Hukum makan ulat dalam Islam bergantung pada jenis ulat, cara memperoleh ulat tersebut, dan konteks konsumsinya. Berikut adalah penjelasan secara umum:
1. Ulat sebagai Bagian dari Makanan
Ulat dalam Buah atau Sayuran: Jika ulat ditemukan di dalam buah atau sayuran yang halal dimakan, hukumnya adalah halal selama ulat tersebut tidak terpisah dari buah/sayurannya ketika dimakan. Namun, jika ulat tersebut dipisahkan, maka perlu dipastikan bahwa ulat itu sendiri dianggap suci dan halal.
Dalam mazhab Syafi'i, ulat dalam makanan yang berasal dari tempat yang halal (seperti buah-buahan) dihukumi mengikuti hukum asal makanannya, yakni halal.
2. Ulat Sebagai Makanan Tersendiri
Ulat termasuk hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat.
Mazhab Maliki: Membolehkan makan ulat selama berasal dari tempat yang suci dan tidak menimbulkan mudarat.
Mazhab Syafi’i dan Hambali: Melarang makan ulat jika disengaja dikonsumsi secara terpisah, karena dianggap menjijikkan (khabis).
Mazhab Hanafi: Lebih cenderung memakruhkan makan ulat.
3. Ulat Sebagai Sumber Protein
Jika ulat dibudidayakan atau dikonsumsi sebagai sumber makanan (seperti ulat sagu atau ulat tepung), maka hukumnya tergantung pada:
Cara Penyembelihan: Jika hewan tersebut memerlukan penyembelihan (misalnya, ukurannya besar), maka harus disembelih secara syar’i. Jika tidak memerlukan penyembelihan (karena kecil), maka hanya perlu dipastikan bahwa ulat itu berasal dari lingkungan yang suci.
Tidak Menimbulkan Bahaya: Jika ulat aman dikonsumsi dan tidak berbahaya bagi tubuh, maka sebagian ulama membolehkan.
Kesimpulan
Hukum makan ulat tergantung pada kondisi dan keyakinan masing-masing mazhab. Sebaiknya, konsultasikan dengan ulama setempat atau otoritas agama yang lebih memahami konteks lokal untuk mendapatkan kepastian hukum.
https://www.facebook.com/share/1XoBTQ1jMR/