FAWAID_DAURAH_ILMIYAH_SOLO
PONPES_IMAM_BUKHARI_SOLO
شرح أصول السنة
للإمام الحميدي رحمه الله
مع فضيلة الشيخ الأستاذ الدكتور إبراهيم بن عامر الرحيلي حفظه الله تعالى
SYARAH USHUL AS-SUNNAH
LIL IMAM AL-HUMAIDY rahimahullah
(bagian 12)
Dijelaskan oleh Fadhilah Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily hafizhahullah
قَالَ رَحِمَهُ اللَّهُ: "وَالْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ"، سَمِعْتُ سُفْيَانَ رَحِمَهُ اللَّهُ يَقُولُ: "الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ، وَمَنْ قَالَ مَخْلُوقٌ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ". لَنْ نَسْمَعَ أَحَدًا يَقُولُ هَذَا.
" Imam Al-Humaidy rahimahullah berkata: 'Al-Qur'an adalah kalam Allah.' Saya mendengar Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata: 'Al-Qur'an adalah kalam Allah, dan siapa pun yang mengatakan bahwa (Al-Qur'an) adalah makhluk, maka dia adalah seorang pelaku bid'ah.' Kami tidak pernah mendengar seorang pun yang mengatakan hal ini."
Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaily hafizhahullah menjelaskan:
ثُمَّ ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللَّهُ مِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ الْإِيمَانُ بِالْقُرْآنِ، وَأَنَّهُ كَلَامُ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَأَنَّهُ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ عَلَى الْحَقِيقَةِ، لَيْسَ هُوَ مَخْلُوقًا، وَلَيْسَ هُوَ حِكَايَةً وَلَا عِبَارَةً كَمَا يَقُولُ أَهْلُ الْبِدَعِ. لِأَنَّ الْمُنْحَرِفِينَ عَنْ السُّنَّةِ اخْتَلَفُوا فِي الْقُرْآنِ، فَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ إنَّهُ مَخْلُوقٌ، وَهَذَا قَوْلُ الْجَهْمِيَّةِ وَالْمُعْتَزِلَةِ وَالزَّيْدِيَّةِ وَمَنْ وَافَقَهُمْ مِنْ الْخَوَارِجِ. وَقَالَ الْكِلَابِيَّةُ: الْقُرْآنُ هُوَ حِكَايَةٌ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ. وَقَالَ آخَرُونَ: الْقُرْآنُ عِبَارَةٌ عَنْ كَلَامِ اللَّهِ. وَتَوَقَّفَ آخَرُونَ، فَقَالُوا: لَا نَقُولُ الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ وَلَا نَقُولُ هُوَ غَيْرُ كَلَامِ اللَّهِ.
Kemudian penulis (semoga Allah merahmatinya) menyebutkan bahwa salah satu prinsip pokok Ahlus Sunnah adalah beriman kepada Al-Qur'an, bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah Ta'ala, dan bahwa Al-Qur'an adalah benar-benar firman Allah, bukan makhluk, dan bukan sekadar penuturan atau ungkapan seperti yang dikatakan oleh ahli bid'ah. Sebab orang-orang yang menyimpang dari sunnah berselisih pendapat tentang Al-Qur'an; di antara mereka ada yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, ini adalah pendapat Jahmiyah, Mu'tazilah, Zaidiyah, dan yang sependapat dengan mereka dari kalangan Khawarij. Kelompok Kalabiyah mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah penuturan dari firman Allah. Kelompok lain mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah ungkapan dari firman Allah. Dan ada kelompok lain yang bersikap tawaqquf (berhenti), mereka berkata: "Kami tidak mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah dan kami juga tidak mengatakan bahwa ia bukan firman Allah."
كُلُّ هَذِهِ الْأَقْوَالِ بَاطِلَةٌ، فَالْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ كَمَا قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ:" وَإِنَّ أَحَدٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَك فَأَجَرَهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ". وَاَلَّذِي يَسْمَعُهُ الْمُشْرِكُ هُوَ الْقُرْآنُ بِتِلَاوَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِتِلَاوَةِ الصَّحَابَةِ. وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْقُرْآنَ كَيْفَمَا تَصَرَّفَ فَهُوَ كَلَامُ اللَّهِ بِقِرَاءَةِ قَارِئٍ وَبِتِلَاوَةِ تَالِي وَبِكِتَابَةِ كَاتِبٍ فِي صَدْرِهِ، فَالْمَكْتُوبُ كَلَامُ اللَّهِ، وَالْمَقْرُوءُ كَلَامُ اللَّهِ، وَالْمَسْمُوعُ كَلَامُ اللَّهِ، وَالْمَحْفُوظُ فِي الصُّدُورِ مِنْ الْقُرْآنِ كَلَامُ اللَّهِ، فَهُوَ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ لِجِبْرِيلَ مِنْهُ إلَّا الْبَلَاغُ، وَلَيْسَ لِنَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ إلَّا الْبَلَاغُ.
Semua pernyataan ini adalah batil, karena Al-Qur'an adalah firman Allah sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla: "Dan jika seorang dari orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia agar dia dapat mendengar firman Allah." Dan apa yang didengar oleh orang musyrik adalah Al-Qur'an yang dibacakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan oleh para sahabat. Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an dalam bentuk apapun adalah firman Allah, baik ketika dibaca oleh seorang pembaca, ditulis oleh seorang penulis, atau disimpan di dalam dada seseorang. Maka, yang tertulis adalah firman Allah, yang dibaca adalah firman Allah, yang didengar adalah firman Allah, dan yang dihafal di dalam dada dari Al-Qur'an adalah firman Allah. Ia adalah firman Allah; Jibril hanya menyampaikannya, dan Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam hanya menyampaikannya.
فَهُوَ كَلَامُ اللَّهِ عَلَى الْحَقِيقَةِ، لَا نَقُولُ هُوَ كَلَامٌ مَجَازِيٌّ، وَلَا نَقُولُ حِكَايَةً وَلَا عِبَارَةً وَلَا مَخْلُوقٌ، كَلَامُ اللَّهِ تَكَلَّمَ بِهِ سَمِعَهُ جِبْرِيلُ مِنْ اللَّهِ وَبَلَغَهُ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. يَتَكَلَّمُ النَّاسُ فِي اللَّفْظِ بِالْقُرْآنِ، هَلْ هُوَ مَخْلُوقٌ أَوْ غَيْرُ مَخْلُوقٍ؟ فِي زَمَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ، فَقَالَ: لَا نَقُولُ إنَّ أَلْفَاظَنَا بِالْقُرْآنِ مَخْلُوقَةٌ وَلَا غَيْرُ مَخْلُوقَةٍ، لِأَنَّ اللَّفْظَ بِالْقُرْآنِ فِيهِ إجْمَالٌ. فَقَدْ يُرَادُ بِهِ الْمَلْفُوظُ عِنْدَ تِلَاوَةِ الْقُرْآنِ، فَهَذَا كَلَامُ اللَّهِ. وَقَدْ يُرَادُ بِاللَّفْظِ هُوَ الْمَصْدَرُ مِنْ لَفْظٍ يَلْفَظُ لَفْظًا، وَهَذَا اللَّفْظُ وَحَرَكَةُ اللِّسَانِ هُوَ فِعْلُ الْعَبْدِ، وَهُوَ مَخْلُوقٌ.
Maka, ia adalah firman Allah secara hakiki, bukan sekadar kiasan. Kami tidak mengatakan bahwa itu adalah penuturan atau ungkapan, dan bukan pula makhluk. Firman Allah ini diucapkan oleh-Nya, didengar oleh Jibril dari Allah, dan disampaikan kepada Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam. Orang-orang berbicara tentang lafazh dalam membaca Al-Qur'an, apakah itu makhluk atau bukan makhluk? Pada masa Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata: "Kami tidak mengatakan bahwa lafazh kami dalam membaca Al-Qur'an adalah makhluk atau bukan makhluk, karena lafazh dalam Al-Qur'an memiliki makna yang umum." Mungkin yang dimaksud dengan lafazh adalah yang dilafalkan saat membaca Al-Qur'an, dan ini adalah firman Allah. Namun, jika yang dimaksud dengan lafazh adalah sumber dari lafazh (perbuatan melafalkan), maka lafazh ini dan gerakan lidah adalah perbuatan hamba, dan itu adalah makhluk.
