FAKTA ILMIYAH KEZHALIMAN SYEKH SA'ID FUDAH TERHADAP SYEKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH PART 1
Lagi ramai yang penasaran mengenai apa sebenarnya yang terjadi antara Ustadz Nidhol dengan Syekh Said Fudah yang diberitakan pernah melakukan pertemuan tertutup di Malaysia.
Allahu a'lam apa yang terjadi di antara keduanya. Tapi, yang jelas hingga saat ini isi pertemuan itu menjadi misterius, kedua belah pihak sepertinya belum ada yang membeberkan detail kejadiannya ke publik.
Namun, perlu anda ketahui bahwa Syekh Said Fudah diklaim oleh sebagian kalangan sebagai tokoh utama Asy'ariyah internasional. Dan menjadi rujukan utama oleh kalangan Asy'ariyah Nusantara baik Malaysia ataupun Indonesia.
Bahkan ada yang menjuluki beliau Arrazi era modern, konon karena penguasaannya terhadap ilmu kalam dan mantiq dan sudah menulis ratusan kitab.(1)
Di sisi lain, Syekh Said Fudah juga dikenal sebagai tokoh yang paling banyak mengkritik Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Bahkan bisa digolongkan sebagai orang yang paling anti Syekhul Islam Ibnu Taimiyah. Bahkan sudah sampai pada level merendahkan harga diri Syekhul Islam.
Sangat disayangkan sanggahan-sanggahan beliau terhadap Syekhul Islam mayoritasnya dibumbui dengan perkataan-perkataan yang tidak pantas diucapkan oleh seorang yang dikenal sebagai tokoh dan peneliti. Seperti kata Mustahbal (tidak waras), Mughaffal (bodoh), Sakhif (pandir) dan julukan buruk lainnya yang semisal.
Bahkan tidak segan-segan memelintir kutipan perkataan Syekhul Islam agar bisa memperkuat asumsinya. Dan tak jarang beliau menisbatkan kepada Syekhul Islam pendapat secara keji dan dusta.
Salah satu di antaranya adalah kutipan berikut ini yang kami bawakan dari kitab Al-Kasyifushshoghir.
Syekhul Islam Ibnu Taimiyah (w.728 H) – sebagaimana Syekh Said Fudah kutipkan di dalam Al-Kasyifushshoghir – saat membantah perkataan Imam Arrazi (w.606 H) berkata :
وإن أردت أنهم وصفوه بالصفات الخبرية، مثل: الوجه واليد، وذلك يقتضي تجزئة التبعيض، أو أنهم وصفوه بما يقتضي أن يكون جسمًا، والجسم متبعض ومتجزئ، وإن لم يقولوا هو جسم فيقال له: لا اختصاص للحنابلة بذلك، بل هو مذهب جماهير أهل الإسلام، بل وسائر أهل الملل وسلف الأمة وأئمتها.
