IMAM TIDAK IKUT TANDA WAQAF YANG ADA DI AL-QUR’AN, BAGAIMANA HUKUMNYA?
Ada yang tanya begini, “Ustadz, banyak imam-imam dan syaikh-syaikh terkenal tidak mengikuti tanda-tanda waqof yang ada di mushaf, bagaimana itu?”
Ini betul. Memang banyak para masyaikh, qori' dan imam-imam besar yang tidak mengikuti semua tanda waqof yang ada di mushaf. Padahal mereka adalah para ulama yang sangat mumpuni dalam ilmu-ilmu al-Quran, termasuk ilmu Waqof dan Ibtida'. Kenapa demikian?
Pertama-tama saya katakan, justru kitalah yang harus berbaik sangka dan mengembalikan hal tersebut kepada keilmuan mereka yang tinggi. Ini point penting yang harus kita camkan, yaitu husnuzhon kepada ulama
Ada beberapa hal yang menjadi alasan para ulama ketika waqof tidak sesuai dengan yang ada di mushaf, di antaranya:
1). Prinsip dalam ilmu Waqof dan Ibtida'
Ada satu kaidah yang sudah lumrah dan masyhur diketahui bersama dalam waqaf dan ibtida; prinsip yang sering digaungkan para ulama dan sudah “diracik” oleh imam Ibnul Jazari dalam satu bait di Muqoddimah Jazariyyah yang berbunyi:
وليس في القرآن من وقف وجب # ولا حرام غير ما له سبب
"Tidak ada waqof yang hukumnya wajib di dalam al-Quran, dan sebaliknya, tidak ada juga yang dihukumi haram, kecuali ada penyebab lainnya".
Karena tidak adanya kewajiban yang bersifat syar'i, maka ada keleluasaan dalam bab ini. Kita bisa waqof di mana saja didasari hal-hal tertentu, walaupun di dalam mushaf tidak ada tanda waqofnya. Atau sebaliknya, ada tanda waqof, tapi tidak waqof dan melanjutkan bacaannya. Bersyukurlah pada Allah atas kebebasan dan keleluasaan ini.
الحمد لله الذي جعل في الأمر سعة
2). Perbedaan tanda dan tempat waqof di setiap mushaf.
Kalau diperhatikan dan ditinjau kembali, kita akan temukan perbedaan dalam penentuan tempat tanda waqof dalam setiap mushaf, tergantung dari instansi atau lajnah yang mencetak dan mengawasi pencetakan mushaf tersebut. Mushaf Mesir beda dengan Mushaf Madinah, dan keduanya beda dengan Mushaf Indonesia misalnya. Apalagi kalau ke Barat sedikit di Maroko, Mauritania dan beberapa tempat lainnya; kita akan menemukan tanda waqof yang berbentuk sama dari awal al-Quran sampai akhir, karena mereka mengikuti waqof yang ditentukan oleh imam al-Habthi (الهَبْطي) sehingga dikenal dengan istilah Al-Wuqûful Habthiyyah (الوقوف الهبطية).
Selain tandanya, tempat waqofnya juga banyak bedanya, bahkan ada yang aneh menurut banyak ulama timur. Jadi, kalau kita mendengar qori dari Arab, maka jangan sesuaikan dengan tanda waqof Mushaf Indonesia, begitu pula sebaliknya. Apabila mendengar qori dari Maroko, maka jangan aneh dan kaget apabila waqofnya tidak seperti kita. Karena penentuan tempat dan tanda waqof itu tergantung dari para ulama yang mengawasi pencetakan mushaf tersebut.
Intinya, standar setiap mushaf dalam waqof mengikuti ijtihad para ulama atau lajnah yang mempunyai kaedah dan standar masing-masing, sesuai dengan kesepakatan mereka. Perbedaan ini adalah hal yang biasa terjadi. Toh tidak akan mengakibatkan hal fatal dalam penambahan atau pengurangan terhadap al-Quran. Hanya sekedar tanda waqof demi memudahkan kita dalam membaca dan memahami makna dari ayat Alloh secara sesempurna mungkin.
