Itulah mengapa para ulama atsariyyin, tidak memaknai
لا إله إلا الله
dengan
لا معبود إلا الله
Karena dengan memaknai Laa ilaha illallah dengan Laa ma'buda illallah (tiadalah sesembahan melainkan Allah) bisa memunculkan persepsi lain bahwa tiada yang disembah dari apapun melainkan itu Allah, seperti pemahaman seorang tokoh yang baru viral yang ia mengatakan :
- Kalau ada yang menyembah Yesus tapi saat yang dilihat padanya adalah sifat Allah , maka dia muwahhid.
- Dia juga katakan bahwa makna Laa ilaaha illallaah, adalah apa saja yang disembah di alam semesta ini sebetulnya mereka menyembah Allah.
- Bahkan dia katakan sayyidunaa Muhammad ismullah.
- Dan masih banyak penyataan lain darinya & semisalnya yang kontroversial & berbahaya.
Maka, pemaknaan yang tepat untuk
لا إله إلا الله
adalah
لا معبود بحق إلا الله
, yakni "tidak ada yang benar & layak disembah kecuali Allah semata". Harus ada qoid "bi-haqq" agar tidak dimaknai secara muthlaq yang keumumannya badaliy.
Dengan pemaknaan laa ma'buda bihaqq illallah ini menutup ruang sesembahan lain yang tak layak disembah, semisal batu, pohon, jin, manusia, dll yang disembah-sembah, karena benda2 itu bisa rusak, hancur, & sifat lemah lainnya tak layak untuk disembah.
Ustadz jaka abu Hasan saif