"Jika yang anda maksud adalah mereka (Hanabilah) menyifati Allah dengan sifat-sifat khabariyah – seperti wajah, tangan, dan hal itu berkonsekuensi kepada keterbagian, atau (yang anda maksud) mereka menyifati-Nya dengan sifat-sifat (yang menurut anda) mengharuskan Allah adalah jism sementara jism itu terbagi, meskipun mereka tidak menyatakan bahwa Dia adalah Jism- maka dijawab kepadanya (Arrazi) : Bukan hanya ulama Hanabilah yang berpandangan demikian, bahkan dia adalah madzhab mayoritas pemeluk Islam, bahkan mayoritas pemeluk agama-agama dan ulama salaf serta imam-imam mereka.(2)
Silakan anda baca dengan cermat kutipan di atas, lalu, perhatikan komentar Syekh Said Fudah berikut ini bagaimana beliau secara serampangan memaksakan agar perkataan Syekhul Islam selaras dengan misinya mentajsimkan beliau :
فانظر في هذا الكلام الشنيع كيف ينسب القول بأن الله جسم إلى جماهير أهل الإسلام، بل وسائر الملل وسلف الأمة وأئمتها فمن من سلف الأمة قال بذلك إلا المجسمة وهل المجسمة هم سلف هذه الأمة المباركة
"Perhatikan isi perkataan buruk ini bagaimana dia (Ibnu Taimiyah) mengatribusikan perkataan bahwa Allah adalah jism kepada jumhur ulama Islam, bahkan jumhur kelompok dan pendahulu umat ini serta imam-imam mereka.Siapakah dari pendahulu umat ini yang menyatakan demikian selain dari kelompok Mujassimah? Apakah Mujassimah dikategorikan sebagai pendahulu umat ini?."(3)
Dan untuk mengalihkan perhatian pembaca, beliau memberikan font tebal diksi berikut ini :
أو أنهم وصفوه بما يقتضي أن يكون جسمًا، والجسم متبعض ومتجزئ، وإن لم يقولوا هو جسم
"Atau (yang anda maksud) mereka menyifati-Nya dengan sifat-sifat yang mengharuskan Allah adalah jism, sementara jism itu terbagi, meskipun mereka tidak menyatakan bahwa Dia adalah Jism"
Sehingga, pembaca yang tidak teliti apalagi yang masih awan, jika hanya membaca teks tersebut pada bagian yang ditulis tebal saja, maka, konotasinya pasti akan berubah total dan akan berbeda dengan yang diinginkan oleh Syekhul Islam.
Untuk memahami perkataan Ibnu Taimiyah ini-sebagaimana lumrah diketahui oleh para pengkaji literatur beliau- tentu harus membaca konteks pembahasannya secara utuh agar tidak terjadi mispersepsi.
Lebih jelasnya sebagaimana yang akan kami jelaskan berikut ini :
Pertama : Perkataan Syekhul Islam di atas adalah bantahan terhadap perkataan Imam Arrazi yang berbunyi :
وأما الحنابلة الذين التزموا الأجزاء والأبعاض
"Adapun kalangan Hanabilah yang komitmen dengan (konsep) bagian-bagian."(4)
Maknanya bahwa Imam Arrazi mengklaim bahwa Hanabilah memegang konsep keyakinan Allah memiliki bagian-bagian. Oleh karena itu, Syekhul Islam membuat beberapa klarifikasi agar maknanya tidak menjadi liar. Karena bagi Syekhul Islam, perkataan Imam Arrazi ini masih ambigu dan multitafsir.
Di antara kemungkinan maknanya- selain yang beliau telah sebutkan di awal pembahasan- adalah bahwa Hanabilah meyakini Allah ta'ala memiliki bagian-bagian sebagai konsekuensi dari mengafirmasi sifat-sifat khabariyah yang ada di dalam Al-Qur'an dan Assunnah seperti sifat Wajah dan Yad.
Karena bagi Imam Arrazi mengafirmasi sifat-sifat tersebut adalah termasuk mengafirmasi adanya bagian-bagian bagi Allah. Itulah maksud penggalan pertama :
وإن أردت أنهم وصفوه بالصفات الخبرية، مثل: الوجه واليد، وذلك يقتضي تجزئة التبعيض،
"Jika yang anda maksud adalah mereka (Hanabilah) menyifati Allah dengan sifat-sifat khabariyah – seperti wajah, tangan, dan hal itu (menurut anda) berkonsekuensi kepada keterbagian."
Atau kemungkinan kedua jika yang dimaksud Imam Arrazi adalah bahwa Hanabilah menyifati Allah dengan sifat-sifat lain yang memiliki konsekuensi jism seperti sifat istiwa yang berkonsekuensi Jism. Yang mana jism itu juga berkonotasi adanya bagian-bagian.
Sebagai catatan, konsekuensi Allah berjism dan memiliki bagian-bagian tentunya adalah dalam persepsi Imam Arrazi dan kelompoknya. Karena bagi ulama Hanabilah mereka tidak menerima konsekuensi tersebut. Makanya Syekhul Islam berkata setelahnya :
وإن لم يقولوا هو جسم
"Meskipun mereka (Hanabilah) sendiri tidak mengatakan bahwa Allah adalah jism."