وَلِهَذَا كَرِهَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَنْ يُطْلَقَ الْقَوْلُ بِأَنَّ الْأَلْفَاظَ مَخْلُوقَةٌ أَوْ غَيْرُ مَخْلُوقَةٍ، وَقَالَ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ: نَقُولُ أَلْفَاظُنَا مَلْفُوظُنَا بِالْقُرْآنِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ. وَيَنْبَغِي أَنْ يُفَرَّقَ بَيْنَ الصَّوْتِ وَبَيْنَ حَرَكَةِ اللِّسَانِ وَالشَّفَتَيْنِ عِنْدَ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ. الصَّوْتُ صَوْتُ الْقَارِئِ، وَالْكَلَامُ كَلَامُ اللَّهِ كَمَا قَالَ السَّلَفُ: "الصَّوْتُ صَوْتُ الْقَارِئِ وَالْكَلَامُ كَلَامُ الْبَارِي" ، فَتَرْكُ اللِّسَانِ وَالشَّفَتَيْنِ هَذِهِ فِعْلُ الْعَبْدِ وَهِيَ مَخْلُوقَةٌ، وَالْمَتْنُ الْمَقْرُوءُ هُوَ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ. وَعِنْدَمَا نَسْمَعُ الْقُرْآنَ الْآنَ بِتِلَاوَةِ الْقُرَّاءِ، فَالْمَسْمُوعُ هُوَ كَلَامُ اللَّهِ، وَالصَّوْتُ هُوَ صَوْتُ الْقَارِئِ. وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "زَيِّنُوا أَصْوَاتَكُمْ بِالْقُرْآنِ" ، فَفَرَّقَ بَيْنَ الْقُرْآنِ وَالْأَصْوَاتِ. الْأَصْوَاتُ هِيَ أَصْوَاتُ الْقُرَّاءِ، الْقُرْآنُ هُوَ كَلَامُ اللَّهِ.
Oleh karena itu, Imam Ahmad rahimahullah tidak menyukai pernyataan yang mengatakan bahwa lafazh-lafazh itu makhluk atau bukan makhluk, dan beberapa ulama muta’akhirin (belakangan) dari para muhaqqiq (peneliti) mengatakan: "Kami mengatakan bahwa lafazh kami, yang kami lafalkan dari Al-Qur’an, bukanlah makhluk." Harus dibedakan antara suara dengan gerakan lidah dan bibir ketika membaca Al-Qur'an. Suara adalah suara pembaca, sedangkan firman adalah firman Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh para salaf: "Suara adalah suara pembaca, dan firman adalah firman Sang Pencipta." Jadi, gerakan lidah dan bibir itu adalah perbuatan hamba dan itu adalah makhluk, sedangkan teks yang dibaca adalah firman Allah yang bukan makhluk. Ketika kita mendengarkan Al-Qur'an sekarang melalui bacaan para qari', maka yang didengar adalah firman Allah, dan suaranya adalah suara pembaca. Oleh karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Hiasi suara kalian dengan Al-Qur'an," (hadits tersebut maqlub (terbalik) – dijelaskan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam kitab Silsilah Ahaadits ad-Dho’ifah no. 5326). Sedangkan hadits yang shohih adalah :
زَيِّنوا القُرآنَ بأصواتِكم
Hiasilah bacaan Al-Qur'an kalian dengan suara-suara kalian. (HR. Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud (1468) • Beliau tidak mengomentarinya [dan beliau berkata dalam risalahnya kepada penduduk Mekkah, "Setiap hadits yang tidak saya komentari, maka itu adalah hadits yang sahih."] • Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu'allaq (tanpa sanad penuh) sebelum hadits (7544), dan diriwayatkan secara lengkap oleh Abu Dawud (1468), An-Nasa'i (1015), Ibnu Majah (1342), dan Ahmad (18517).)
yang menunjukkan perbedaan antara Al-Qur'an dan suara. Suara adalah suara para qari', sedangkan Al-Qur'an adalah firman Allah.
وَقَوْلُ السَّلَفِ: "الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ"، وَأَنَّ اللَّهَ تَكَلَّمَ بِحَرْفٍ وَصَوْتٍ، يَقْصِدُونَ بِالْحَرْفِ أَنَّ هَذِهِ الْحُرُوفَ وَهَذِهِ الْمَعَانِيَ مِنْ كَلَامِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ تَكَلَّمَ اللَّهُ بِهَا. وَهَذَا فِي الرَّدِّ عَلَى الْأَشَاعِرَةِ الَّذِينَ يَقُولُونَ: كَلَامُ اللَّهِ مَعْنًى نَفْسِيٌّ، وَأَمَّا هَذِهِ الْحُرُوفُ فَهِيَ عِبَارَةٌ عَنْ كَلَامِ النَّاسِ.
Dan pernyataan para salaf: "Al-Qur'an adalah firman Allah," serta bahwa Allah berbicara dengan huruf dan suara, yang mereka maksudkan dengan huruf adalah bahwa huruf-huruf dan makna-makna ini adalah bagian dari firman Allah Azza wa Jalla yang Allah ucapkan. Ini adalah bantahan terhadap golongan Asy'ariyah yang mengatakan bahwa firman Allah hanyalah makna batin (makna yang ada dalam diri), sedangkan huruf-huruf ini adalah ungkapan dari ucapan manusia.
وَأَمَّا الْكَلَابِيَّةُ أَتْبَاعُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدِ بْنِ كِلَابٍ الَّذِينَ يَقُولُونَ: الْحُرُوفُ وَالْأَصْوَاتُ لَيْسَتْ كَلَامَ اللَّهِ، وَإِنَّمَا هِيَ حِكَايَةٌ عَنْ كَلَامِ اللَّهِ. قَالَ الْمُحَقِّقُونَ: لَا نَقُولُ حِكَايَةً وَلَا عِبَارَةً، بَلْ الْقُرْآنُ صُوَرُهُ وَآيَاتُهُ وَحُرُوفُهُ كُلُّهَا مِنْ كَلَامِ اللَّهِ. وَأَمَّا الْأَصْوَاتُ، وَاَللَّهُ لَمَّا تَكَلَّمَ بِالْقُرْآنِ، فَالْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ، وَالصَّوْتُ صَوْتُ اللَّهِ. وَأَمَّا إذَا تَلَا الْقُرَّاءُ الْآنَ الْقُرْآنَ، فَالْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ وَالصَّوْتُ صَوْتُ الْمَخْلُوقِ. فَفَرْقٌ بَيْنَ كَلَامِ اللَّهِ فِي الْقُرْآنِ عِنْدَمَا يَتَكَلَّمُ بِهِ يَسْمَعُهُ جِبْرِيلُ مِنْهُ وَمَا جَاءَ فِي النُّصُوصِ أَنَّ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَتَكَلَّمُ، كَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَا مِنْكُمْ إلَّا وَسَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانٌ وَلَا حِجَابٌ يَحْجُبُهُ" ، فَهَذَا الْكَلَامُ الَّذِي يَسْمَعُهُ النَّاسُ هُوَ كَلَامُ اللَّهِ بِحُرُوفِهِ وَأَصْوَاتُهِ، يَسْمَعُونَ صَوْتَ اللَّهِ لَيْسَ بَيْنَهُمْ وَبَيْنَهُ تَرْجُمَانٌ وَلَا حِجَابٌ.
Adapun golongan Kilabiyah, pengikut Abdullah bin Sa'id bin Kilab (wafat 241 H), yang mengatakan bahwa huruf-huruf dan suara-suara bukanlah firman Allah, melainkan hanya penuturan dari firman Allah. Para Muhaqqiq (peneliti) mengatakan: "Kami tidak mengatakan bahwa itu adalah penuturan atau ungkapan, melainkan Al-Qur'an dengan bentuk, ayat-ayat, dan huruf-hurufnya semuanya adalah bagian dari firman Allah." Adapun mengenai suara, ketika Allah berbicara dengan Al-Qur'an, maka Al-Qur'an adalah firman Allah, dan suaranya adalah suara Allah. Namun, ketika para qari' saat ini membaca Al-Qur'an, maka Al-Qur'an adalah firman Allah dan suaranya adalah suara makhluk. Jadi, ada perbedaan antara firman Allah dalam Al-Qur'an ketika Allah berbicara, yang didengar oleh Jibril dari-Nya, dan apa yang dinyatakan dalam teks-teks bahwa pada hari kiamat Allah akan berbicara, sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Tidak ada seorang pun dari kalian kecuali akan diajak bicara oleh Rabbnya, tanpa ada penerjemah antara dia dan Allah, dan tanpa ada penghalang yang menghalanginya." (HR. Al- Bukhari (no. 7443) dan Muslim (no. 1016)). Maka firman yang didengar oleh manusia adalah firman Allah dengan huruf-huruf dan suara-suara-Nya, mereka mendengar suara Allah tanpa ada penerjemah di antara mereka dan Allah, serta tanpa ada penghalang yang menghalangi mereka dari-Nya.
