APAKAH ISTIGHFAR TETAP BERGUNA MESKI TERKADANG MASIH MAKSIAT?
Dari sekian banyak persoalan yang ditanyakan adalah apakah istighfar masih bermanfaat untuk pelakunya jika ia masih suka bermaksiat?
Dalam hal ini para ulama terbagi menjadi 3 pendapat;
1. Istighfar bermanfaat secara mutlak.
2. Istighfar tidak bermanfaat sama sekali hingga ia bertaubat secara serius.
3. Pendapat yang mengambil jalan tengah diantara keduanya.
Pendapat ketiga inilah yang kami cenderung padanya. Istighfar tetap berguna bagi pelakunya jika ia menyertainya dengan kearifan dalam pengorbanan, kejujuran dalam permohonan, kepasrahan, dan perasaan faqir untuk selalu mendapat maghfirah Allah di masa yang akan datang. Sebab ia tidak tahu apakah akan terjerumus lagi pada dosa ataukah tidak di masa mendatang.
Jika seorang hamba memohon ampunan dengan penuh ketulusan dan kepasrahan, mustahil Allah menyia-nyiakan permohonan hambaNya ini.
Diantara hujjah-nya adalah:
— Beberapa keterangan dari ayat Al Quran dan hadits-hadits Rasul mengenai keutamaan istighfar. Ini banyak sekali. Dan semuanya disebutkan dalam bentuk mutlak, untuk orang yang tetap bermaksiat atau yang lainnya.
— Istighfar itu meski hanya dengan lisan sangat baik untuk pengucapnya sendiri; untuk menghapus dosanya. Apalagi jika dilakukan dengan penuh kepasrahan dan pengorbanan.
Menurut Al Ghazaliy, lisan yang beristighfar lebih baik dari ghibah dan membual. Bahkan ia lebih baik daripada diam. Demikian juga menurut Abu ‘Utsman al Maghribiy; ia kebih baik karena telah menggunakan anggota tubuh dalam kebaikan dan membiasakan diri berdzikir. Demikian fima ma’na dari Ihyaa ‘Uluumiddiin.
— Sesungguhnya Allah menjanjikan bahwa ia tak akan menyia-nyiakan amal dari orang yang beramal.
Allah Ta’aalaa berfirman,
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ إِنَّا لَا نُضِيعُ أَجْرَ مَنْ أَحْسَنَ عَمَلًا
“Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik.” [Al Kahf : 30]
Silahkan cek juga Hud: 115, Az Zalzalah: 7, An Nisaa: 40, Ali Imran: 195.
Istighfar itu suatu amal, sedangkan amal baik manusia tentu memiliki pahala tersendiri.
Adapun hadits yang diriwayatkan Ibnu Abid Dunya dan Al Baihaqiy, “Orang yang beristighfar dari dosa sedangkan ia masih bermaksiat bagaikan orang yang melecehkan Tuhannya.” Maka hadits ini DHA’IF.
Yang benar ia mauquf pada Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu dan tidak marfu’. Kalaupun kita menerimanya, maka kita arahkan ke makna ‘Urfiy, yaitu jika ia lalai dari makna istighfar dan tanpa sikap pasrah dan pengorbanan.
Istighfar juga terkadang dipisahkan dari pertaubatan. Ia terkadang berdiri sendiri sebagai sebuah bentuk amalan meminta pengampunan (maghfirah) dengan ucapan. Sementara pertaubatan ada pada kalimat “Atuubu Ilayh” (Aku bertaubat padaNya). Itu jika dilihat dari struktur kata. Demikian jelas sebagian ulama.
Namun terkadang menjadi satu kesatuan secara makna, jika dalam kalimat tersebut dibarengi niat bertaubat dari segala dosa. Dengan cara inilah ia akan mendapat maghfirah serta dihapus dosa, sebab ia menggabungkan istighfar dan taubat.
Sebagian Ulama menyebutkanbahwa taubat tidak akan sempurna kecuali disertai Istighfar. Namun pendapat yang kuat menyatakan bahwa istighfar tidak disyaratkan dalam pertaubatan.” [Fathul Baariy, 13/472]
Kesimpulannya;
Istighfar tetaplah berguna bagi pengucapnya baik ia dalam keadaan masih kadang bermaksiat ataupun tidak. Sebagai sebuah amal shalih. Masih lebih baik dari ghibah, membual, dan dosa lainnya. Serta ia membuka peluang diberi ampunan. Dengan syarat ada kepasrahan, kejujuran, dan pengorbanan di dalamnya.
Sementara pertaubatan tidak disyaratkan adanya istighfar. Ini menunjukkan terkadang keduanya adalah hal berbeda. Namun bisa sama secara fungsi jika digabungkan; beristighfar secara lisan dan hati sekaligus pertaubatan.
Demikian, semoga bermanfaat.
—Mochamad Teguh Azhar, M.A, C.PE., C.PS.—