Statemen serupa bisa kita jumpai di bagian lain dalam kitab Bayan Talbis, beliau berkata :
فلا ريب أن فيهم من يثبت هذه الصفات الخبرية كالوجه واليد التي يسميها هو الجوارح والأبعاض، ويطلقون أيضا لفظ الجسم إما لفظا وإما لفظا ومعنى.وأما الحنبلية فلا يعرف فيهم من يطلق هذا اللفظ، ولكن فيهم من ينفيه، وفيهم من لا ينفيه ولا يثبته، وهو الذي كان عليه الإمام أحمد وسائر أئمة السنة وإن كانوا مع ذلك يثبتون ما جاءت به النصوص مما يسميه المنازعون تجسيما وتشبيها.
"Maka tidak diragukan bahwa di antara mereka (Karramiyah) ada yang mengitsbat sifat-sifat khabariyah seperti Wajah dan Tangan yang dia (Imam Arrazi) sebut sebagai anggota badan dan bagian-bagian. Dan Karramiyah menggunakan istilah jism secara mutlak baik secara verbal (saja) atau secara verbal dan makna. Adapun Hanabilah, tidak diketahui dari mereka yang menggunakannya secara mutlak. Akan tetapi, dari mereka ada yang menegasikan penggunaannya dan ada juga yang tidak menegasikan dan tidak mengafirmasinya dan demikian inilah sikap Imam Ahmad dan Imam-imam Sunnah lainnya. Meskipun begitu, mereka tetap mengafirmasi sifat-sifat yang tercantum dalam nash-nash yang dinamai oleh para rivalnya dengan tajsim dan tasybih." (5)
Sebenarnya dengan sekadar membaca dengan cermat perkataan Syekhul Islam sudah cukup untuk memahami bahwa beliau sedang mensimulasikan argumentasi Imam Arrazi dan sekaligus membuat jawaban dari argumentasi tersebut. Hal itu bisa dipahami dari diksi " إن أردت" jika maksud anda begini maka jawabannya begini. Jadi, bisa dipahami bahwa semua argumentasi setelah diksi "إن أردت" dan sebelum diksi " فيقال" adalah argumentasi simulatif yang diatribusikan ke Imam Arrazi. Makanya, sangat keliru jika argumentasi ini diatribusikan ke Syekhul Islam.
Demikanlah makna penggalan perkataan beliau yang berbunyi :
أو أنهم وصفوه بما يقتضي أن يكون جسمًا، والجسم متبعض ومتجزئ، وإن لم يقولوا هو جسم
"Atau (yang anda maksud) mereka (Hanabilah) menyifati-Nya dengan sifat-sifat yang (menurut anda) mengharuskan Allah adalah jism sementara jism itu terbagi, meskipun mereka tidak menyatakan bahwa Dia adalah Jism"
Jadi, sangat jelas sekali bahwa konsekuensi tajsim dari afirmasi sifat khabariyah datang dari Imam Arrazi sendiri bukan dari Hanabilah, apalagi Syekhul Islam.
Jika disimpulkan, dalam konteks ini, bagi Syekhul Islam ada dua kemungkinan dari makna perkataan Imam Arrazi ; 1)Hanabilah mengafirmasi sifat Khabariyah seperti Yad dan Wajah yang bagi Imam Arrazi berkonsekuensi keterbagian atau 2) Hanabilah mengafirmasi sifat lain yang bagi Imam Arrazi berkonsekuensi kepada tajsim.
Kedua : Jawaban Syekhul Islam dari dua kemungkinan tersebut di atas adalah bahwa penetapan sifat khabariyah bukan hanya madzhab Hanabilah. Akan tetapi, dia adalah madzhab mayoritas kelompok Islam terutama kalangan Sifatiyah.
Sampai di sini jelas bahwa Ibnu Taimiyah sama sekali tidak mengatakan bahwa Allah adalah Jism apalagi mengatribusikannya kepada Hanabilah dan ulama Islam lainnya.
