Terjemah artikel Alukah terkait akidah Imam para ahli tafsir, Imam Muhammad bin Jarir Al-Thabari, penulis Tafsir Al-Thabari, sepertinya gak ada miripnya dengan akidah Ahli Kalam dan Filsafat, ataupun Asyaa'irah.
__________________
Akidah Imam Al-Thabari
Imam Muhammad bin Jarir Al-Thabari adalah salah satu ulama besar dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang mengikuti manhaj dan akidah salafus shalih dalam berbagai aspek tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, prinsip-prinsip iman, dan cabang-cabangnya, termasuk sikap terhadap para sahabat serta masalah kepemimpinan.
Beliau dalam semua hal berada di atas manhaj Ahlul Hadis, yaitu manhaj golongan yang selamat (al-thaifah al-najiyah) dan kelompok yang mendapatkan pertolongan (al-firqat al-mansurah). Tidak pernah diketahui ada penyimpangan darinya, dan tafsir beliau penuh dengan apa yang telah disebutkan; bahkan tafsirnya menjadi rujukan utama dalam tafsir Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Namun, Ibnu Jarir pernah menghadapi beberapa tuduhan terkait satu atau dua permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Akidahnya yang terkenal adalah karya yang beliau tulis di akhir hidupnya di Baghdad – salah satu karya terakhirnya – dan telah diterima oleh para ulama serta imam setelahnya dengan pujian dan pengakuan [1]. Akidah ini dikenal dengan nama "Sharih al-Sunnah" atau "Syarh al-Sunnah" atau "Akidah Ibnu Jarir", dan akan dibahas lebih lanjut dalam karya-karya serta tulisan-tulisannya.
Syaikh Ibnu Taimiyah telah menyebutkan akidah ini dalam Qa'idah al-Ism wa al-Musamma dari kitab Majmu' al-Fatawa (6/187), beliau mengatakan:
(... sebagaimana yang disebutkan oleh Abu Ja'far al-Thabari dalam kitab yang ia namakan "Sharih al-Sunnah". Ia menjelaskan akidah Ahlus Sunnah yang masyhur mengenai Al-Qur'an, ru’yah (melihat Allah di akhirat), iman, takdir, para sahabat, dan yang lainnya...).
Gambaran umum tentang akidahnya diriwayatkan oleh Al-Lalaka’i dalam Syarh Ushul al-Sunnah (2/183). Beliau mengatakan:
"Telah mengabarkan kepada kami 'Ubaidullah bin Muhammad bin Ahmad - dibacakan di hadapannya - ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Qadhi Abu Bakar Ahmad bin Kamil, ia berkata: Abu Ja'far Muhammad bin Jarir berkata:
'Hal pertama yang kami mulai dalam pembahasan ini adalah tentang Kalam Allah Azza wa Jalla dan wahyu-Nya, karena hal ini termasuk bagian dari makna tauhid-Nya. Pendapat yang benar menurut kami adalah bahwa ia merupakan Kalam Allah Azza wa Jalla, bukan makhluk, bagaimanapun ia ditulis, dilafalkan, dan di tempat mana pun ia dibaca. Apakah ia berada di langit atau di bumi, di mana pun ia disimpan, di Lauh Mahfuzh tertulis, di lembaran-lembaran anak-anak yang sedang belajar, diukir di atas batu, atau ditulis di kertas, dihafal dalam hati, atau dilafalkan dengan lisan.'
Barang siapa mengatakan selain itu, atau mengklaim bahwa terdapat Al-Qur'an lain di bumi atau di langit selain Al-Qur'an yang kita baca dengan lisan kita dan kita tulis dalam mushaf-mushaf kita, atau meyakini sesuatu yang berbeda dalam hatinya, atau menyembunyikan keyakinan tersebut dalam dirinya, atau mengucapkannya dengan lisannya atau mengungkapkannya dengan sikapnya, maka dia adalah kafir kepada Allah, halal darahnya, terlepas dari Allah, dan Allah pun terlepas darinya. Sebagaimana firman Allah - Mahasuci Dia -:
> "Bahkan, ia adalah Al-Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh."