وَأَمَّا قَوْلُ أَهْلِ الْعِلْمِ: "الْكَلَامُ كَلَامُ الْبَارِي وَالصَّوْتُ صَوْتُ الْقَارِئِ" ، فَيُقْصَدُونَ بِذَلِكَ عِنْدَمَا يُسْمَعُ الْقُرْآنُ الْآنَ مِنْ الْقُرَّاءِ، وَأَمَّا إذَا تَكَلَّمَ اللَّهُ بِالْقُرْآنِ، وَقَدْ جَاءَ فِي بَعْضِ النُّصُوصِ أَنَّ أَهْلَ الْجَنَّةِ يَسْمَعُونَ الْقُرْآنَ مِنْ اللَّهِ، فَيَكُونُ هَذَا الْكَلَامُ كَلَامَ اللَّهِ، وَالصَّوْتُ الْمَسْمُوعُ الَّذِي يَسْمَعُهُ أَهْلُ الْجَنَّةِ مِنْ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى هُوَ صَوْتُ اللَّهِ. وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مِنْ الْمَسَائِلِ الْعَظِيمَةِ الَّتِي وُجِدَ فِيهَا الْاخْتِلَافُ، وَحَصَلَ فِي زَمَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ مِحْنَةٌ عَظِيمَةٌ لِلْإِمَامِ أَحْمَدَ وَبَعْضِ أَهْلِ السُّنَّةِ، عِنْدَمَا لَبَسَ الْمُعْتَزِلَةُ عَلَى الْخَلِيفَةِ الْعَبَّاسِيِّ الْمَأْمُونِ وَأَقْنَعُوهُ بِعَقِيدَتِهِمْ أَنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ، فَحَمَلَ الْمَأْمُونُ الْعُلَمَاءَ عَلَى الْقَوْلِ بِخَلْقِ الْقُرْآنِ، وَأَجْبَرَهُمْ عَلَى ذَلِكَ، وَمَنْ امْتَنَعَ عَاقَبَهُ وَحَبَسَهُ وَجَلَدَهُ.
Adapun pernyataan para ulama: "Firman adalah firman Sang Pencipta, dan suara adalah suara pembaca," maksud mereka adalah ketika Al-Qur'an didengar sekarang dari para qari'. Namun, jika Allah berbicara dengan Al-Qur'an, dan telah disebutkan dalam beberapa nash bahwa penghuni surga akan mendengar Al-Qur'an dari Allah
========================
(catatan tambahan: Terdapat beberapa hadits yang menyatakan bahwa Allah Ta'ala akan membacakan Al-Qur'an kepada para penghuni surga, namun semuanya lemah dan tidak ada yang shahih:
عن أنس مرفوعا : ( كَأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَسْمَعُوا الْقُرْآن حِينَ يَتْلوهُ الله عَلَيْهِمْ في الجَنَّةِ ) .
dari Anas secara marfu': "Seolah-olah manusia tidak pernah mendengar Al-Qur'an ketika Allah membacakannya kepada mereka di surga." Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini lemah dalam "Dha'if al-Jami'" (4158).)
=========================
maka firman tersebut adalah firman Allah, dan suara yang didengar oleh penghuni surga dari Allah Ta'ala adalah suara Allah. Masalah ini merupakan salah satu masalah besar yang terdapat perbedaan pendapat di dalamnya, dan pada masa Imam Ahmad terjadi fitnah besar terhadap Imam Ahmad dan sebagian Ahlus Sunnah, ketika kaum Mu'tazilah menipu Khalifah Abbasiyah Al-Ma'mun dan meyakinkannya dengan aqidah mereka bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Al-Ma'mun kemudian memaksa para ulama untuk menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, dan siapa pun yang menolak dipaksa, dipenjara, dan dicambuk.
وَكَانَ مِمَّنْ سُجِنَ وَجَلَدَ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَصَبَرَ وَأَبَى أَنْ يَسْتَجِيبَ لِقَوْلِ الْمَأْمُونِ وَأَبْنِ أَبِي دَاوُد، وَكَانَ وَزِيرًا لِلْمَأْمُونِ وَكَانَ مِنْ الْمُعْتَزِلَةِ. فَذَهَبَ الْمَأْمُونُ وَتُوُفِّيَ وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي الطَّرِيقِ إلَيْهِ، حَمَلُوهُ لِيُقَابِلَ الْمَأْمُونَ، فَمَاتَ وَهُوَ فِي الطَّرِيقِ. ثُمَّ تَوَلَّى الْمُعْتَصِمُ وَبَقِيَ عَلَى هَذِهِ الْعَقِيدَةِ، وَكَانَ الْمُعْتَصِمُ جَاهِلًا لَيْسَ لَهُ مَعْرِفَةٌ بِالْعِلْمِ، فَقَلَّدَ أَخَاهُ فِي ذَلِكَ. ثُمَّ جَاءَ الْوَاثِقُ ابْنُ الْمُعْتَصِمِ وَقَلَّدَ عَلَى ذَلِكَ، فَثَلَاثَةٌ مِنْ خُلَفَاءِ بَنِي الْعَبَّاسِ عَلَى الْقَوْلِ بِخَلْقِ الْقُرْآنِ، حَتَّى جَاءَ الْمُتَوَكِّلُ وَنَصَرَ السُّنَّةَ وَنَصَّرَ الْقَوْلَ بِأَنَّ الْقُرْآنَ كَلَامُ اللَّهِ، وَأَنَّ الْقَوْلَ بِأَنَّهُ مَخْلُوقٌ هَذَا قَوْلٌ مُبْتَدِعٌ ابْتَدَعَهُ أَهْلُ الْبِدَعِ. وَأَكْرَمَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ وَأَرَادَ أَنْ يَبْنِيَ لَهُ قَصْرًا بِجَانِبِهِ فَلَمْ يَقْبَلْ الْإِمَامُ أَحْمَدُ. فَمِنْ ذَلِكَ الْوَقْتِ وَأَهْلُ السُّنَّةِ يَصْدَعُونَ بِالْقَوْلِ بِأَنَّ الْقُرْآنَ كَلَامُ اللَّهِ، وَيَرُدُّونَ قَوْلَ الْجَهْمِيَّةِ. وَلُقِّبَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بَعْدَ ذَلِكَ بِإِمَامِ أَهْلِ السُّنَّةِ، لِأَنَّهُ ثَبَتَ فِي وَجْهِ هَذِهِ الْفِتْنَةِ وَعَرَفَ النَّاسُ الْحَقَّ.
Dan di antara mereka yang dipenjara dan dicambuk karena masalah ini, serta bersabar dan menolak untuk menyetujui pendapat Al-Ma'mun dan Ibn Abi Dawud—yang adalah seorang wazir Al-Ma'mun dan termasuk golongan Mu'tazilah—adalah Imam Ahmad. Al-Ma'mun wafat sementara Imam Ahmad sedang dalam perjalanan menuju kepadanya; mereka membawanya untuk menemui Al-Ma'mun, tetapi Al-Ma'mun meninggal di tengah jalan. Kemudian Al-Mu'tashim naik tahta dan tetap berpegang pada keyakinan ini, meskipun Al-Mu'tashim tidak memiliki pengetahuan dalam ilmu, sehingga ia mengikuti jejak saudaranya dalam hal ini. Kemudian datang Al-Wathiq, putra Al-Mu'tashim, yang juga mengikuti jejak ini. Maka, tiga khalifah dari Bani Abbasiyah memegang pendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, hingga datang Al-Mutawakkil yang menolong sunnah dan mendukung pendapat bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah, dan bahwa pendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk adalah pendapat bid'ah yang diciptakan oleh ahli bid'ah. Al-Mutawakkil memuliakan Imam Ahmad dan ingin membangun istana di dekatnya, tetapi Imam Ahmad menolak. Sejak saat itu, Ahlus Sunnah dengan tegas menyatakan bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah dan menolak pendapat Jahmiyah. Setelah itu, Imam Ahmad dijuluki sebagai Imam Ahlus Sunnah karena keteguhannya dalam menghadapi fitnah ini, dan orang-orang mengenal kebenaran.