Bandingkan dengan klaim Syekh Said Fudah sebelumnya yang berbunyi :
فانظر في هذا الكلام الشنيع كيف ينسب القول بأن الله جسم إلى جماهير أهل الإسلام، بل وسائر الملل وسلف الأمة وأئمتها فمن من سلف الأمة قال بذلك إلا المجسمة وهل المجسمة هم سلف هذه الأمة المباركة
"Perhatikan isi perkataan buruk ini bagaimana dia (Ibnu Taimiyah) mengatribusikan perkataan bahwa Allah adalah jism kepada mayoritas kaum muslimin, bahkan mayoritas kelompok dan pendahulu umat ini serta imam-imam mereka."
Ini jelas kedustaan, sekali lagi kami katakan kedustaan atas nama Syekhul Islam, karena teks tersebut sangat jelas dan gamblang. Tidak mungkin sekelas Syekh Said Fudah tidak memahaminya. Apalagi beliau adalah peneliti yang sudah menulis ratusan kitab.
Bahkan, akan lebih jelas lagi jika Syekh Said Fudah tidak memenggal lanjutan perkataan Syekhul Islam tersebut. Di situ beliau berkata :
وفي الجملة فإثبات هذه الصفات هو مذهب الصفاتية من جميع طوائف الأمة مثل الكلابية وأئمة الأشعرية، وهو مذهب الكرامية
"Dan secara umum afirmasi sifat-sifat ini (sifat khabariyah) adalah madzhab kalangan Sifatiyah (yang mengafirmasi sifat-sifat Allah) dari berbagai kelompok-kelompok Islam seperti Kullabiyah, Imam-imam Asy'ariyah, dan madzhab Karramiyah"(6)
Anda bisa melihat, beliau berkata :
فإثبات هذه الصفات
"Maka penetapan sifat-sifat ini (khabariyah)"
Beliau tidak berkata sebagaimana yang diframing oleh Syekh Said Fudah :
فإثبات الجسم
"Maka penetapan Jism"
Jadi, maksud beliau mengapa menyalahkan para Hanabilah yang menetapkan sifat khabariyah sementara mayoritas ulama-ulama Islam dan kelompok lain juga menetapkan sifat khabariyah? Seperti Kullabiyah dan bahkan sebagian tokoh besar Asy'ariyah sendiri yang mengafirmasi sifat-sifat Khabariyah. Kalau konsekuensi penetapan apa yang ditetapkan Allah dan rasul-Nya (sifat-sifat khabariyah) adalah sebuah tajsim menurut Imam Arrazi, maka, kelompok lain seperti Asy'ariyah juga konsekuensinya telah terjatuh pada tajsim. Walau mereka sendiri menolak kalau itu adalah tajsim.
Dan ini bisa kita lihat misalnya pernyataan Abul Hasan Al-Asy'ari (w.324 H) di dalam Maqalat Al-Islamiyyin yang mengitsbat sifat-sifat khabariyah dan mengatribusikannya kepada ulama ahlul hadis dan ahlussunnah,beliau berkata :
جملة ما عليه أهل الحديث والسنة : الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله...و أن الله على عرشه كما قال الرحمن على العرش استوى وأن له يدين بلا كيف...
" Secara umum madzhab Ahli hadis dan Sunnah adalah pengakuan terhadap Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dn rasul-rasul-Nya… dan bahwasanya Allah di atas 'Arsy-Nya sebagaimana firman Allah "Sang Maha Pengasih beristiwa di atas 'Arsy dan bahwasanya Dia memiliki dua tangan tanpa bertanya bagaimana.(7)
Lalu, beliau menyebutkan sifat-sifat lain seperti wajah dan yang lainnya yang merupakan sifat-sifat khabariyah.
