Kamis, 02 November 2023

Orang awam sudah selayaknya mengikuti fatwa seorang ahli ilmu yang ia anggap berkapasitas

Orang awam sudah selayaknya mengikuti fatwa seorang ahli ilmu yang ia anggap berkapasitas. Hanya saja, terlebih pada masalah kontemporer, ia tidak boleh memaksa orang lain untuk mengikuti fatwa yang sama. Selain karena dia sendiri orang awam yang tidak memiliki bekal ilmu alat guna merumuskan hukum atau setidaknya bisa menganalisis fatwa para ulama yang dilatarbelakangi oleh dalil dan kaidah ushul fiqh/qawaid fiqh, karakteristik fatwa itu tidak mengikat. Dengan kata lain, ia boleh mengikuti fatwa syaikh tertentu namun fatwa tersebut sifatnya tidak mengikat dan melazimi pihak lain untuk mengikuti. Tak elok jika ia berbicara dengan mendebat fatwa lain hanya karena tak sejalur dengan fatwa ulama yang ia gandrungi. 

Orang awam itu, selain mesti bercermin, tugas utama dan kewajibannya adalah bertanya lalu mengamalkan, bukan berdebat apalagi di rimba dunia maya. Parahnya lagi jika melabeli pihak berseberangan dengan sematan hizbiyah hanya karena tidak sejalan dengan fatwa syaikhnya itu. Tentu ini kedzaliman menyembur dari lumpur kebodohan. Tidak masalah “sekedar” bodoh. Toh kita semua adalah bodoh. Yang tercela adalah kebodohan yang tidak diiringi kemauan untuk belajar plus mendzalimi pihak lain. Terkait sematan hizbi, sebenarnya hizbi tsb tertuju padanya karena loyalitas dan penilaian terhadap orang lain, entah itu kesalafian atau tidak, hanya berkacamatakan dan kesejalanan dengan fatwa syaikhnya, terkait tema apapun yang dibicarakan. Dengan sikapnya, ia menihilkan hasil rumusan fiqh tokoh lain dan menilai bahwa rumusan tersebut dicerna atas dasar kebodohan; sementara ilmu hanya ia sematkan pada tokohnya sendiri.
____
Ustadz yani fahriansyah