وَلَوْ اسْتَجَابَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ لِقَوْلِ هَؤُلَاءِ لَوَقَعَتْ فِتْنَةٌ عَظِيمَةٌ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ، وَلَجَاءَ النَّاسُ بَعْدَ ذَلِكَ حَتَّى لَا يُفَرِّقَ النَّاسُ بَيْنَ الصَّوَابِ وَالْخَطَأِ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ. قَالَ الْمُصَنِّفُ: "وَمَنْ قَالَ مَخْلُوقٌ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ". لِمَنْ قَالَ إِنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ. بَلْ كَفَرَ الْعُلَمَاءُ، بَلْ أَجْمَعُوا عَلَى تَكْفِيرِ مَنْ قَالَ بِخَلْقِ الْقُرْآنِ، كَمَا قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ:" ولقد تقلَّد كفرَهُم خَمْسُونَ فِي … عَشْرٍ مِنَ العُلَماءِ في البُلْدَانِ
واللالَكَائِيُّ الإمامُ حَكَاهُ عَنْـ .... ـهُم بَلْ حَكَاهُ قبلَهُ الطَّبَرانِي " خَمْسُ مِئَةٍ مِنْ الْعُلَمَاءِ مُجْمِعُونَ عَلَى أَنَّ مَا قَالَ إنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَافِرٌ "، لِأَنَّ هَذَا يَقْتَضِي الْقَوْلَ بِخَلْقِ كَلَامِ اللَّهِ. كَلَامُ اللَّهِ صِفَةٌ مِنْ صِفَاتِ اللَّهِ، فَاَللَّهُ خَالِقٌ وَمَا سِوَاهُ مَخْلُوقٌ، وَصِفَاتُ اللَّهِ صِفَاتُ الْخَالِقِ لَيْسَتْ مَخْلُوقَةً. وَمَنْ زَعَمَ أَنَّ صِفَاتِ اللَّهِ مَخْلُوقَةٌ فَقَدْ كَفَرَ، وَمِنْهَا الْكَلَامُ، فَالْكَلَامُ كَلَامُ اللَّهِ، صِفَتُهُ الْقَائِمَةُ بِهِ، لَمْ يَخْلُقْهُ فِي غَيْرِهِ كَمَا قَالَ أَهْلُ الْبِدَعِ: قَالُوا خُلِقَ الْقُرْآنُ فِي جِبْرِيلَ أَوْ خَلْقَهُ فِي الشَّجَرَةِ عِنْدَمَا خَاطَبَ مُوسَى. بَلْ الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ، لَا فِي أَلْفَاظِهِ وَلَا فِي مَعَانِيهِ. وَلَا فِي حُرُوفِهِ.
Dan jika Imam Ahmad menuruti perkataan mereka, niscaya akan terjadi fitnah besar di kalangan umat ini, dan orang-orang yang datang setelah itu tidak akan dapat membedakan antara yang benar dan yang salah dalam masalah ini. Penulis berkata: "Dan siapa yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, maka dia adalah ahli bid'ah." Siapa pun yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, maka dia adalah ahli bid'ah. Bahkan, para ulama mengkafirkan, bahkan mereka sepakat mengkafirkan siapa saja yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah: "Dan sungguh telah disepakati tentang kekafiran mereka oleh lima puluh... sepuluh dari ulama di berbagai negeri. Imam Al-Lalika’i rahimahullah meriwayatkan dari mereka, bahkan sebelumnya telah dinukil oleh Ath-Thabarani rahimahullah bahwa lima ratus ulama sepakat bahwa siapa yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, maka dia kafir." (Lihat Nuniyyah Ibnul Qayyim rahimahullah hal 49, cet. Daar Ibn Jazm th. 1440 H) Karena ini mengharuskan adanya pendapat bahwa firman Allah diciptakan. Firman Allah adalah sifat dari sifat-sifat Allah, dan Allah adalah Sang Pencipta, sedangkan selain-Nya adalah makhluk. Sifat-sifat Allah adalah sifat Sang Pencipta, bukan makhluk. Siapa yang mengklaim bahwa sifat-sifat Allah adalah makhluk, maka dia telah kafir. Termasuk di antaranya adalah firman-Nya, maka firman itu adalah firman Allah, sifat-Nya yang melekat pada-Nya. Allah tidak menciptakan firman-Nya dalam diri yang lain, seperti yang dikatakan oleh ahli bid'ah: mereka berkata bahwa Al-Qur'an diciptakan dalam Jibril atau diciptakan dalam pohon ketika Allah berbicara kepada Nabi Musa. Tetapi sebenarnya, Al-Qur'an adalah firman Allah, bukan makhluk, baik dari segi lafaznya, maknanya, maupun huruf-hurufnya.
وَهُنَاكَ مَسْأَلَةُ حُكْمِ الْمُصْحَفِ: هَلْ الْمُصْحَفُ مَخْلُوقٌ ؟ الْمُصْحَفُ مِنْهُ مَا هُوَ مَخْلُوقٌ وَهُوَ الْوَرَقُ وَالْجِلْدُ وَالْحِبْرُ الَّذِي كُتِبَ بِهِ الْقُرْآنُ، فَهَذِهِ مَخْلُوقَةٌ. وَأَمَّا الْمَكْتُوبُ بَيْنَ طَيَّاتِ الْمُصْحَفِ وَبَيْنَ جِلْدَتَيْ الْمُصْحَفِ فَكُلُّهُ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ. كَمَا قَالَ الْقَحْطَانِيُّ:" هُوَ فِي الْمَصَاحِفِ مُثْبَتٌ بِأَنَامِلِ الْأَشْيَاخِ وَالشِّبَانُ هُوَ قَوْلُ رَبِّي وَحُرُوفُهُ وَمِدَادُنَا وَالرِّقُّ مَخْلُوقَانِ "مِدَادُنَا هُوَ الْحِبْرُ، وَالرِّقُّ هُوَ الْجِلْدُ وَالْأَوْرَاقُ الَّتِي تُكْتَبُ عَلَيْهِمْ، هَذَانِ مَخْلُوقَانِ. وَأَمَّا مَا كُتِبَ فِي الْقُرْآنِ مِنْ الْآيَاتِ وَالْحُرُوفِ فَهُوَ كَلَامُ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.
Terdapat masalah mengenai hukum mushaf: Apakah mushaf itu makhluk? Pada mushaf, ada bagian yang merupakan makhluk, yaitu kertas, kulit, dan tinta yang digunakan untuk menulis Al-Qur'an. Semua ini adalah makhluk. Namun, yang tertulis di antara lembaran mushaf dan di antara kulit mushaf, seluruhnya adalah firman Allah, bukan makhluk. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Qahthani: "Ia tertulis dalam mushaf dengan jari-jemari para orang tua dan pemuda. Ia adalah firman Tuhanku, dan huruf-hurufnya serta tinta kita dan lembarannya adalah makhluk." Tinta kita adalah tinta, dan lembarannya adalah kulit dan kertas yang digunakan untuk menulis Al-Qur'an. Keduanya adalah makhluk. Namun, apa yang tertulis dalam Al-Qur'an berupa ayat-ayat dan huruf-hurufnya adalah firman Allah yang Mahasuci dan Mahatinggi.