Demikian halnya Al-Baqillani (w.403 H), beliau berkata :
قيل لَهُ قَوْله تَعَالَى لله {وَيبقى وَجه رَبك ذُو الْجلَال وَالْإِكْرَام} وَقَوله {مَا مَنعك أَن تسْجد لما خلقت بيَدي}
فَأثْبت لنَفسِهِ وَجها ويدين
"Dikatakan kepada mereka firman Allah ta'ala "dan akan kekal Wajah Tuhanmu Sang pemilik keagungan dan kemuliaan. Dan firman Allah "Apa yang menghalangimu untuk bersujud kepada orang yang Aku ciptakan dengan kedua Tanganku. Maka Allah telah menetapkan bagi Dirinya Wajah dan dua Tangan."(8)
Sebenarnya teks-teks mengenai sikap Ibnu Taimiyah terhadap tajsim banyak sekali dan sangat tegas dan jelas, tapi, Syekh Said Fudah malah mengabaikannya dan berupaya menggiring publik agar percaya klaim bahwa Syekhul Islam adalah seorang mujassim, teks-teks itu di antaranya adalah :
وَإِثْبَاتُ لَفْظِ الْجِسْمِ وَنَفْيُهُ بِدْعَةٌ لَمْ يَتَكَلَّمْ بِهِ أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ وَالْأَئِمَّةِ؛ كَمَا لَمْ يُثْبِتُوا لَفْظَ التَّحَيُّزِ وَلَا نَفَوْهُ وَلَا لَفْظَ الْجِهَةِ وَلَا نَفَوْهُ وَلَكِنْ أَثْبَتُوا الصِّفَاتِ الَّتِي جَاءَ بِهَا الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ وَنَفَوْا مُمَاثَلَةَ الْمَخْلُوقَاتِ
" Dan penetapan lafazh jism dan penafiannya adalah perkara bid'ah, tidak pernah seorang pun dari kalangan salaf dan para imam yang berbicara tentangnya sebagaimana mereka tidak menetapkan lafazh tahyyuz (menempati ruang) dan tidak pula menafikannya. Demikan halnya dengan lafazh jihah (arah). Akan tetapi, mereka menetapkan sifat-sifat yang tercantum di dalam Al-Qur'an dan Assunnah dan mereka menafikan penyerupaan Allah dengan makhluk."(9)
Atau bisa juga dilihat pernyataan yang sama di tempat lain seperti di Majmu' Fatawa jilid 17 (10) Pernyataan yang senada juga bisa dilihat di Bayan Talbis Al-jahmiyah jilid 8 (11), atau Bayan Talbis Al-Jahmiyah jilid 1 (12), atau jilid 7 (13), atau jilid 3 (14). Dan masih banyak lagi pernyataan-pernyataan beliau yang lain dan beliau atribusikan ke Imam-imam ahlussunnah seperti Imam Ahmad yang sangat lugas dan tegas bahwa lafazh Jism adalah lafazh yang bid'ah dan sangat ambigu sehingga tidak bisa diafirmasi atau dinegasikan begitu saja tanpa terlebih dahulu diklarifikasi apa definisi jism bagi yang menyatakannya.
Kesimpulannya, seperti itulah cara Syekh Said Fudah hendak menjatuhkan lawannya, dan nampaknya cara-cara seperti ini juga ditiru oleh sebagian Asy'ariyah Nusantara. Jauh berbeda dengan Syekhul Islam, beliau adalah ulama teladan di dalam segala hal termasuk pada perkara dialektika pemikiran.
Salah seorang pengkaji literatur Syekhul Islam bernama Syekh Abdul Aziz Attamimi di dalam sebuah artikelnya yang berjudul " Manhaj Ibni Taimiyah
Firraddi 'alal Mutakllimin"(15) menuliskan beberapa karakteristik metodologi dialektika Syekhul Islam Ibnu Taimiyah yang kami ringkas dengan sedikit tambahan penjelasan sebagai berikut :
1. Berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Assunnah serta pandangan ulama salaf. (Dan hal ini bisa dibuktikan dengan melihat setiap karya beliau yang sarat dengan kutipan-kutipan dari ketiga referensi tersebut).
