Selasa, 27 Agustus 2024

Faidah daurah "Kewajiban seorang muslim dalam menanggapi khilaf para ulama"

Faidah daurah "Kewajiban seorang muslim dalam menanggapi khilaf para ulama" 

Oleh. Ust. Ashim Abdurrahman bin Abdul Fattah 

1.Nikmat dunia semua orang mendapatkanya walaupun orang² kafir sekalipun, adapun nikmat hidayah maka ini khusus pilihan Allah saja maka lebih layak disyukuri, jangan terbalik

2.Abu Thalib melakukan pertolongan besar untuk islam walau dia tidak masuk Islam, adapun kita coba lihat lalu apa yg telah kita perbuat untuk islam, segala puji bagi Allah, Ibnul qayyim mengatakan kalaulah Abu Thalib masuk Islam mungkin tak akan tersebar islam sebagaimana sekarang, sebab ada hikmah besar disana dengan sebab tetap kafirnya Abu Thalib maka orang-orang kafir quraisy  membiarkan sikap Abu thalib melindungi Nabi saw.

3.SEMUA perselisihan dalam islam tak akan menyebabkan permusuhan ketika semua pihak TIDAK melampaui batas.

4.ibnu Abbas, Zaid bin tsabit, Ibnu umar, Ibnu Mas'ud adalah 4 sumber penyebaran islam. No 2 dan 3 di Madinah, no 1 di Makkah, no.4 Ibnu Mas'ud di iraq. Hanafiyah mereka ilmunya mengerucut kepada Ibnu Mas'ud, malikiyah mengerucut kepada Ibnu umar dan Zaid bin tsabit, adapun hanabilah mengambil dari mereka semua, begitu juga imam Syafi'i, dan imam Syafi'i juga mengambil ilmu dari imam Syafi'i. Dan hingga saat ini tak ada satu madzhab pun kecuali akan kembali pada salah satu dari yg empat ini mayoritas.

5.Para ulama sepakat pada syarat-syarat hadits sohih adalah rawi bukan pendusta, tsiqah, jujur, tak pernah dusta, artinya ulama yg diterima ulama lain tak akan pernah sengaja berdusta atau sengaja  menyelisihi sunnah rasulullah baik pada perkara yg rumit maupun yg umum, mereka semua sepakat wajibnya mengikuti rasulullah saw.

6.Maka jika salah seorang dari mereka seolah menyelisihi hadits maka pasti ada udzur bagi mereka, semisal mereka tidak menganggap haditsnya shahih.

7.Atau alasan lain karena bukan itu yg dimaksud Nabi saw dalam hadits, sebagaimana sikap Umar dalam memberi zakat pada kaum kuffar untuk ta’lif, beliau menolak, dan mengatakan dulu (perbuatan Nabi saw) wakty itu kita sedikit sekarang sudah banyak, maka harus menjaga izzah, barang siapa mau masuk islam maka silahkan tidak mau juga silahkan.

8.Contoh lain adalah hadits darah tak ada yg mengatakan najis, namun ijma ulama mengatakan najis walau Ibnu hazm dan gurunya sekalipun yg dhahiri. Awal muncul pendapat tak najis adalah imam Asson’any tahun 1000an H

9. Atau alasan lain memang sohih, dan maksud memang benar, tapi sudah mansukh, semisal perintah wudhu setelah makan daging onta yg dimasak dg api.

10. Tinggalkan ucapan “Mau ikut ulama atau ikut dalil?” Sebab ini kurang adab, seolah ulama tersebut fasiq karena tak mau ikut dalil, wajib kita memakai ucapan² yg menempatkan para ulama itu ada di dalam kedudukan yg tinggi, cukup kita katakan mau ikut pendapat ulama fulan atau ulama fulan. Memang ucapan ikuti dalil jangan ikuti ulama adalah ucapan benar namun jangan dilakukan kepada orang-orang awam yg tak punya alat memahami dalil, adapun orang-orang yg telah punya bekal dalam bahasa dan usul fiqh yg denganya bisa dia gunakan untuk memahami dalil, maka bisa dibenarkan.

11.perselisihan ada 2, pertama ijtihadiyah mu'tabar dan syadz ghoiru mu'tabar.

–12.ibnu hazm aqidah beliau jahmiyah mu'tazilah namun tak satupun ulama mengatakan beliau ahlul bidah, dikatakan beliau adalah orang yg cinta kebenaran namun tergelincir dalam hal ini.--

13.Bagaimana cara membedakan ini ijtihadiyah atau bukan? Maka kita taqlid pada perkataan ulama mujtahidin, sebab kita tak mampu dan orang-orang zaman sekarang belum ada yg mampu mencapai derajat mujtahid sebagaimana zaman para imam dahulu, adapun menganggap ini ijtihadiyah atau bukan dengan pendapat sendiri maka ini berbahaya.

14.Jika satu pendapat diikuti banyak ulama dan sebaliknya juga maka ini jelas ijtihadiyah,(imam Syatibi) adapun jika cuma 1 ulama saja maka ini syadz, khutbah ied 1x secara kaidah ini syadz, hanya 1 riwayat dari Atho’. 

15.Termasuk dalam masalah makmum wajib mengikuti imam ketika perbedaan yg ada adalah ijtihadiyah.

16.Ibnu qayyim: barang siapa mengatakan imam fulan menyelisihi sunnah rasulullah maka sungguh dia telah berdusta dan wajib dihukum sampai sadar.

17.Wajibnya bertanya pada para ulama apakah ini ijtihadiyah atau tidak dan bagaimana sebaiknya sikap Sy?

18.Anjuran jangan membahas masalah aqidah yg terlalu mendalam didepan orang-orang awam ditakutkan akan memasukkan syubhat kedalam hati mereka.

19.Orang yg beramal tanpa ilmu jika benar tetap sah, namun dia berdosa kecuali dia telah berusaha mencari. Hakikatnya amal tanpa Ilmu dia sedang merendahkan dan mengesampingkan wahyu Allah.

20.Larangan memaksa seseorang mengikuti pendapat kita dalam masalah ijtihadiyah, kata Ibnu Taimiyyah tidak boleh kita ingkari, bahkan pemerintah sekalipun.

21.Taqlid buta dibolehkan pada bbrp kondisi: saat tak mampu memahami dalil, Saat tak sempat meneliti dalil, saat pertama belajar agar runtut sampai selesai dulu dll.

22.Boleh meninggalkan pendapat yg diyakininya ketika merasa sangat berat dan melihat maslahat lain dan ada pendapat lain yg menguatkan dengan catatan bukan dalam rangka mencari keringanan (Ibnu taimiyyah)

23. faidah pertanyaan : bagaimana tentang khilaf ulama masalah mahram bagi wanita ketika safar mana pendapat yg rojih, beliau ust Ashim menyuruh penanya untuk membaca pembahasan ini dalam status saya di fb.

Kesimpulan :
Jangan sampai kita dalam masalah perselisihan ulama melewati garis kewajiban kita sebagai seorang muslim.

Semoga Allah berikan keberkahan ilmu dan waktu dan keluarga bagi beliau dan kita yg menyimak kajian ini. Aamiin.
Ustadz bagus Wijanarko