Selasa, 20 Agustus 2024

Menjaga Muruah Penuntut Ilmu dan Pendakwah

*Menjaga Muruah Penuntut Ilmu dan Pendakwah
(Terima Kasih Untuk Pengkritik)

Yusuf Abu Ubaidah As Sidawi

Dahulu para salaf berkata:

رحم الله من أهدى إلي عيوبي

Semoga Allah merahmati orang yang menunjukkan aib-aibku.

Kalimat yang sangat bagus dari para ulama salaf yang menunjukkan kedewasaan dan kesucian hati mereka sehingga berlapang dada dan berterima kasih kepada orang yang mengkritik dan menunjukkan letak kesalahannya baik besar maupun kecil.

Sungguh demi Allah, kita para penuntut ilmu dan da'i lebih butuh kepada kritik membangun bahkan celaan walaupun pedas daripada pujian, karena dengan adanya kritik kita bisa berhenti sebentar mengoreksi dan introspeksi diri untuk berbenah diri seperti seorang yang bercermin untuk mengetahui apa yang kurang pada dirinya.

Kita rindu dengan sosok seperti Ustadzuna Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang  tidak segan mengkritik dan menasehati para ustadz muda bahkan doktor, walau terkadang terasa pahit bin getir dan tidak semua kita sepakat dengan kritikan beliau, tapi sosok seperti beliau sangat kita butuhkan, setidaknya agar kita tahu bahwa ada pertimbangan lain yang harus difikirkan yang terkadang luput dari kita dan kita yakin nasehat tersebut karena kecintaan dan kasih sayang kepada para da'i lainnya.

Imam Ibnu Hazm berkata tentang hikmah adanya celaan dan sanjungan:

"Seorang yang mencermati secara seksama -sekalipun ini pahit rasanya- niscaya akan mengetahui bahwa celaan manusia kepadanya justru lebih baik daripada pujian mereka, sebab pujian kalau memang benar maka bisa menyeretnya lupa daratan dan menimbulkan penyakit ujub (bangga diri) yang akan merusak keutamaannya. Namun apabila pujian itu tidak benar dan dia bergembira dengannya, maka berarti dia gembira dengan kedustaan. Sungguh ini kekurangan yang sangat. 

Adapun celaan manusia, kalau memang benar maka hal itu dapat mengeremnya dari perbuatan yang tercela, dan ini sangat bagus sekali, semuanya pasti menginginkannya kecuali orang yang kurang akalnya. 
Namun apabila celaannya tidak benar dan dia sabar, berarti dia mendapatkan keutamaan sabar, dan akan mengambil pahala kebajikan orang yang mencelanya sehingga dia akan menuai pahala kelak di hari kiamat hanya dengan perbuatan yang tidak memberatkan. 

Sungguh ini adalah kesempatan berharga, semuanya pasti menginginkannya kecuali orang yang gila ”.  (Mudawah Nufus hlm. 80-81)

Inilah salah satu perbedaan antara akhlak salaf dan kholaf. Ibnu Qudamah mengatakan:"Adalah para salaf, mereka cinta terhadap orang yang mengingatkan kesalahan mereka. 
Sedangkan kita sekarang,  orang yang paling kita benci adalah orang yang mengingatkan keesalahan kita". (Mukhtashor Minhaj Qoshidin hlm.  196)

Menarik, dahulu, imam Al Hakim tatkala dikritik oleh Abdul Ghoni maka beliau mengirim surat yg berisi ucapan terima kasih padanya dan doa kebaikan untuknya. (Tadzkirotul Huffadz 3/1048 oleh adz Dzahabi). Begitulah etika dan kebijaksanaan ulama salaf. Semoga kita bisa menirunya. 

Kita harus melatih diri untuk menghargai orang yang memberikan nasehat dan berlapang dada menerima nasehat dan kritikan sekecil apapun itu, termasuk masalah muruah yang harus dijaga penuntut ilmu apalagi pendakwah. 

Sekedar contoh, saat ada yang menegur kita, baik dia orang awam apalagi ustadz, karena kita melakukan shalat dengan kaos misalnya, semestinya kita berterima kasih dan mendoakan kebaikan untuknya, karena memang shalat dengan kaos walaupun sah tapi tidak elok dan tidak menjaga muruah saat kita menghadap Allah demikian. Jangan kita berkelit dengan mengatakan: Hukum asal shalat dengan kaos sah dan boleh. Atau mencari-cari alasan lainnya yang tidak sesuai dengan akar kritikan dan nasehat. Karena sang pengkritik tersebut bukan sedang mempermasalahkan hukum memakai kaos atau menganggapnya haram, tapi dia hanya menyarankan kepada yang lebih elok dan menjaga muruah. Itu dua hal yang berbeda kawan.