فَالْمُصْحَفُ غَيْرُ الْقُرْآنِ مِنْ وَجْهٍ، وَهُوَ لَيْسَ كَالْقُرْآنِ. فَالْقُرْآنُ لَيْسَ مِنْهُ شَيْءٌ مَخْلُوقٌ، وَأَمَّا الْمُصْحَفُ، فَالْأَوْرَاقُ وَالْجِلْدُ وَالْحِبْرُ مَخْلُوقَةٌ، وَالْقُرْآنُ الْمَكْتُوبُ فِيهِ لَيْسَ بِمَخْلُوقٍ. وَلِهَذَا، لَا يَجُوزُ الْقَسَمُ بِالْمُصْحَفِ، لِأَنَّ الْمُصْحَفَ فِيهِ مَا هُوَ مَخْلُوقٌ، وَلَا يَجُوزُ الْقَسَمُ بِالْمَخْلُوقِ. وَأَمَّا الْقَسَمُ بِالْقُرْآنِ، فَمَنْ يُجِيزُ الْقَسَمَ بِصِفَاتِ اللَّهِ ؟ وَهَذِهِ مَسْأَلَةٌ خِلَافِيَّةٌ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ: هَلْ يَجُوزُ الْقَسَمُ بِالصِّفَةِ أَمْ لَا ؟ وَالْخِلَافُ فِي هَذَا بَيْنَ أَهْلِ السُّنَّةِ. وَاحْتَجَّ مَنْ يَقُولُ بِجَوَازِ الْقَسَمِ بِالصِّفَةِ بِقَوْلِ إِبْلِيسَ: "فَبِعْزَّتَكَ لَأَغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ" ، أَقْسَمَ بِعِزَّةِ اللَّهِ، وَاَللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ ذَلِكَ. وَأَمَّا الِاسْتِعَاذَةُ بِالصِّفَةِ فَجَائِزٌ، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَعُوذُ بِوَجْهِكَ" ، وَقَالَ: "أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خُلَقَ". وَكَانَ الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ يَقُولَانِ:" أُعِيذُكُمَا بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَةٍ". وَكَلِمَاتُ اللَّهِ هِيَ الْقُرْآنُ. وَقَدْ تُطْرَحُ الْكَلِمَاتُ عَلَى الْكَوْنِيَّةِ الَّتِي خَلَقَ اللَّهُ بِهَا، وَكُلُّ كَلِمَاتِ اللَّهِ الْكَوْنِيَّةِ وَالشَّرْعِيَّةِ كُلُّهَا مِنْ كَلَامِ اللَّهِ لَيْسَتْ مَخْلُوقَةً.
Maka mushaf itu berbeda dengan Al-Qur'an dalam satu sisi, dan mushaf bukanlah Al-Qur'an. Al-Qur'an tidak ada sedikit pun dari padanya yang merupakan makhluk, sedangkan mushaf, kertasnya, kulitnya, dan tintanya adalah makhluk, tetapi Al-Qur'an yang tertulis di dalamnya bukanlah makhluk. Oleh karena itu, tidak diperbolehkan bersumpah dengan mushaf, karena di dalam mushaf ada yang merupakan makhluk, dan tidak boleh bersumpah dengan makhluk. Adapun bersumpah dengan Al-Qur'an, maka bagi siapa yang memperbolehkan bersumpah dengan sifat-sifat Allah, ini adalah masalah yang diperselisihkan di antara para ulama: apakah diperbolehkan bersumpah dengan sifat atau tidak? Perbedaan pendapat ini ada di kalangan Ahlus Sunnah. Mereka yang mengatakan bahwa bersumpah dengan sifat Allah diperbolehkan, berdalil dengan ucapan Iblis: "Demi kemuliaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya," (QS. Shad: 38), di mana Iblis bersumpah dengan kemuliaan Allah, dan Allah Azza wa Jalla tidak mengingkari sumpah tersebut. Adapun berlindung dengan sifat Allah, itu diperbolehkan, seperti yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Aku berlindung dengan Wajah-Mu," (HR. al-Bukhari no. 7313) dan beliau ﷺ juga berkata: "Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa yang diciptakan." Hasan dan Husain juga pernah mengatakan: "Aku berlindung untuk kalian berdua dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari setiap setan dan makhluk berbisa." (HR. Muslim no. 2708). Kalimat-kalimat Allah adalah Al-Qur'an. Kalimat-kalimat ini bisa merujuk pada yang bersifat kauniyah (yang Allah ciptakan dengan-Nya), dan semua kalimat Allah, baik yang bersifat kauniyah maupun syar'iyah, semuanya adalah firman Allah dan bukan makhluk.
فِي الْكَلِمَاتِ الْكَوْنِيَّةِ، كَقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: "إِنَّمَا أَمْرُهُ إذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ". فَالْكَلِمَاتُ الْكَوْنِيَّةُ هِيَ الَّتِي يُخْلَقُ بِهَا وَيَكُونُ. وَالْكَلِمَاتُ الشَّرْعِيَّةُ هِيَ الَّتِي أَنْزَلَ بِهَا الْكُتُبَ وَبَيَّنَ بِهَا الشَّرْعَ، وَكُلُّ كَلِمَاتِ اللَّهِ هِيَ مِنْ كَلَامِهِ لَيْسَتْ مَخْلُوقَةً. وَمَنْ قَالَ مَخْلُوقٌ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ، وَهَذَا هُوَ قَوْلُ الْجَهْمِيَّةِ وَالْمُعْتَزِلَةِ وَبَعْضِ الزَّيْدِيَّةِ وَبَعْضِ الْخَوَارِجِ، وَهَؤُلَاءِ كُلُّهُمْ تَأَثَّرُوا بِأَقْوَالِ الْجَهْمِيَّةِ وَالْمُعْتَزِلَةِ. وَكَذَلِكَ مَنْ قَالَ إنَّ الْقُرْآنَ حِكَايَةٌ أَوْ عِبَارَةٌ، كَمَا قَالَ الْأَشَاعِرَةُ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ. الْأَشَاعِرَةُ قَالُوا إنَّ كَلَامَ اللَّهِ هُوَ مَعْنًى فِي النَّفْسِ، مَعْنَى نَفْسِيٌّ، لَيْسَ لِلَّهِ مِنْ الْقُرْآنِ إلَّا الْمَعْنَى، وَأَمَّا الْأَلْفَاظُ، فَهِيَ حِكَايَةٌ أَوْ عِبَارَةٌ. وَهَذَا كُلُّهُ بَاطِلٌ. فَالْقُرْآنُ بِأَلْفَاظِهِ وَمَعَانِيهِ هُوَ كَلَامُ اللَّهِ. لِأَنَّ النَّاسَ اخْتَلَفُوا فِي حَقِيقَةِ الْكَلَامِ: مَا هُوَ؟ فَقَالَ الْمُعْتَزِلَةُ: الْكَلَامُ هُوَ اللَّفْظُ. وَقَالَ الْأَشَاعِرَةُ: الْكَلَامُ هُوَ الْمَعْنَى. وَقَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ: الْكَلَامُ هُوَ اللَّفْظُ وَالْمَعْنَى.
Dalam konteks kalimat-kalimat kauniyah (kalimat penciptaan), seperti firman Allah Azza wa Jalla: "Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, 'Jadilah,' maka jadilah sesuatu itu." (QS. Yasin: 82) Kalimat-kalimat kauniyah adalah yang dengannya Allah menciptakan dan menjadikan sesuatu. Sedangkan kalimat-kalimat syar'iyah (kalimat syariat) adalah yang dengannya Allah menurunkan kitab-kitab dan menjelaskan syariat. Semua kalimat Allah adalah bagian dari firman-Nya dan bukan makhluk. Barang siapa yang mengatakan bahwa firman Allah adalah makhluk, maka dia adalah ahli bid'ah, dan ini adalah pendapat Jahmiyah, Mu'tazilah, sebagian Zaidiyah, dan sebagian Khawarij, semuanya dipengaruhi oleh pemikiran Jahmiyah dan Mu'tazilah. Demikian pula, siapa yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah sekadar penuturan atau ungkapan, seperti yang dikatakan oleh Asy'ariyah, maka dia termasuk ahli bid'ah. Asy'ariyah mengatakan bahwa firman Allah hanyalah makna dalam diri-Nya, suatu makna batin, dan Allah hanya memiliki makna dari Al-Qur'an, sedangkan lafaznya hanyalah penuturan atau ungkapan. Semua ini adalah batil. Al-Qur'an dengan lafazh dan maknanya adalah firman Allah. Karena orang-orang berselisih mengenai hakikat dari kalam (firman): Apa itu (Al-Kalam) sebenarnya? Kaum Mu'tazilah mengatakan bahwa kalam hanyalah lafazh, sedangkan Asy'ariyah mengatakan bahwa kalam hanyalah makna. Adapun Ahlus Sunnah mengatakan bahwa kalam adalah lafazh h dan makna sekaligus.
فَلَا يُتَصَوَّرُ فِي مُتَكَلِّمٍ يَتَكَلَّمُ بِكَلَامٍ إلَّا أَنْ يَكُونَ بِأَلْفَاظٍ وَلَهُ مَعَانِي. أَمَّا إذَا أَجْرَى الْمَعْنَى فِي نَفْسِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِهِ، فَلَيْسَ هُوَ كَلَامٌ، وَإِنَّمَا يُقَالُ حَدِيثُ نَفْسٍ.
