur atau seperti luasnya wilayah dan banyaknya kaum muslimin, maka boleh ada beberapa pelaksanaan sesuai dg hajat dan kebutuhan.
Noted ; sebagian ulama syafi'iyyah membolehkan berbilangnya shalat jum'at dalam satu desa/kampung dengan syarat dilaksanakan oleh minimal 40 orang yang mustauthin.
Monggo bila ada asatidzah yang ingin menambahkan.