Jumat, 24 November 2023

JATAH BERMALAM (AL-QASM) UNTUK BEBERAPA ISTRI

JATAH BERMALAM (AL-QASM) UNTUK BEBERAPA ISTRI 

✅ Hukum membagi malam kepada para istri adalah wajib. Walaupun salah satu istrinya sakit atau haidh. Maka keadaan tersebut tidak menggugurkan bagian bermalamnya.

🔴 Apabila seseorang memiliki empat orang istri, kemudian ia bermalam pada istri pertama dan kedua, kemudian setelah itu ia memilih tidak bermalam pada salah satunya, maka ia berdosa, karena kedua istrinya yang lain belum mendapatkan jatah bermalam.

🔴 Jatah bermalam istri mesti adil dan merata, terlepas berapapun jumlah anak mereka. Banyaknya jumlah anak salah seorang istri tidak menjadikan bolehnya mendapatkan jatah bermalam lebih lama. Istri yang mempunyai 4 orang anak, misalnya, sama jatah bermalamnya dengan istri yang tidak memiliki anak. 

🔴 Apabila seseorang melakukan akad nikah dengan empat wanita sekaligus, kemudian ia mengumpulkan istri-istrinya pada satu rumah yang sama, dan setelah itu ia memilih bermalam di masjid sebelum bermalam dengan salah satu istrinya, maka hal tersebut makruh. Tidak haram karena belum ada giliran jatah pada salah satu istrinya. Namun makruh karena meninggalkan jatah bermalam pada mereka.

👉🏻 Hukum mengumpulkan seluruh istri dalam satu rumah yang sama (satu dapur) adalah haram, kecuali apabila mereka seluruhnya ridha. 

✅ Bermalam di sini adalah menginap dan tinggal pada waktu siang dan malam, serta berbuat baik kepada istri-istrinya.

👉🏻 Apabila suami tersebut bekerja pada siang hari dan malam harinya adalah waktu istirahat, maka asal jatah istrinya adalah malam hari (diistilahkan "asal"), dan siang harinya disebut tâbi (yang mengikutinya). Boleh siang hari sebelum malamnya, atau menginap pada malam hari kemudian dilanjutkan dengan siang hari setelahnya, dan inilah yang lebih utama.

👉🏻 Sedangkan apabila suami tersebut bekerja pada malam hari dan istirahat di siang hari, maka asal jatahnya adalah siang hari, dan malam harinya adalah tâbi. 

❌ Seorang suami tidak boleh mendatangi istri yang bukan jatahnya tanpa ada kebutuhan mendesak.

🔴 Bagaimana apabila suami mendatangi salah satu istri yang bukan jatahnya karena ada kebutuhan mendesak?

1️⃣ Boleh mendatangi istri yang lain pada tâbi, bukan pada asal, dengan ketentuan:
👉🏻 Apabila ia hanya datang untuk menyelesaikan kebutuhan dan urusannya semata, baik itu urusannya singkat atau lama. Dalam hal ini tidak ada hari ganti (qadha) pada istri yang memiliki jatah pada hari itu. 
👉🏻 Apabila ia datang untuk menyelesaikan kebutuhan, dan ia berlama-lama di sana, padahal urusannya sudah selesai, maka ia harus mengganti waktu tambahan tersebut pada istri yang semestinya memiliki jatah (qadha zaid faqath). 

2️⃣ Tidak boleh mendatangi istri yang lain pada asal, kecuali darurat, seperti istri tersebut sakit, atau adanya kekhawatiran yang nyata:
👉🏻 Apabila urusannya singkat, maka tidak ada qadha.
👉🏻 Apabila urusannya panjang, atau ia sengaja memperpanjang waktunya, maka ia wajib qadha satu malam penuh, apabila asal jatahnya malam, atau satu siang penuh, apabila asal jatahnya siang.

⛔ Hukum memperpanjang waktu pada istri yang bukan jatahnya di luar kebutuhan adalah haram pada asal, dan makruh pada tâbi.

✅ Suami yang mendatangi istrinya di luar jatahnya, boleh bercumbu, tapi tidak boleh melakukan hubungan suami-istri.

🔴 Jatah minimal bagi seorang istri adalah satu malam penuh, apabila asalnya malam, atau satu siang penuh apabila asalnya adalah siang. Jadi tidak boleh membagi beberapa istri dalam satu malam. Misalnya istri pertama 2 jam, kemudian yang kedua 2 jam berikutnya, hal tersebut terlarang.

👉🏻 Apabila suami tersebut membagi jatah bermalam istri-istrinya per dua hari atau per tiga hari, maka diperbolehkan walaupun tanpa keridhaan istri-istrinya. Adapun apabila pembagian jatahnya lebih dari 3 hari. Misalnya ia membagi per 4 hari, maka tidak boleh kecuali apabila istri-istri tersebut ridha.