Maka, tidak mungkin ada seseorang yang berbicara dengan suatu kalam (firman) kecuali kalam itu terdiri dari lafazh dan memiliki makna. Adapun jika seseorang hanya menyimpan makna dalam dirinya dan tidak mengucapkannya, itu bukanlah kalam (firman), melainkan disebut sebagai "percakapan dalam diri" (haditsun nafs).
وَفَرْقٌ بَيْنَ الْأَلْفَاظِ الْمُطْلَقَةِ وَالْمُقَيَّدَةِ. وَلِهَذَا قَالَ عُمَرُ: "زَوَّرْتُ فِي نَفْسِي كَلَامًا" ، فَأَتَى أَبُو بَكْرٍ بِكَلَامٍ خَيْرٍ مِنْهُ. قَالَ هَذَا يَوْمَ السَّقِيفَةِ. وَمَعْنَى "زَوَّرْت": أَيْ أَعْدَدْتُ فِي نَفْسِي كَلَامًا، فَقَيَّدَهُ بِالنَّفْسِ، وَالْكَلَامُ الْمُقَيَّدُ بِالنَّفْسِ لَيْسَ هُوَ الْكَلَامَ الْمُطْلَقَ. النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَّقَ بَيْنَ حَدِيثِ النَّفْسِ وَالْكَلَامِ وَقَالَ:" عَفَا اللَّهُ فِي أُمَّتِي عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَتَكَلَّمْ أَوْ تَعْمَلْ". فَبَيَّنَ أَنَّ اللَّهَ لَا يُؤَاخِذُ بِحَدِيثِ النَّفْسِ، وَإِنَّمَا يُؤَاخِذُ بِالْكَلَامِ. وَلِهَذَا قَالَ رَجُلٌ لِرَجُلٍ: "أَنَا فِي يَوْمِ كَذَا أَخْبَرْتُكَ بِكَذَا وَكَلَمْتُكَ فِي مَوْضُوعِ كَذَا وَكَذَا". فَصَارَ لَمْ يَحْصُلْ هَذَا، فَقَالَ الْآخَرُ:" هَلْ أَنَا تَكَلَّمْتُ فِي نَفْسِي ؟ "فَيَقُولُ الْمُخَاطَبُ:" كَلَامُكَ فِي نَفْسِك لَيْسَ هُوَ بِكَلَامٍ، وَإِنَّمَا هُوَ حَدِيثُ نَفْسٍ". فَلَا يَكُونُ الْكَلَامُ كَلَامًا حَتَّى يَخْرُجَ بِاللَّفْظِ.
Ada perbedaan antara lafazh yang Mutlaqoh (mutlak) dan Muqoyyadah (yang terikat). Oleh karena itu, Umar radhiallahu’anhu berkata: "Aku telah menyusun dalam diriku suatu kalam (ucapan)," kemudian Abu Bakar datang dengan kalam yang lebih baik daripadanya. Ini terjadi pada hari Saqifah. Makna "زَوَّرْت" (zawwartu) adalah: "Aku telah menyusun dalam diriku suatu kalam," sehingga kalam itu terikat dalam diri, dan kalam yang terikat dalam diri bukanlah kalam yang mutlak. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membedakan antara percakapan dalam diri (haditsun nafs) dan kalam (ucapan) dan bersabda: "Allah telah memaafkan umatku atas apa yang terlintas dalam diri mereka selama mereka tidak mengucapkannya atau mengamalkannya." Maka, dijelaskan bahwa Allah tidak menghukum atas percakapan dalam diri, tetapi menghukum atas kalam (ucapan). Oleh karena itu, jika seseorang berkata kepada orang lain: "Pada hari ini aku memberitahumu tentang ini dan itu, dan aku berbicara denganmu tentang hal ini dan itu," tetapi ternyata hal itu tidak terjadi, maka yang lain bisa berkata: "Apakah aku berbicara dalam diriku?" Lalu orang yang diajak bicara menjawab: "Apa yang kamu bicarakan dalam dirimu bukanlah kalam, melainkan hanya percakapan dalam diri." Jadi, kalam (ucapan) tidaklah disebut kalam sampai ia diucapkan secara lisan.
وَكَذَلِكَ اللَّفْظُ هُوَ لَيْسَ حَقِيقَةَ الْكَلَامِ، وَإِنَّمَا هُوَ دَالٌّ عَلَى الْكَلَامِ. وَهَؤُلَاءِ يَحْتَجُّونَ بِقَوْلِ الْأَفْضَلِيِّ: "إنَّ الْكَلَامَ لَفِي الْفُؤَادِ وَإِنَّمَا جُعِلَ اللِّسَانُ عَلَى الْفُؤَادِ دَلِيلًا". وَيَجْعَلُونَ هَذَا الْبَيْتَ الْأَفْضَلِيَّ حُجَّةً عَلَى الْمَعْنَى النَّفْسِيِّ. وَهَذَا الْبَيْتُ بَاطِلٌ كَمَا قَالَ الْعُلَمَاءُ، ذَكَرَ هَذَا شَارِحُ الطَّحَاوِيَّةِ نَقْلًا عَنْ شَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ. وَرَدَّ الْعُلَمَاءُ عَلَيْهِمْ بِوُجُوهٍ، قَالُوا إِنَّ الْأَفْضَلِيَّ نَصْرَانِيٌّ مُثَلَّثٌ، فَكَيْفَ يُحْتَجُّ بِقَوْلِهِ فِي الْكَلَامِ ؟ وَهُوَ عَلَى هَذِهِ الْعَقِيدَةِ الْفَاسِدَةِ. قَالُوا: "وَإِنْ صَحَّ هَذَا الْبَيْتُ، فَيَكُونُ الْمَقْصِدُ أَنَّ الْكَلَامَ لَفِي الْفُؤَادِ، أَيْ الْمَعَانِي انْبَعَثَتْ مِنْ الْفُؤَادِ، وَإِنَّمَا جُعَلَ اللِّسَانُ عَلَى الْفُؤَادِ دَلِيلًا، أَنَّ اللِّسَانَ يُتَرْجِمُ مَا فِي الْقَلْبِ".
Demikian pula, lafazh bukanlah hakikat kalam (ucapan), melainkan ia adalah penunjuk kepada kalam. Mereka (para pendukung makna batin) berargumen dengan perkataan Al-Afdaliy: " Sesungguhnya perkataan (kalam) itu ada di dalam hati, dan lidah hanya dijadikan sebagai penunjuk dari apa yang ada di dalam hati. " (maksudnya adalah bait ini menekankan bahwa kata-kata yang diucapkan seseorang hanyalah cerminan dari niat, perasaan, dan pemikiran yang ada di dalam hati. Lidah tidak berbicara sendiri tanpa adanya niat atau maksud yang berasal dari hati.) Mereka menjadikan bait Al- Afdaliy ini sebagai hujah atas makna batin. Namun, bait ini adalah batil, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama, dan hal ini disebutkan oleh pensyarah kitab Al-Aqidah At-Tahawiyah, yang mengutip dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Para ulama menolak argumen ini dengan berbagai alasan, mereka mengatakan bahwa Al- Afdaliy adalah seorang Nasrani yang menganut konsep trinitas, maka bagaimana bisa perkataannya dijadikan hujah dalam masalah kalam (ucapan)? Sedangkan ia memiliki keyakinan yang sesat. Mereka berkata: "Dan jika bait ini dianggap shahih, maka maksudnya adalah bahwa kalam ada dalam hati, yaitu makna-makna yang muncul dari hati, dan lidah dijadikan sebagai penunjuk atas hati, bahwa lidah menerjemahkan apa yang ada di dalam hati."