(Surat Al-Buruj: 21-22)
Dan firman-Nya - dan firman-Nya adalah kebenaran:
> "Dan jika seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia agar dia sempat mendengar Kalam Allah."
(Surat At-Taubah: 6)
Allah - Mahasuci Dia - telah memberitahukan kepada kita bahwa Al-Qur'an itu tertulis dalam Lauh Mahfuzh, bahwa ia didengar dari lisan Muhammad ﷺ, bahwa ia adalah satu Al-Qur'an yang didengar dari Muhammad ﷺ, tertulis dalam Lauh Mahfuzh, dihafal dalam hati, dan dibaca dengan lisan orang-orang tua dan muda.
Barang siapa meriwayatkan dari kami, mengisahkan tentang kami, menuduh kami, atau mengklaim bahwa kami mengatakan sesuatu selain itu, maka atasnya laknat Allah, kemurkaan-Nya, laknat para malaikat dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya amal apa pun, baik yang wajib maupun yang sunnah, dan Allah akan menyingkap aibnya serta mempermalukannya di hadapan para saksi, pada hari ketika alasan para pendosa tidak akan diterima, dan bagi mereka laknat dan tempat tinggal yang buruk.
Adapun pendapat yang benar menurut kami tentang melihatnya kaum mukmin kepada Rabb mereka pada Hari Kiamat – yang merupakan agama kami dan keyakinan yang kami anut kepada Allah, serta yang kami dapati dari Ahlus Sunnah wal Jamaah – adalah bahwa para penghuni surga akan melihat-Nya sebagaimana telah shahih dalam berita-berita dari Rasulullah ﷺ.
Pendapat yang benar menurut kami dalam perkara yang diperselisihkan mengenai perbuatan hamba, kebaikan, dan keburukan mereka adalah bahwa semua itu berasal dari Allah. Allah-lah yang menetapkan dan mengatur segalanya. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali dengan kehendak-Nya, dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi kecuali atas izin-Nya. Milik-Nya-lah penciptaan dan perintah.
Pendapat yang benar menurut kami adalah bahwa iman terdiri dari ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang. Pendapat ini didukung oleh berita yang berasal dari sekelompok sahabat Rasulullah ﷺ, dan itulah yang dipegang oleh orang-orang yang beragama dan berkeutamaan.
Adapun pernyataan tentang lafaz hamba dalam membaca Al-Qur’an, aku tidak mengetahui adanya atsar dari sahabat terdahulu atau dari tabi’in yang mengikutinya, kecuali dari seseorang yang dalam ucapannya terdapat penyembuhan dan kecukupan – semoga rahmat Allah tercurah kepadanya dan keridhaan-Nya menaunginya – serta dalam pengikutnya terdapat petunjuk dan hidayah, yang kedudukannya di sisi kami setara dengan para imam terdahulu, yaitu Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Sesungguhnya Abu Isma’il Al-Tirmidzi [2] pernah menceritakan kepadaku, ia berkata: Aku mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal berkata: "Orang-orang yang mengatakan bahwa lafaz Al-Qur'an adalah makhluk (lafazhiyah) adalah Jahmiyah." Sebagaimana firman Allah - Azza wa Jalla: "Hingga mereka mendengar Kalam Allah." (QS. At-Taubah: 6) Dari siapa mereka mendengar?
