Belajar Toleransi dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Wafat tahun 728 H) terkenal mengkritik kelompok-kelompok dalam Islam dan juga kelompok-kelompok dalam agama lain, tetapi beliau dicintai oleh kawan maupun lawan meskipun ada juga yang tidak suka dengab beliau tetapi itu adalah hal yang wajar karena ridha manusia adalah sesuatu yang tidak akan bisa dicapai sampai hari kiamat tiba. Meskipun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dikenal sering mengkritik lawannya, disisi lain beliau memuji lawannya bahkan terkadang mengambil pendapat lawannya, ini menjadi catatan penting bagi mereka yang mengaku mengikuti pendapatnya beliau, terlebih lagi jika membaca karya-karya beliau hanya setengah-setengah sehingga menghasilkan kesimpulan bahwasanya beliau adalah orang yang mudah menyalahkan orang yang berbeda dengan beliau.
Padahal sebelum beliau mengkritik lawannya, beliau melakukan penelitian mendalam seperti yang dilakukan oleh Imam Al Ghazali (Wafat tahun 505 H) meskipun keduanya berbeda dalam sebagian perkara, tetapi disisi lain ada persamaannya juga, untuk mengetahui persamaan antara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Imam Al Ghazali silahkan membaca buku yang berjudul "Al Muqaranah Bainal Ghazali Wa Ibni Taimiyah" karya Dr. Muhammad Rasyad Salim (Wafat tahun 1407 H / 1986 M), seorang peneliti asal Mesir yang terkenal meneliti dan mentahkik karya-karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ingin mengkritik suatu kelompok, beliau menelaah rujukan primer dan sekunder kelompok tersebut, contohnya adalah ketika beliau ingin mengkritik kelompok Sufi, beliau menelaah berbagai kitab dalam aqidah, tafsir, hadits dan lainnya yang dijadikan sumber primer oleh kelompok Sufi agar semakin kuat tingkat akurasi dalam menghukumi suatu kelompok dan cenderung tidak gegabah, tapi dibangun di atas analisis dan pondasi yang kuat. Jika ingin mengetahui bagaimana cara beliau mengkritik kelompok lain silahkan baca karya Syaikh Dr. Muhammad Al Arifi yang berjudul "Mauqif Ibni Taimiyah Mina Shufiyyah"
Jika ingin mengetahui makna toleransi menurut beliau, silahkan membaca karya beliau yang berjudul "Raf'ul Malam 'An A'immatil A'lam". Kitab ini membahas tentang perbedaan yang terjadi dikalangan para ulama dan apa penyebab terjadinya perbedaan. Berikut ini isi dari kitab tersebut secara ringkas
1) Pada awal pembahasan kitab tersebut, beliau memulai dengan memuji para ulama yang merupakan pewaris para Nabi dan Rasul, beliau mengatakan bahwasanya para ulama tidaklah menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam dengan sengaja.
2) Ada beberapa alasan mengapa para ulama tidaklah mengamalkan satu hadits seperti:
1) Meyakini bahwasanya hadits yang ditinggalkannya tidak pernah diucapkan Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wassallam
2) Mereka meyakini bahwasanya hal tersebut bukanlah yang dimaksud oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wassallam.
3) Mereka meyakini bahwasanya masalah tersebut sudah dihapus hukumnya.
Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan penyebab-penyebabnya secara detail tetapi karena waktu dan tempat tidak cukup, saya akan memaparkan sebagian contohnya saja (Naufal) sebagaimana yang dipaparkan oleh Syaikh Dr. Jamal Bin Mahmud Al Adeni Hafizhahullah paparkan. Sebagai contoh, dalam Mazhab Hanafi, ada syarat yang harus dipenuhi agar hadits ahad bisa diterima:
1) Rawi hadits adalah seorang ahli fiqih meskipun menyelisihi qiyas, jika rawi bukan faqih dan menyelisihi qiyas maka hadits tersebut tertolak.