Saya teringat saat Syeikhuna Sami bin Muhammad Ash Shuqayyir, menantu Syeikh Ibnu Utsaimin, beliau pernah ditanya tentang celana jens maka beliau menjawab bahwa hukum memakainya adalah boleh dan tidak termasuk tasyabbuh karena bukan termasuk ciri khas orang kafir. Namun bagi para penuntut ilmu tidak layak dan tidak pantas memakainya untuk menjaga muruah. Jadi harus dibedakan antara hukum suatu masalah dengan menjaga muruah. Tidak semua hal yang boleh itu layak dilakukan oleh penuntut ilmu apalagi ustadz panutan dan teladan, apalagi masalah pakaian yang nampak dilihat oleh orang banyak, hendaknya penuntut ilmu sangat menjaga muruahnya, sebagaimana dijelaskan para ulama dalam kitab-kitab adab penuntut ilmu, baik kitab besar seperti Al Jami' li Akhlaki Rawi wa Adabi Sami' karya Al Khathib Al Baghdadi, atau kitab kecil seperti Hilyah Thalibil Ilmu karya Syeikh Bakr Abu Zaid atau Ta'dzimul Ilmu karya Syeikh Shalih Al Ushaimi.

Imam Nawawi berkata mengomentari suatu hadits: "Dalam hadits ini terdapat faidah bahwa seorang tokoh panutan apabila keluar dari rumahnya maka hendaknya menjaga pakaiannya yang sopan saat di luar bukan hanya saat sendirian. Dan ini termasuk adab dan muruah yang terpuji". (Syarah Muslim 13/147)

Saya sedih, baru-baru ini ada seorang ustadz yang mengkritisi secara umum pemakaian topi pet oleh pendakwah dan menilainya bahwa itu kurang elok. Namun banyak yang bereaksi berlebihan dan mencibir postingan tersebut, bahkan ada yang menganggapnya sebagai postingan yang tidak bermutu, hasad, pemecah belah dan lainnya, layaknya para netizen yang gak pernah ngaji ilmu. Seolah kita lupa tentang adab kepada ustadz dan sahabat yang memberikan nasehat dan kritik kepada kita yang harusnya kita apresiasi bukan malah kita bully.

Namun sisi yang lain, kita juga perlu mengingatkan bahwa postingan tersebut jangan dipakai untuk menjatuhkan kehormatan ustadz yang lain juga, karena nasehat itu bersifat umum layaknya metode kritik Nabi, jangan malah menafsirkan bahwa postingan umum itu maksudnya adalah mengkritik person ustadz tertentu fulan dan alan, karena toh mereka tidak melakukan keharaman, dan kita harus husnu dzon bahwa mungkin saja ustadz-ustadz tersebut memakainya hanya  sesekali saja karena kondisi tertentu seperti safar, panas, lagi kerja bakti, atau di tempat yang itu tidak dianggap merusak muruah. Dan tentu itu berbeda hukumnya dengan orang yang melakukannya terus menerus atau di moment kajian misalnya.

Para ulama menjelaskan bahwa  muruah itu berbeda-beda sesuai perbedaan waktu dan tempat. Dan tidak bisa dipukul rata, bisa jadi bagi sebagian orang itu merusak muruah tapi bagi sebagian yang lain tidak merusak muruah. (Lihat Raudhah Thalibin An Nawawi 11/230, Bughyatul Raaid hlm. 41, Al Muruah wa Khawarimuha, Masyhur Hasan hlm. 81)

Tugas kita adalah mendewasakan murid-murid kita dan jamaah kita untuk bersikap dewasa menghadapi kritikan dan beradab kepada semua ustadz kita, bukan menjatuhkan salah satunya atau berkubu-kubu antara yang pro dan kontra layaknya para netzien yang tidak belajar agama. Benar kata Syeikh Al Albani bahwa Problem utama kita bukan hanya aqidah semata, tapi juga krisis akhlak dan adab.

Semoga Allah menghiasi diri kita dengan akhlak mulia dan semoga Allah menjaga para asatidzah kita.