Jumat, 09 Agustus 2024

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: Berulang-ulang kalimat thaghut terucap di lisan para pemuda dalam menyifati penguasa mereka. Bagaimana pendapat Anda dalam hal ini?

Sekedar memperluas wawasan..

Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya: 
Berulang-ulang kalimat thaghut terucap di lisan para pemuda dalam menyifati penguasa mereka. Bagaimana pendapat Anda dalam hal ini?

Jawab:
Menurutku, ini keliru. Karena kalimat thaghut di telinga masyarakat merupakan hal yang berat, yang menggetarkan gunung-gunung. Padahal jika mereka mengatakan "dia thaghut", maknanya adalah bahwa iman seseorang tidaklah sempurna sebelum mengingkari thaghut tersebut. Allah berfirman:

فمن يكفر بالطاغوت ويؤمن بالله فقد استمسك بالعروة الوثقى 

"Siapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka ia telah berpegang pada tali yang kuat"

Kemudian, kata "thaghut" itu diambil dari kata thugyan (melampaui batas). Dan thugyan ada yang umum dan ada yang khusus. Maksudnya adalah, kadang seseorang melampaui batas dalam suatu masalah tertentu, namun di masalah lain dia berlaku adil dan tidak melampaui batas. Maka melabeli seseorang dengan thaghut secara mutlak adalah kesalahan dan tuduhan.  Maka yang wajib adalah merinci pada apa yang harus dirinci.

Benar, bahwa para gembong kekafiran yang ada di masa sekarang, mereka kita sebut thaghut. Akan tetapi, seorang muslim, yang dia shalat, puasa, bersedekah, kemudian salah dalam suatu masalah tertentu kemudian kita katakan dia thaghut secara mutlak? Ini tidak benar. Allah Ta'ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia:

يا أيها الذين آمنوا كونوا قوامين لله شهداء بالقسط ولا يجرمنكم شنآن قوم على ألا تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتقوى

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah. Dan janganlah kebencianmu kepada suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil. Berlaku adil lah, karena ia lebih dekat kepada ketakwaan.."

Maka kebenaran itu diterima, dari siapapun yang membawanya.."

Sumber:
https://www.youtube.com/watch?v=g-Bqv_MUC74
Ustadz ristiyan Ragil 

Makna thaghut ada beberapa, salah satunya orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah.

Namun secara umum, thaghut adalah segala sesuatu yang menjadikan seseorang melampaui batas, baik dalam menyembah, mengikuti, dan mentaati.

Akan tetapi ini ada rinciannya.

Tidak setiap yang disembah selain Allah, adalah thaghut, namun syaratnya adalah bahwa yang disembah tsb ridho disembah. Makanya 'Isa bin Maryam meskipun disembah orang Nasrani namun beliau 'alaihissalam bukan thaghut.

Begitu pula ulama yang diikuti dalam kesalahan/kemungkaran, juga thaghut jika dia rela diikuti kemungkarannya itu.

Begitu pula ketika seorang pemimpin ditaati dalam kemaksiatan kepada Allah, maka dia thaghut.

Namun Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa thaghut di sini adalah sifat perbuatannya, bukan sifat objek yang ditaati tsb.
Ustadz ristiyan Ragil 

Syaikh Ibnu 'Utsaimin mengatakan:
Kata Ibnul Qayyim: 
"Thaghut adalah segala sesuatu yang menjadikan seseorang melanggar batasnya, baik dalam menyembah, mengikuti, dan mentaati."

Disebut sesuatu yang menjadikan seseorang melanggar batasnya, dari sisi karena mencocoki sifat thugyan (perbuatan melampaui batas) baik itu disembah, diikuti, atau ditaati.

Misalnya, berhala-berhala yang disembah orang kafir disebut thaghut. Orang-orang 'alim yang diikuti, disebut thaghut. Para penguasa yang ditaati, juga disebut thaghut.

Akan tetapi perkataan Ibnul Qayyim ini maksudnya tidak seperti lahiriyah perkataan beliau.

Maksud dari thaghut yang disembah adalah yang tidak punya kehendak untuk disembah, seperti patung dan benda-benda mati, atau yang dia disembah dalam kondisi rela.

Adapun yang disembah namun tidak rela, maka tidak disebut thaghut. Oleh sebab itu tidak mungkin kita menyebut 'Isa bin Maryam sebagai thaghut.

Begitu pula orang yang diikuti, maka ulama yang tidak rela mereka disembah manusia maka bukan thaghut.

Dan untuk masalah orang yang ditaati pun demikian. Para penguasa yang tidak rela disembah manusia maka tidak disebut thaghut.

Maka perkataan Ibnul Qayyim ini tidak berlaku mutlak. Dan memungkinkan untuk kita katakan bahwa perkataan beliau di atas kembali kepada perbuatannya, bahwa thaghut adalah amalan seseorang dalam peribadatannya atau dalam mentaati atau mengikuti mereka. Yakni, memaksiati Allah dalam rangka mentaati mereka.

Maka sifat thughyan kembali kepada perbuatannya, bukan kepada objeknya. Dengan ini kita selamat dari problem ketika kita katakan bahwa thaghut dalam diibadahi, diikuti, dan ditaati mestilah dikaitkan dengan kerelaan.

Sumber:
https://www.youtube.com/watch?v=Cj_F_irmKtE
Ustadz ristiyan Ragil