2) Hadits tersebut bukan dalam konteks ma ta'umu bihil balwa (Sesuatu permasalahan yang sering terjadi)
Sebagai contoh: Dalam Mazhab Syafi'i menyentuh kemaluan membatalkan wudhu meskipun maaf seorang ibu menceboki bayinya, orang tidur menggaruk kemaluannya dan orang mandi membersihkan kemaluannya karena berangkat dari hadits Busrah Binti Shafwan:
من مس ذكره فليتوضأ
"Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya maka hendaklah berwudhu." [HR. Abu Daud dan At Tirmidzi]
Mazhab Hanafi menyatakan bahwasanya menyentuh kemaluan tidaklah membatalkan wudhu karena yang mendengarkan hadits tersebut hanya satu sahabat sehingga tidak dianggap sebagai hujjah, belum lagi menyentuh kemaluan termasuk kedalam ma ta'umu bihil balwa atau wajar secara urf, jadi urf lebih kuat dibandingkan hadits ahad.
Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwasanya terkadang ada ulama yang tidak mengamalkan hadits tertentu karena suatu alasan dan hendaklah kita selalu husnuzhan kepada mereka, dalam karyanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengajak kita untuk mengapresiasi upaya ijtihad dari para ulama dan melarang untuk memposisikan kesalahan ijtihad sebagai celah untuk menjatuhkan seorang ulama.
Dibalik banyaknya kritikan tajam yang beliau arahkan kepada pihak lain bukan semata-mata didasari atas nafsu dan kesewenang-wenangan, namun sebagai bentuk ijtihad beliau untuk menjaga kemurnian Islam. Semasa hidupnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memiliki lawan debat, salah satunya Ibnu Makhluf yang membuat beliau dipenjara dan setelah bebas beliau ditawari untuk membalas dendam tetapi beliau memaafkannya dan Ibnu Makhluf berkata:
"ما رأينا أتقى من ابن تيمية لم نبق ممكنا في السعي فيه ولما قدر علينا عفا عنا، عندئذ نزل الشيخ القاهرة وسكن بالقرب من مشهد الحسين، والخلق على اختلاف طبقاتهم يترددون وهو يقول "أنا أحللت كل من أذاني، ومن أذى الله ورسوله ينتقم منه"
"Kami tidak pernah melihat orang yang paling bertaqwa kecuali Ibnu Taimiyah. Kami pun tidak sanggup melakukan sebagaimana yang dilakukan Ibnu Taimiyah. Tatkala dia mampu membalas kami, dia malah memaafkan kami. Ketika itu Syaikhul Islam tinggal di Kairo dekat Masjid Al Husain, manusia dengan berbagai macam tingkatannya datang ke beliau dan beliau berkata, "Aku telah memaafkan semua yang pernah menyakitiku, dan barangsiapa yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya maka Allah akan menyiksanya."
Itulah salah satu sifat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, disisi lain beliau mengkritik lawannya dengan tajam tetapi beliau lakukan dengan ramah dan penuh dengan toleransi. Imam Syafi’i dahulu juga telah mencontohkan sikap kasih sayang dan toleran ketika berhadapan dengan lawan debatnya. Yunus Bin Abdul A’la ash-Shafadi menuturkan:
ما رأيت أعقل مِن الشَّافعي، ناظرته يومًا في مسألة، ثمَّ افترقنا، ولقيني، فأخذ بيدي، ثمَّ قال: يا أبا موسى، ألَا يستقيم أن نكون إخوانًا وإن لم نتَّفق في مسألة؟
:Aku tidak pernah melihat orang yang lebih berakal dari Asy Syafi’i. Suatu ketika, aku berdiskusi dan berdebat dengannya tentang suatu masalah. Lalu kami berpisah. Kemudian ia menemuiku, lalu meraih tanganku sembari berkata: “Wahai Abu Musa, tidak layaklah kita tetap bersaudara, meski kita harus berbeda dalam satu masalah?”
Semoga Allah Subhanahu Wa Ta'ala melunakkan hati kita agar kita bisa menerima kebenaran dari siapapun, kapanpun dan dimanapun.
Foto bersama Syaikh Dr. Jamal Bin Mahmud Al Adeni, salah satu pengajar di Pondok Pesantren Ihya As Sunnah, Tasikmalaya, Jawa Barat ketika daurah kitab "Iltihaf Fii Madzahibi Salaf" karya Asy Syaukani (Wafat tahun 1250 H) dan kitab "Raf'ul Malam 'An Aimmatil A'lam karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah di Masjid Baiturrahim, Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Beliau adalah pakar mazhab Syafi'i dan aqidah Atsari asal Yaman yang sudah menetap di Indonesia sejak tahun 2018.
Ustadz naufal