🔶 Dikecualikan apabila suami baru menikah lagi dengan gadis, maka ia boleh bermalam 7 malam tanpa qadha. Sedangkan apabila ia baru menikah lagi dengan janda (sebagaimana yang telah dijelaskan definisinya), adalah 3 malam. Apabila ia bermalam 7 malam padahal istri barunya adalah janda, maka ia wajib meng-qadha istri-istrinya yang lain, setiap satu istri 7 malam.

🔴 Suami wajib berlaku adil pada istri-istrinya. Apabila ia tidak berlaku adil, maka ia tercatat sebagai orang zhalim, pelaku dosa besar, dan dibangkitkan dalam keadaan pincang di akhirat. 

Wallâhu a'lam.

(Faidah Daurah Al-Yâqût An-Nafîs bersama Dr. Labîb Najîb Al-Adniy hafizhahullâhu ta'âlâ)

🔴 Definisi janda dalam persoalan ini dapat disimak di:
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=435219791462484&id=100049233991909

- Muhammad Laili Al-Fadhli -
Kami tambahkan beberapa keterangan berikut, karena ternyata banyak yang bertanya-tanya:

Disebutkan dalam Hâsyiyah Al-Bâjûriy:

(والنساء على ضربين ثيبات وابكار) والثيب من زالت بكارتها بوطء حلال او حرام والبكر عكسها
"Adapun perempuan itu ada dua golongan: tsayyib (janda) dan bikr (gadis). Janda adalah siapa saja yang hilang keperawanannya, baik melalui hubungan (suami-istri) yang halal (pernikahan) atau haram (perzinaan). Sedangkan gadis adalah sebaliknya."

Disebutkan dalam Al-Fiqhul Islâm:

وقال الشافعية: الثيب: من زالت بكارتها، سواء زالت البكارة بوطء حلال كالنكاح، أو حرام كالزنا، أو بشبهة في نوم أو يقظة، ولا أثر لزوالها بلا وطء في القبل كسقطة وحدة طمث، وطول تعنيس وهو الكبر، أو بأصبع ونحوه في الأصح، فحكمها حينئذ حكم الأبكار.
"Dan menurut pendapat Asy-Syâfi'iyyah: janda artinya seorang perempuan yang telah hilang keperawanannya, sama saja apakah hilangnya disebabkan hubungan (suami-istri) yang halal seperti pernikahan, atau haram seperti perzinaan, atau syubhat dalam keadaan tidur atau terjaga. Adapun apabila hilang keperawanannya disebabkan sesuatu selain hubungan suami-istri pada alat kelaminnya, maka tidak mengubah status hukumnya menjadi janda, seperti disebabkan jatuh, darah haidh, lama tidak menikah hingga usia tua (perawan tua), atau disebabkan jari dan semisalnya menurut pendapat yang lebih tepat (ashah), maka hukumnya mereka pada saat itu hukum gadis."

Disebutkan dalam Al-Fiqhu 'Alâ Madzâhib Al-Arba' ah:

والبكر اسم لامرأة لم تجامع أصلا ويقال لها : بكر حقيقة فمن زالت بكارتها بوثبة أو حيض قوي أو جراحة أو كبر فإنها بكر حقيقة ومثلها من تزوجت بعقد صحيح أو فاسد ولكن طلقت أو مات عنها زوجها قبل الدخول والخلوة أو فرق بينهما القاضي بسبب كون زوجها عنينا أو مجبوبا فإنها بكر حقيقة
"Gadis adalah sebutan bagi seorang perempuan yang belum pernah dijimak (melakukan hubungan suami-istri) sama sekali. Sebagian ulama menyebutnya: gadis hakiki. Adapun perempuan yang hilang keperawanannya akibat terjatuh, haidh yang sangat kuat, terluka, lamanya menjadi perawan tua, maka semuanya termasuk gadis hakiki. Termasuk juga dalam definisi ini adalah siapa yang menikah dengan akad yang shahih atau fasid, namun kemudian ia dicerai atau suaminya meninggal sebelum melakukan hubungan suami-istri, atau mereka dipisahkan oleh seorang hakim dengan sebab suaminya impoten atau alat kelaminnya bermasalah, maka ia juga termasuk gadis hakiki."

Wallâhu a'lam.

Apa pentingnya memahami definisi ini?

Definisi ini sangat penting dipahami, terkait dengan izin mempelai perempuan dalam pernikahan.

Seorang gadis boleh dinikahkan oleh Ayah atau Kakeknya (dari pihak Ayah), tanpa seizin gadis tersebut, bahkan kalau pun belum baligh.

Adapun janda, dalam definisi di atas, tidak boleh dinikahkan kecuali wajib seizin dirinya dan keridhaannya. Serta tidak dinikahkan kecuali setelah baligh.

Apa itu hubungan (suami-istri) syubhat?

Yaitu hubungan suami istri yang tidak disengaja. Misalnya seorang laki-laki menggauli seorang perempuan yang dikira istrinya, namun ternyata perempuan tersebut bukan istrinya.

----

Tambahan di atas sudah dimasukkan ke dalam status