2. Menggunakan argumentasi rasional pada perkara yang mampu dijangkau oleh rasio. (Hal yang masih menjadi domain rasio maka beliau akan jelaskan dengan begitu detail. Adapun pada perkara yang di luar jangkauan rasio maka beliau mencukupkan diri dengan wahyu.
3. Ketelitian beliau dalam menyikapi dan menggunakan terminologi saat berdialektika. (Beliau dangat konsisten dengan terminologi-terminologi yang digunakan oleh Al-Qur'an dan Assunnah dan berhati-hati saat menyikapi terminologi baru).
5. Komitmen beliau terhadap tata bahasa Arab yang benar yang diwariskan dari para pakar Arab klasik.
6. Memperkuat argumentasi dengan bukti-bukti valid dari sumber-sumber autentik. (Ketajaman hafalan dan pemahaman serta luasnya literasi beliau membuat beliau dengan mudah mengutip referensi yang beliau butuhkan.
7. Sikap adil dan objektif terhadap kawan dan lawan. (Objektivitas beliau ini sudah sangat masyhur di kalangan ulama pengkaji literatur beliau, bahkan terhadap orang yang menzholimi beliau).
8. Kajian elaboratif. (Dengan mengelaborasi akar dan sebab-sebab penyimpangan kelompok-kelompok yang menyimpang, lalu menyajikannya apa adanya dan memberikan sanggahan yang argumentatif).
Wallahu a'lam
Referensi :
(1) https://www.ikataceh.org/ini-dia-kisah-yang-jarang-diketahui-tentang-syekh-said-faudah-ar-razi-era-modern/
(2) Ibnu Taimiyah, Bayan Talbis Al-Jahmiyah (Mujamma' Al-Malik Fahd, Madinah, 1426 H) vol.1 hal.251)
(3) Said Fudah, Al-Kasyifushshoghir (Darurrazi, Amman, cet.I, 1420 H- 2000 M) hal.149
(4) Arrazi, Asasuttaqdis, (Maktabatul Kulliyat Al-Azhariyah, Kairo, 1406 H-1986 M, Ibnu Taimiyah, Bayan Talbis Al-Jahmiyah (Mujamma' Al-Malik Fahd, Madinah, 1426 H) vol.1 hal.250
(5) Ibnu Taimiyah, Bayan Talbis Al-Jahmiyah (Mujamma' Al-Malik Fahd, Madinah, 1426 H) vol.3 hal.555
(6) Ibnu Taimiyah, Bayan Talbis Al-Jahmiyah (Mujamma' Al-Malik Fahd, Madinah, 1426 H) vol.1 hal.251)
(7) Abul Hasan Al-Asy'ari, Maqalat Al-Islamiyyin (Maktabatunnahdhah Al-Mishriyyah, Kairo, cet.I,1369 H-1950 M) vol.I,hal.320)
(8) Al-Baqillani, Attamhid (Al-Maktabah Asysyarqiyah, Beirut, 1957) hal.258
(9) Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa (Darul Wafa, Al-Manshurah,cet.III, 1426 H-2005 M) vol.5 hal.181
(10) Ibnu Taimiyah, Majmu' Fatawa (Mujamma' Al-Malik Fahd, 1425 H-2004 M)vol.17,hal.312-313
(11) Ibnu Taimiyah, Bayan Talbis Al-Jahmiyah (Mujamma' Al-Malik Fahd, Madinah, 1426 H) vol.8 hal.18
(12) Ibnu Taimiyah, Bayan Talbis Al-Jahmiyah (Mujamma' Al-Malik Fahd, Madinah, 1426 H) vol.1 hal.219-220
(13) Ibnu Taimiyah, Bayan Talbis Al-Jahmiyah (Mujamma' Al-Malik Fahd, Madinah, 1426 H) vol.7 hal.592
(14) Ibnu Taimiyah, Bayan Talbis Al-Jahmiyah (Mujamma' Al-Malik Fahd, Madinah, 1426 H) vol.3 hal.298
(15) https://shamela.ws/book/1541