وَلَيْسَ مَعْنَى ذَلِكَ أَنَّ الْكَلَامَ يَكُونُ مَعْنًى نَفْسِيٍّ. قَالَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ:" الْكَلَامُ عِنْدَ الْعَرَبِ وَعِنْدَ عَامَّةِ أَهْلِ الْمِلَلِ وَأَهْلِ اللُّغَاتِ لَا يَحْتَاجُ فِي مَعْرِفَتِهِ إلَى قَوْلِ الْأَفْضَلِيِّ وَلَا غَيْرِهِ، لِأَنَّهُ يَتَأَلَّفُ مِنْ لَفْظٍ لَهُ مَعْنًى". فَاللَّفْظُ الَّذِي لَيْسَ لَهُ مَعْنًى لَيْسَ بِكَلَامٍ. الْهَذْيَانُ، عِنْدَمَا يُصَابُ الرَّجُلُ بِحُمَّى شَدِيدَةٍ، يَقُومُ يَتَكَلَّمُ، يُهْذِي بِكَلَامٍ لَيْسَ لَهُ مَعْنًى، فَهَذَا لَا يُقَالُ إِنَّهُ كَلَامٌ، وَإِنَّمَا يُقَالُ يُهْذِي. لَا يَكُونُ الْكَلَامُ كَلَامًا حَتَّى يَخْرُجَ بِاللَّفْظِ وَيَسْمَعَهُ النَّاسُ وَيَكُونَ لَهُ مَعْنًى. وَهَذَا هُوَ الْمَعْرُوفُ عِنْدَ النُّحَاةِ، كَمَا قَالَ ابْنُ مَالِكٍ فِي نُونِيَّتِهِ: "كَلَامُنَا لَفْظٌ مُفِيدٌ كَاسْتَقِمْ" ، كَلَامُنَا لَفْظٌ مُفِيدٌ، فَاسْتَقِمْ، أَيْ أَنَّهُ لَهُ مَعْنًى. وَهَذَا الْمَعْرُوفُ عِنْدَ عَامَّةِ النَّاسِ أَنَّ الْكَلَامَ مَا تَأَلَّفَ مِنَ اللَّفْظِ وَالْمَعْنَى. فَلَيْسَ اللَّفْظُ مُنْفَرِدًا عَنِ الْمَعْنَى بِكَلَامٍ، وَلَيْسَ الْمَعْنَى مُنْفَرِدًا عَنِ اللَّفْظِ بِكَلَامٍ، فَالْكَلَامُ هُوَ اللَّفْظُ وَالْمَعْنَى. وَعَلَى هَذَا، فَالْقُرْآنُ بِأَلْفَاظِهِ وَمَعَانِيهِ هُوَ كَلَامُ الله، وَلَا نَقُولُ إِنَّ مَعْنَاهُ مِنَ اللَّهِ وَأَلْفَاظُهُ مَخْلُوقَةٌ أَوْ عِبَارَةٌ، كُلُّ ذَلِكَ كَلَامُ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.
Dan maksudnya bukanlah bahwa kalam itu hanya merupakan makna batin (makna yang ada dalam diri). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Kalam menurut bangsa Arab, dan menurut mayoritas pemeluk agama dan ahli bahasa, tidak memerlukan penjelasan dari Al-Afḍalī atau yang lainnya untuk memahaminya, karena kalam itu terdiri dari lafazh yang memiliki makna." Lafazh yang tidak memiliki makna bukanlah kalam. Ketika seseorang mengalami demam tinggi, dia mungkin berbicara dengan kalam yang tidak memiliki makna; ini tidak disebut sebagai kalam, melainkan disebut mengigau. Kalam tidak bisa disebut sebagai kalam sampai ia diucapkan dengan lafaz, didengar oleh orang lain, dan memiliki makna.
Ini adalah pemahaman yang umum di kalangan ahli nahwu (tata bahasa), sebagaimana dikatakan oleh Ibn Malik dalam Nūniyyah-nya: "Kalam kita adalah lafazh yang memberi manfaat, seperti 'istiqomahlah'." Artinya, kalam kita adalah lafazh yang memiliki makna. Ini adalah pemahaman yang dikenal di kalangan masyarakat umum, bahwa kalam adalah sesuatu yang terdiri dari lafazh dan makna. Lafazh yang terpisah dari makna bukanlah kalam, dan makna yang terpisah dari lafazh juga bukan kalam. Kalam adalah gabungan antara lafazh dan makna.
Oleh karena itu, Al-Qur'an dengan lafazh dan maknanya adalah firman Allah, dan kita tidak mengatakan bahwa maknanya berasal dari Allah sementara lafaznya adalah makhluk atau ungkapan, karena semuanya adalah firman Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi.
فَنَقَلَ الْمُصَنِّفُ عَنْ سُفْيَانَ وَهُوَ ابْنُ عُيَيْنَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ: "الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ وَمَنْ قَالَ مَخْلُوقٌ فَهُوَ مُبْتَدِعٌ، لَمْ نَسْمَعْ أَحَدًا يَقُولُ هَذَا". فَإِنَّنَا لَمْ نَعْرِفْ أَنَّ أَحَدًا مِنْ السَّلَفِ قَالَ إِنَّ الْقُرْآنَ مَخْلُوقٌ. بَلْ السَّلَفُ مُجْمِعُونَ عَلَى أَنَّ الْقُرْآنَ هُوَ كَلَامُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَلَا يُعْرَفُ هَذَا حَتَّى أَحْدَثَتْ الْمُعْتَزِلَةُ الْقَوْلَ بِخَلْقِ الْقُرْآنِ، وَلَبِسُوا بِهِ عَلَى بَعْضِ الْجَهَلَةِ، وَلَبِسُوا بِهِ عَلَى الْخَلِيفَةِ الْعَبَّاسِيِّ الْمَأْمُونِ، وَمَنْ وَافَقَهُ. وَعُرِفَتْ الْبِدْعَةُ مِنْ ذَلِكَ الْوَقْتِ. وَأَمَّا قَبْلَ ذَلِكَ، فَلَا يُعْرَفُ أَنَّ أَحَدًا مِنْ النَّاسِ قَالَ فِي كَلَامِ اللَّهِ إنَّهُ مَخْلُوقٌ، بَلْ كَانُوا يَقُولُونَ الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ. وَلِهَذَا كَانَ الْأَئِمَّةُ يَقُولُونَ الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ وَيَسْكُتُونَ. فَلَمَّا أَحْدَثَ الْجَهْمِيَّةُ مَقَالَتَهُمْ، قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ:" لَابُدَّ أَنْ نَقُولَ الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ". فَشَدَّدَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ عَلَى الْوَاقِفَةِ الَّذِينَ قَالُوا: "نَحْنُ نَقُولُ الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ وَنَسْكُتُ، لَا نَقُولُ مَخْلُوقٌ وَلَا غَيْرُ مَخْلُوقٍ". فَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ:" الْوَاقِفَةُ شَرٌّ مِنْ الْجَهْمِيَّةِ، لِأَنَّهُمْ يَلْبَسُونَ عَلَى النَّاسِ".
Penulis mengutip rahimahullah dari Sufyan bin 'Uyainah rahimahullah yang berkata: "Al-Qur'an adalah firman Allah, dan siapa yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, maka dia adalah ahli bid'ah. Kami tidak mendengar seorang pun yang mengatakan hal ini." Maka, kita tidak mengetahui bahwa ada seorang pun dari kalangan salaf yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Justru, para salaf sepakat bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah Azza wa Jalla, dan tidak ada yang mengatakan hal ini sampai Mu'tazilah menciptakan pendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, lalu mereka menyesatkan sebagian orang yang jahil dan menipu Khalifah Abbasiyah Al-Ma'mun dan yang sependapat dengannya. Maka sejak saat itulah bid'ah ini dikenal. Sebelum itu, tidak diketahui ada orang yang mengatakan bahwa firman Allah adalah makhluk, melainkan mereka berkata bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah. Oleh karena itu, para imam berkata bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah dan mereka diam.
Namun, ketika Jahmiyah menciptakan ajaran mereka, Imam Ahmad rahimahullah berkata: "Kita harus mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah yang bukan makhluk." Imam Ahmad rahimahullah sangat keras terhadap orang-orang yang berhenti (waqifah), yang mengatakan: "Kami mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah firman Allah dan kami diam, kami tidak mengatakan apakah itu makhluk atau bukan makhluk." Maka Imam Ahmad rahimahullah berkata: "Golongan waqifah lebih buruk daripada Jahmiyah, karena mereka menyesatkan orang-orang."
