Laki-laki berdakwah dihadapan wanita kalau aman dari fitnah, boleh
Fatwa Syaikh Muqbil ibn Hadi Al Wadi’i rahimahullahu ta’ala
Pertanyaan : Apa hukumnya mengajar perempuan dalam kelas umum di belakang laki-laki (langsung tanpa hijab pembatas –pent), dalam perkara agama mereka atau kajian Islam mingguan, dengan kondisi para perempuan tersebut berhijab atau bercadar, atau apakah harus kajian Islam tersebut berada di balik hijab? Lalu apa hukumnya mengajari perempuan perkara agama dalam kondisi ini dengan mengetahui bahwa ada beberapa anak laki-laki kecil disana yang ikut, dan terkadang pengajaran tersebut adalah dalam perkara agama yang hukumnya darurat untuk segera diketahui?
Jawab : Kajian laki-laki bagi perempuan dengan tanpa hijab, apabila aman dari fitnah bagi peserta laki-laki, atau bagi si pemateri laki-laki, atau bagi peserta wanita itu sendiri maka hukumnya tidak mengapa, apabila laki-laki aman dari fitnah, dan perempuan juga aman dari fitnah, dan mereka semua berpakaian Islami yang menutupi aurat, maka hukumnya tidak mengapa. Karena terdapat hadits shahih bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wa sallam berkhutbah kepada para laki-laki di hari ‘Ied, dan setelah selesai beliau pergi kepada para perempuan dan memberi nasihat, “Wahai sekalian perempuan, bersedekahlah karena sungguh aku melihat banyak dari kalian termasuk penghuni neraka”. Ada yang bertanya, apa sebabnya wahai Rasulullah, “Mereka kufur (durhaka) terhadap suami-suaminya, apabila engkau berbuat baik kepada salah seorang diantara mereka selama rentang waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu satu keburukan niscaya dia berkata, ‘Aku tidak melihat satupun kebaikan dari dirimu’. Kemudian Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda kepada para perempuan, “Tidaklah salah seorang perempuan diantara kalian ditinggal mati oleh tiga anaknya melainkan mereka akan menjadi hijab dari api neraka”. Ada yang bertanya, “Dan dua wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Dan dua”. Kemudian seorang perempuan diutus menemui Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam dan ia berkata, “Wahai Rasulullah, para lelaki bisa berangkat kepadamu (untuk menuntut ilmu), maka jadikanlah satu hari bagi kami (para wanita)”. Saat itu Bilal sedang membersamai Nabi shallallaahu alaihi wa sallam atau di lain waktu Jabir ibn Abdillah, kemudian para wanita mengumpulkan anting, dan giwang di balik baju Bilal. Ini menjadi dalil apabila aman dari fitnah maka hal tersebut tidak mengapa.
Adapun kondisi iman itu bertambah dan berkurang, terkadang di sebagian waktu seseorang bersemangat dalam agamanya, sehingga dia tidak sempat berfikir untuk bermaksiat. Di waktu lain ia dihinggapi waswas dari syaithan hingga ia menurut pada keburukan. Kemudian, apa hukum perempuan yang memiliki anak-anak laki-laki untuk menghadiri perkumpulan semacam itu dan khawatir apabila ia meninggalkan anak-anaknya (di rumah)? Terdapat hadits riwayat Bukhari dan Muslim dalam shahih keduanya dari Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Tiap kalian adalah pemimpin, dan tiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas tanggungannya. Seorang imam adalah penanggungjawab atas setiap yang menjadi tanggungannya”, hingga beliau berkata, “Dan perempuan adalah penanggungjawab bagi rumah suaminya, pemimpin bagi tanggungannya”. Rabbul Izzah, Allah azza wa jalla berfirman dalam kitabNya yang mulia, “Wahai sekalian orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”. Dalam Shahihain hadits Ma’qal ibn Yassar bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang pemimpin diberi tanggungan oleh Allah untuk dia mengurusnya, kemudian ia tidak melingkupinya dengan nasihat, melainkan ia tidak akan mencium bau surga”.
Dan banyak terjadi pada da’i ilallaah, mereka menyia-nyiakan anak-anak mereka dan suaminya karena perhatian mereka pada dakwah(!). Bahkan wajib hukumnya untuk memberikan haq pada setiap yang berhak. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda kepada Abu Darda’ sebagaimana dalam Shahih Al Bukhari, “Sungguh bagi dirimu ada hak, bagi istrimu ada hak, bagi anak-anakmu ada hak, maka berikan setiap yang berhak, haknya”. Kami pun apabila membagi waktu, kami berupaya menunaikan kewajiban kepada keluarga, berupaya menunaikan kewajiban dakwah, kewajiban ta’lim (baca: mengajar), kewajiban belajar untuk menambah bekal ilmu, sebagaimana yang kami fahami dari hadits yang lalu yaitu hadits Abu Darda’ ketika Salman Al Farisi menasihati Abu Darda’ radhiyallahu ta’ala ‘anhumaa, maka Nabi shallallaahu alaihi wa ‘alaa aalihi wa sallam bersabda, “Benarlah Salman, janganlah bertindak ifrath (berlebih-lebihan) dan jangan pula bertindak tafrith (meremehkan hak)”.
-selesai kutipan dari Ijabaatus Saa’il ‘ala Ahammil Masaa’il Syaikh Muqbil ibn Hadi Al Wadi’i hal. 617-619