3). Ijtihad Tiap Ulama
Jika menemukan qori atau ahli al-Quran dari Indonesia, tapi dia tidak mengikuti tanda waqof yang ada di Mushaf Standar Indonesia (MSI), maka jangan kaget. Kenapa demikian? Selama beliau adalah ulama dan kita mengakui keilmuannya dalam ilmu-ilmu al-Quran, terutama ilmu Tafsir dan Waqof & Ibtida', maka jangan mengingkari, apalagi menuduh mereka salah. Karena mereka ulama, maka mereka berhak untuk berijtihad berdasarkan latar belakang keilmuan mereka. Mungkin menurut mereka di sinilah tempat yang baik untuk waqof. Atau sebaliknya, tempat waqof yang ada di mushaf ini tidak terlalu cocok menurut mereka, sehingga mereka tidak waqof walaupun ada tanda waqof di mushaf.
Kalau kita kaji kitab-kitab rujukan dalam ilmu Waqof & Ibtida', maka akan kita temukan standar yang berbeda. Berbeda dalam beberapa point; Dalam penentuan tempat, dalam penentuan tanda, kode yang digunakan untuk menandai waqof, penamaan waqofnya dll.
Selama kita banyak tidak tahunya, maka lebih baik jangan terlalu banyak mengingkari, apalagi yang kita ingkari adalah ulama, apalagi kalau kita sampai menuduh mereka salah dan bodoh. Lebih baik diam dan mengkaji lebih dalam dengan terus belajar dan bertanya.
4). Keadaan terdesak, seperti kehabisan nafas
Tidak perlu merasa aneh jika ada seorang alim yang waqaf dalam satu bacaan padahal tidak ada tandanya, khususnya jika ayatnya panjang. Bisa jadi karena faktor nafas. Sebab kekuatan nafas kita berbeda-beda, maka kemampuan kita dalam membaca ayat yang panjang juga pasti akan berbeda. Banyak ayat-ayat yang panjang dan tidak ada tanda waqof sama sekali di tengahnya. Tentu kalau nafasnya tidak panjang, maka akan sulit membacanya sampai akhir. Apa solusinya? Para ulama di dalam kitab Waqof & Ibtida' tidak melewatkan point ini begitu saja. Mereka menyebutkan bahwa dalam kasus ini dibolehkan waqof di tengah-tengah ayat yang panjang walaupun tidak ada tanda waqof disana. Mereka menggunakan istilah Yu'fa (dimaafkan), yang menunjukkan kebolehan dan keleluasaan. Ini bisa menjadi salah satu pertimbangan juga.
Point penting!
Namun alangkah lebih baik untuk mengikuti tanda-tanda waqof di dalam mushaf. Sebab mushaf-mushaf tersebut sudah melalui penelitian yang mendalam oleh para ulama yang ahli dalam bidang Waqof dan Ibtida'. Kita sudah diberikan kemudahan, tidak perlu lagi bersusah payah berijtihad kembali kalau kita belum ahli, karena mereka sudah mewakili kita semua dengan keahlian mereka. Alhamdulillah.
Terutama kepada kita yang masih awam akan ilmu Waqof, maka harus mengikuti tanda-tanda yang sudah digariskan para ulama kita. Ingat, kita harus kembalikan kepada ahli dalam setiap ilmu.
فاسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
Jangan sampai kita "ngasal", apalagi dalam bab al-Quran yang sangat agung dan mulia.
#MAAL
Kamis, 6 Jumadil Ula 1446H/7 November 2024M Rumah Tahfidz Mesir Jammaaliyyah, Cairo, Mesir.
Foto: Wisuda santri RTM bersama Prof. DR. Abdul Fattah Al-Awwâri, Guru Besar Tafsir & Ilmu Al-Quran Fak. Ushuludin Cairo dan mantan dekannya hafidzohulloh.