Sesatnya Pemahaman yang Mengingkari Hadits Ahad
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
“Sungguh sudah terkenal perbuatan sahabat dan tabi’in dengan dasar hadits Ahad dan tanpa penolakan. Maka telah sepakat mereka untuk menerima hadits Ahad."
(Fathul Bari, 13/234)
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah berkata :
“Hadits Ahad, jika para ummat menerima sebagai dasar amal dan membenarkannya, maka dapat memberikan ilmu yakin (kepastian) menurut jumhur ulama. Dan hadits Ahad termasuk bagian hadits mutawatir, sedangkan bagi kalangan ulama Salaf tidak ada perselisihan dalam masalah ini."
(Syarah Aqidah Ath Thahawi, hal. 399-400)
Al-'Allamah Abul Hasan Al-Mirdawi Al-Hanbali rahimahullah berkata :
وَذَكَرَ ابْنُ حَامِدٍ فِي مَكَان آخَرَ : إنْ جَحَدَ أَخْبَارَ الْآحَادِ كَفَرَ كَالْمُتَوَاتِرِ عِنْدَنَا ، يُوجِبُ الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ . فَأَمَّا مَنْ جَحَدَ الْعِلْمَ بِهَا ؛ فَالْأَشْبَهُ لَا يَكْفُرُ . وَيَكْفُرُ فِي نَحْوِ الْإِسْرَاءِ وَالنُّزُولِ وَنَحْوِهِ مِنْ الصِّفَاتِ .
“Ibnu Haamid menyebutkan di tempat lain, bahwa jika seseorang mengingkari hadits Ahad, maka dia kafir seperti mengingkari hadits Mutawatir menurut kami (Hanabilah). Maka hadits Ahad mewajibkan ilmu dan amal. Adapun orang yang mengingkari ilmu berdasar hadits Ahad, maka pendapat yang benar adalah tidak kafir. Dan seseorang bisa menjadi kafir dengan mengingkari seperti peristiwa Isra’ dan Mi’raj, hadits nuzulnya Allah dan sifat-sifat Allah yang lainnya.”
(Al-Inshaf fi Ma’rifatir Rajih minal Khilaf, 16/83)
Hadits Mutawatir, jika dibandingkan dengan Hadits Ahad, jumlahnya sangat sedikit. Karena mayoritas hadits yang tercatat dalam kitab-kitab hadits adalah Hadits Ahad, dengan berbagai macam jenisnya. Oleh karena itu, barang siapa yang menolak mengamalkan Hadits Ahad, ia telah sengaja menolak mayoritas Sunnah Rasûlullâh shallallâhu alaihi wasallam.
Dan termasuk perkara muhdats, menjadikan Hadits Ahad sebagai dalil dalam ibadah, namun menolaknya dalam perkara Aqidah. Padahal antara ibadah dan Aqidah, sama-sama dari Allâh subhânahu wa ta`ala, dan perkara ghaib juga. Bahkan dalam sebagian ibadahpun disebutkan pahalanya sekian dan sekian, yang jelas itu perkara yang "zhanni" dan harus ditolak, jika memakai kaidah bahwa Hadits Ahad ditolak dalam perkara Aqidah karena zhanni.
Bagaimana mungkin seseorang yang mengaku beriman, meninggalkan perkara-perkara Aqidah yang tercantum dalam Hadits Shahih walaupun Ahad, kemudian memakai akalnya sendiri untuk membuat kaidah-kaidah baru dalam Aqidah? Padahal perkara Aqidah banyak yang merupakan perkara Ghaib.
Jama'ah ahli kalam menyatakan :
“Hadits Ahad bukanlah hujjah dalam Aqidah. Yang bisa dijadikan sandaran dalil dalam Aqidah hanya Al-Qur'an dan Hadits Mutawatir.”
Ironinya para mutakallimin ialah mereka mengingkari sifat istiwa` Allah dengan berdalil pada sebuah syair yang digubah oleh orang nashrani. Syair itu adalah syairnya Al-Akhthal :
قد استوى بشر على العراق * من غير سيف ولا دم مهراق
Pertanyaannya bagaimana bisa bait syair Al-Akhthal seorang nashrani bisa dijadikan hujjah untuk memahami ayat Allah??
Bait syair ini bukan lagi khabar ahad, dan bukan lagi khabar syadz. Tapi khabar dusta tidak diterima apa lagi dijadikan sandaran untuk memahami ayat.
Dari sini kita tahu, betapa rusaknya para ahli kalam yang menolak berargumen dengan Hadits Ahad dalam Bab Aqidah.
Allâhul Musta`ân