وَلَمَّا سُئِلَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: "إِنَّ الْأَئِمَّةَ قَبْلَهُ كَانُوا يَقُولُونَ الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ وَلَا يَقُولُونَ مَخْلُوقٌ وَلَا غَيْرُ مَخْلُوقٍ"، قَالَ: "كُنَّا نَقُولُ بِهَذَا حَتَّى أَحْدَثَ هَؤُلَاءِ، لَابُدَّ أَنْ يَظْهَرَ الْحَقُّ فِي مُقَابِلِ الْبَاطِلِ". لِأَنَّ الْجَهْمِيَّةَ يَقُولُونَ الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ، وَالْأَشَاعِرَةَ يَقُولُونَ الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ، الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ، كُلُّهُمْ يَقُولُونَ كَلَامَ اللَّهِ، لَكِنَّ الْجَهْمِيَّةَ يَقُولُونَ كَلَامَ اللَّهِ مِنْ بَابِ إِضَافَةِ الْمَخْلُوقِ لِخَالِقِهِ، كَمَا نَقُولُ بَيْتُ اللَّهِ، يَقُولُونَ الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ. هَذَا بَاطِلٌ، فَالْإِضَافَةُ هُنَا مِنْ بَابِ إِضَافَةِ الصِّفَةِ لِلْمَوْصُوفِ، لَا الْمَخْلُوقِ لِخَالِقِهِ. فَأَصْبَحَ الْأَئِمَّةُ يَقُولُونَ الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ. وَشَاعَ فِي كُتُبِ الِاعْتِقَادِ التَّصْرِيحُ بِهَذَا: الْقُرْآنُ كَلَامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ.
Ketika Imam Ahmad rahimahullah ditanya: "Para imam sebelum Anda mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah, tetapi mereka tidak mengatakan bahwa (Al-Qur'an) adalah makhluk atau bukan makhluk," beliau menjawab: "Kami dulu juga mengatakan demikian sampai orang-orang ini muncul (dengan pandangan mereka), maka kebenaran harus tampak melawan kebatilan." Sebab, Jahmiyah mengatakan Al-Qur'an adalah kalam Allah, dan Asy'ariyah juga mengatakan Al-Qur'an adalah kalam Allah, semuanya mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah. Namun, Jahmiyah mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah dari segi penambahan makhluk kepada Penciptanya, seperti kita mengatakan 'Rumah Allah', mereka mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah. Ini adalah kesalahan, karena penambahan di sini adalah dari segi penambahan sifat kepada yang disifati, bukan makhluk kepada Penciptanya. Maka, para imam mulai mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah kalam Allah dan bukan makhluk. Dan pernyataan ini tersebar dalam buku-buku aqidah: Al-Qur'an adalah kalam Allah dan bukan makhluk.
وَنُثْبِتُ أَنَّ الْقُرْآنَ كَيْفَمَا تَصَرَّفَ، بِتِلَاوَةٍ تَالٍ، وَبِسَمَاعِ سَامِعٍ وَبِكِتَابَةِ كَاتِبٍ، وَبِحِفْظِ حَافِظٍ، كُلُّهُ كَلَامُ اللَّهِ. وَأَمَّا الْأَوْرَاقُ الَّتِي يُكْتَبُ فِيهَا الْقُرْآنُ، وَالشَّفَتَانِ وَاللِّسَانُ اللَّذَانِ يَتَلَفَّظَانِ بِهِ، فَالشَّفَتَانُ وَاللِّسَانُ مَخْلُوقَانِ، وَالصَّوْتُ صَوْتُ الْقَارِئِ، فَالصَّوْتُ مَخْلُوقٌ، بَيْنَمَا كَلَامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ. هَذِهِ عَقِيدَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ، وَهِيَ الْعَقِيدَةُ الَّتِي تَمَيَّزَ بِهَا أَهْلُ السُّنَّةِ عَنْ غَيْرِهِمْ، وَفَارَقُوا أَهْلَ الْبِدَعِ الَّذِينَ يَتَخَبَّطُونَ فِي الْقُرْآنِ كَمَا تَقَدَّمَ فِي الْمَقَالَاتِ السَّابِقَةِ. وَقِيلَ إنَّ تَحْدِيدَ الْكَلَامِ مَا سُمُّوا بِأَهْلِ الْكَلَامِ إلَّا لِكَثْرَةِ صَوْمِهِمْ فِي صِفَةِ الْكَلَامِ لِلَّهِ، وَقِيلَ إنَّ الْكَلَامَ لِأَنَّ كَلَامَهُمْ كَلَامٌ لَا طَائِلَ تَحْتَهُ، تُسَمُّ بِهِ أَهْلَ الْكَلَامِ. فَيَجِبُ عَلَى طُلَّابِ الْعِلْمِ مَعْرِفَةُ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ الْعَظِيمَةِ، وَعَقِيدَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ فِيهَا بَيِّنَةٌ وَاضِحَةٌ
"Kami menetapkan bahwa Al-Qur'an, dalam bentuk apapun, baik ketika dibaca oleh seseorang, didengar oleh pendengar, ditulis oleh penulis, atau dihafal oleh penghafal, semuanya adalah kalam Allah. Adapun kertas yang digunakan untuk menulis Al-Qur'an, serta bibir dan lidah yang mengucapkannya, maka bibir dan lidah tersebut adalah makhluk, dan suara yang dihasilkan adalah suara pembaca, sehingga suara tersebut adalah makhluk, sedangkan kalam Allah bukanlah makhluk. Inilah keyakinan Ahlus Sunnah, yang menjadi ciri khas mereka dan yang membedakan mereka dari golongan-golongan ahli bid'ah yang bingung dalam memahami Al-Qur'an, sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya. Dikatakan bahwa mereka disebut 'Ahlul Kalam' karena banyaknya perdebatan mereka mengenai sifat kalam Allah, dan dikatakan juga bahwa mereka disebut 'Ahlul Kalam' karena pembicaraan mereka adalah pembicaraan yang tidak ada manfaatnya. Oleh karena itu, wajib bagi para penuntut ilmu untuk memahami masalah besar ini, karena keyakinan Ahlus Sunnah dalam hal ini jelas dan terang benderang."
وَهَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مُتَفَرِّعَةٌ إلَى فُرُوعٍ كَثِيرَةٍ جِدًّا، الْكَلَامُ يَتَعَلَّقُ بِهَا، وَتَتَفَرَّعُ فِي مَسَائِلَ كَثِيرَةٍ. وَكُنْت أَشْرَحُ هَذِهِ الصِّفَةَ، صِفَةَ الْكَلَامِ، لِلطُّلَّابِ فِي كُلِّيَّةِ الْحَدِيثِ فِي عَشْرِ مُحَاضَرَاتٍ، كُنْت أَشْرَحُ فِيهَا هَذِهِ الصِّفَةَ وَنُنَاقِشُ الشَّبَابَ مِنْ أَقْوَالٍ مُخَالِفَةٍ وَالرَّدِّ عَلَيْهَا. وَإِذَا ضُبِطَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ فَإِنَّ الْكَثِيرَ مِنْ مَسَائِلِ الصِّفَاتِ تُضْبَطُ، لِأَنَّ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ هِيَ أَكْثَرُ مَسَائِلِ الصِّفَاتِ تَفْرِيعًا وَاخْتِلَافًا وَاشْتِبَاهًا لَدَى الْمُخَالِفِينَ. أَمَّا أَهْلُ السُّنَّةِ، فَعَقِيدَتُهُمْ فِيهَا بَيِّنَةٌ.
Masalah ini bercabang menjadi banyak sekali cabang-cabang yang berkaitan dengan kalam (firman) dan berhubungan dengan banyak masalah lainnya. Saya biasa menjelaskan sifat ini—sifat kalam—kepada para mahasiswa di Fakultas Hadits dalam sepuluh kuliah. Saya menjelaskan sifat ini dan mendiskusikan dengan mereka tentang pendapat-pendapat yang bertentangan serta cara menjawabnya. Jika masalah ini dipahami dengan baik, maka banyak dari masalah sifat-sifat Allah lainnya juga akan dapat dipahami dengan baik, karena masalah ini adalah salah satu masalah sifat yang paling banyak memiliki cabang, perbedaan, dan kerancuan di kalangan mereka yang menyelisihi (Ahlus Sunnah). Adapun Ahlus Sunnah, aqidah mereka dalam masalah ini jelas dan terang.
---Bersambung----
Lajnah Tafrigh Faedah Daurah - Mahad Imam Al-Bukhari Solo
#Daurah_Al_Ilmiyyah_Solo_Mahad_Imam_Al_Bukhari_Muharram1446H