Perdebatan antara pendukung Ibnu ‘Arabī dengan pengkritiknya terkadang mencapai level tantangan mubahalah. Pembela Ibnu ‘Arabī sangat yakin kewaliannya, pengkritik Ibnu ‘Arabī juga sangat yakin bahwa ia tokoh sesat, kafir, zindiq, mulhid dan ahlul bid’ah.
Jika sudah sama-sama yakin seperti ini, memang adu argumentasi nyaris tidak ada manfaatnya. Karena itu, solusi yang ditawarkan terkadang adalah mubāhalah. Yakni sama-sama berdoa kepada Allah supaya tahu siapa yang dilaknat oleh-Nya. Jika setelah mubāhalah salah satu pihak tewas, maka saat itu diyakini bahwa dia pasti berada di pihak yang sesat. Jika setelah mubāhalah dia hidup, maka beliau diyakini berada dalam pihak yang benar.
Data mubāhalah semacam ini terkadang sangat penting dan diperlukan bagi orang awam yang tidak mungkin masuk pada pelik-pelik perdebatan pemikiran Ibnu ‘Arabī. Jangankan orang awam, level ustaz saja bahkan juga hampir mustahil jika dituntut untuk mengkaji seluruh pemikiran Ibnu ‘Arabī sampai level menguasai sempurna yang konon menurut Brockelmann terdokumentasi dalam 150-an karya.
Nah, data tentang mubāhalah antara pengkritik Ibnu ‘Arabī dengan pecintanya, ternyata sudah pernah terjadi di masa lalu. Mubāhalah ini terjadi bukan pada orang biasa, tapi bahkan dilakukan oleh ulama besar yakni Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī dengan salah satu pecinta Ibnu ‘Arabī. Kisahnya begini.
Suatu saat terjadilah perdebatan antara Ibnu ‘Ḥajar al-‘Asqalānī dengan salah satu pecinta Ibnu ‘Arabī. Perdebatan semacam ini sudah biasa terjadi berkali-kali dan itu didengarkan langsung oleh al-Sakhāwī, murid Ibnu ‘Ḥajar al-‘Asqalānī. Tentu saja tema perdebatan adalah menilai pemikiran-pemikiran Ibnu ‘Arabī.
Perdebatan saat itu demikian panas sampai Ibnu ‘Ḥajar mengucapkan kata-kata yang tidak enak tentang Ibnu ‘Arabī. Pecinta Ibnu ‘Arabi kemudian tersinggung dan mengancam akan melaporkan ke penguasa dengan tuduhan mengucapkan kata-kata buruk terhadap orang saleh. Ibnu ‘Ḥajar menantang, “Tidak usah lapor-lapor penguasa. Ayo mubahalah saja. Jarang ada dua orang bermubahalah sementara salah satunya berdusta kecuali dia yang akan kena musibah”. Pencinta Ibnu ‘Arabī ini setuju.
Kemudian Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī mengajari pecinta Ibnu ‘Arabī tersebut kalimat mubāhalah yang berbunyi,
Artinya,
“Ya Allah, jika Ibnu ‘Arabī dalam kesesatan, maka laknatlah aku dengan laknat-Mu.”
Pecinta Ibnu ‘Arabī itupun mengucapkannya. Kemudian Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī juga berdoa,
Artinya,
“Ya Allah, jika Ibnu ‘Arabī dalam petunjuk, maka laknatlah aku dengan laknat-Mu ”
Setelah itu mereka berdua berpisah. Mubāhalah ini terjadi di bulan Ramadan. Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī mengumumkan kepada hadirin yang menyaksikan majelis mubahalah itu bahwa pihak yang berada dalam kebatilan akan terkena dampak mubahalah tidak lebih setahun dihitung sejak hari mubahalah.
setahun dihitung sejak hari mubahalah.
Ternyata hanya sekitar dua bulan kemudian, yakni di bulan Żul Qa‘dah, pecinta Ibnu ‘Arabi itu dalam perjalanan menuju rumahnya merasakan sesuatu yang halus bergerak menjalar pada kakinya entah apa itu. Belum sampai rumah matanya sudah buta! Begitu pagi hari dia sudah menjadi mayat! Muafa: bisa jadi sesuatu halus yang menjalar pada kaki orang tersebut adalah ular berbisa. Sebab memang ada ular berbisa yang membuat orang menjadi buta jika kena bisanya lalu tewas sesudahnya.
Silakan baca kisah ini di kitab al-Jawāhir wa al-Durar fī Tarjamati Syaikhi al-Islām Ibni Ḥajar karya al-Sakhāwī. Itu kitab yang ditulis untuk khusus biografi Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī. Penulisnya adalah murid langsung Ibnu Ḥajar al-‘Asqalānī.
***
Nah, setelah mengetahui kisah mubahalah ini, bagaimana pendapat Anda?
Ustadz muafa