Adapun pernyataan tentang apakah nama (asma’) itu sama dengan yang dinamai (musamma) atau berbeda darinya, maka ini termasuk kebodohan yang baru muncul, yang tidak ada atsarnya untuk diikuti, atau perkataan dari imam untuk didengarkan. Membahas hal ini adalah celaan, sedangkan diam darinya adalah keutamaan. Cukuplah bagi seseorang mengetahui dan berkata tentangnya seperti yang Allah - Azza wa Jalla - firmankan, yaitu:
> "Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama apa saja kamu menyeru, maka Dia memiliki asmaul husna." (QS. Al-Isra’: 110)
> "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu." (QS. Al-A’raf: 180)
Serta mengetahui bahwa Rabb-nya adalah Dia yang:
> "Bersemayam di atas Arsy. Milik-Nya apa yang ada di langit dan di bumi, serta apa yang ada di antara keduanya dan di bawah tanah." (QS. Thaha: 5-6)
Barang siapa melampaui itu, maka dia telah merugi dan binasa.
Maka sampaikanlah wahai kalian yang hadir, kepada mereka yang jauh dari kami sehingga tidak mendengar, atau yang dekat sehingga dapat mendengar:
Bahwa agama yang kami anut mengenai hal-hal yang telah disebutkan adalah sebagaimana yang telah kami jelaskan kepada kalian sesuai dengan apa yang telah kami tetapkan. Barang siapa yang meriwayatkan hal yang berbeda dari itu, atau menisbatkan kepada kami selainnya, atau mengklaim bahwa kami berkata selainnya, maka dia adalah pendusta yang melampaui batas, yang akan memikul dosa dari Allah dan kemurkaan-Nya. Atasnya kemurkaan Allah dan laknat-Nya di dunia dan akhirat, dan wajib baginya untuk ditempatkan pada posisi yang telah dijanjikan oleh Rasulullah ﷺ kepada orang-orang sejenisnya, dan dihadapkan pada hukuman yang telah diberitahukan oleh Nabi Allah ﷺ bahwa Allah akan menjatuhkan kepada orang-orang yang serupa dengannya. [3]
Catatan kaki:
[1] Di antara mereka yang meriwayatkan akidah ini adalah: Al-Lalaka'i dalam Syarh Ushul al-Sunnah, Qiwam al-Sunnah dalam Al-Hujjah fi Bayan al-Mahajjah, Ibnu Taimiyah dalam Al-Hamawiyah al-Kubra, Abu Ya'la dalam Ibtal al-Ta'wilat, Ibnu al-Qayyim dalam Ijtima' al-Juyush al-Islamiyyah, Al-Dzahabi dalam Al-'Uluw li al-'Ali al-Ghaffar, dan lainnya yang tidak dapat saya sebutkan saat ini.
[2] Yang dimaksud adalah Imam yang terpercaya dan hafizh, Muhammad bin Isma'il bin Yusuf al-Sulami al-Tirmidzi (190-280 H). Ia bukanlah Abu Isa al-Tirmidzi, penulis kitab Sunan. Ia diriwayatkan oleh para ulama kitab Sunan dan lainnya, serta dipuji dan diakui kepercayaannya oleh para imam. Bahkan, Al-Dzahabi berkata: "Telah tetap dan tidak diragukan lagi kepercayaan dan keimamannya." Lihat Tahdzib al-Tahdzib (9/62), Tahdzib al-Kamal (1174), Thabaqat al-Hanabilah (1/279), Siyar A'lam al-Nubala' (13/242), dan Tarikh Baghdad (2/42), serta lainnya.
[3] Bagian ini adalah potongan dari akidahnya yang diriwayatkan oleh Al-Lalaka'i dengan sanad yang shahih. Sisanya tercetak dalam Sharih al-Sunnah, serta tersebar di berbagai tempat dalam tafsirnya yang kaya dengan pembahasan serupa dan bahkan lebih banyak lagi, yaitu Jami' al-Bayan.
Sumber artikel: https://www.alukah.net/culture/0/78485/%D8%B9%D9%82%D9%8A%D8%AF%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%A5%D9%85%D8%A7%D9%85-%D8%A7%D9%84%D8%B7%D8%A8%D8%B1%D9%8A/#ixzz8xgA7Gn5m
Ustadz noor akhmad setiawan