Kamis, 05 September 2024

Kisah di bawah ini adalah sepenggal kecil dari kisah perjuangan para penyeru Agama Allah.

Kisah di bawah ini adalah sepenggal kecil dari kisah perjuangan para penyeru Agama Allah. 

Kisah Ibnu Saud dan Istrinya:
https://www.facebook.com/share/p/reSkPFkXiDCM8TMu/?mibextid=oFDknk

Kalau kita baca dari awal kisah, sungguh sangat menakjubkan bagaimana perjuangan para ulama dalam berdakwah. 

Ujian yang bertubi-tubi, gangguan, ancaman, dan ketakutan. Namun, tidak membuat mereka mundur dan menyerah. Mereka tetap bersabar dan teguh dalam menghadapi semuanya. 

Kami coba meringkas kisah tersebut dengan mengharap pertolongan dari Allah Ta'ala. 

Para Penyeru Agama Allah

Aqidah kaum muslimin pada masa sahabat dan tabi'in adalah shahih, shorih (jelas) dan diketahui, yaitu apa yang terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, serta apa yang Rasulullah tinggalkan kepada mereka.

Akidah sudah jelas pada masa sahabat, tabi'in dan empat abad pertama. Meskipun pada akhir abad-abad ini muncul beberapa perbedaan dan kemunculan sekte-sekte seperti Khawarij, Qadariyah, dan Syiah, tetapi agama tetap kuat dan Islam tetap jaya. 

Orang-orang jahat bersembunyi dan tidak menampakkan kejahatannya. Namun, ketika abad-abad yang mulia itu berlalu, muncullah berbagai kejahatan dan para pengikut kesesatan. Mereka secara terbuka menampakkan kesesatannya, seperti Jahmiyah, Mu'tazilah, Batiniyah, Syiah, dan sekte-sekte sesat lainnya seperti Sufiyah dan Quburiyah serta berbagai aliran batil lainnya. 

Islam tetap kuat pada masa kekhalifahan Umayyah, para ulama memiliki peran penting dan dihormati, serta mereka berusaha melawan pemikiran-pemikiran ini. 

Para zindiq (orang-orang yang menyebarkan kebid'ahan) dihukum mati pada masa kekhalifahan Umayyah, seperti pembunuhan terhadap Jahm bin Safwan dan lainnya ketika mereka secara terbuka menunjukkan kebid'ahannya. 

Kemudian datanglah kekhalifahan Abbasiyah yang juga memiliki kekuatan, terutama pada awal kekhalifahan ini, di mana Islam memiliki wibawa dan para ulama memiliki kedudukan yang tinggi. Orang-orang jahat tidak bisa dengan bebas menampakkan kejahatan mereka. 

Namun, ketika kekhalifahan Abbasiyah berakhir, muncullah Khalifah Ma'mun al-Abbasi, putra Harun al-Rasyid, yang memberontak melawan saudaranya al-Amin, dia membunuhnya, dan mengambil alih kekuasaan.

Dia adalah seorang yang kuat, cerdas, serta juga seorang yang berilmu. Namun, orang-orang sesat mempengaruhinya, dan dia mengambil mereka sebagai penasihat seperti Ibn Abi Du'ad dan Bisyr al-Marisi. 

Mereka membujuknya untuk menerima pemikiran dan akidah sesat mereka, hingga akhirnya dia terpengaruh oleh mereka.

Mereka menghiasinya dengan menerjemahkan buku-buku asing dan mendirikan sebuah institusi penerjemahan yang disebut "Dar al-Hikmah", yang sebenarnya adalah "Dar al-Niqmah" (tempat kecelakaan). 

Buku-buku Yunani diterjemahkan yang di dalamnya terdapat kesesatan dan keburukan, sehingga akidah-akidah sesat masuk melalui jalan ini setelah buku-buku tersebut diterjemahkan. Seperti yang disebutkan oleh Syaikh Taqiyuddin, bahwa ketika buku-buku Yunani diterjemahkan, keburukan semakin meningkat.

Akhirnya, mereka berhasil meyakinkan Ma'mun untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk, dan dia pun menerima pemikiran ini. Mereka memegang kendali atas dirinya meskipun dia kuat dan tegas. 

Sesungguhnya, orang-orang jahat tidak boleh diremehkan sama sekali, kewajiban kita adalah menjauhkan pengaruh mereka, jika tidak, mereka akan menyebarkan keburukannya dan melemahkan orang-orang yang kuat.

Ma'mun pun menerima pemikiran ini, dan dia ingin memaksa orang-orang untuk berpendapat bahwa Al-Qur'an adalah makhluk—na'udzubillah, padahal kalam Allah adalah sumber pertama syariat. Mereka ingin mencabutnya dari umat dengan mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk dan bukan kalam Allah.

Namun, para imam yang dipimpin oleh Imam Ahmad, berdiri teguh melawan pemikiran sesat ini. Mereka menolak untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Beberapa dari mereka disiksa seperti Imam Ahmad, dan ada yang dibunuh, tetapi mereka bersabar dan melawan kaum Mu'tazilah, sehingga Allah meneguhkan agama inii dengan perantara mereka, dan dengan perantara mereka pula akidah yang benar ditegakkan serta mengalahkan para mukholaf.

Setelah Ma'mun, datanglah saudaranya al-Mu'tashim bin Harun al-Rasyid, kemudian al-Wathiq bin al-Ma'mun, yang melanjutkan kebijakan ini dan ingin memaksa orang-orang untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. 

Mereka semua menyiksa Imam Ahmad dan memukulnya, tetapi sang imam tidak menyerah pada mereka. Bahkan, Imam Ahmad selalu berkata: "Al-Qur'an adalah kalam Allah." Ketika mereka berkata kepadanya, dia menjawab: "Tunjukkan kepada saya dari Al-Qur'an atau dari Sunnah dalil yang mendukung perkataan kalian." Mereka kemudian memukulnya lagi, hingga Imam Ahmad pingsan karena pukulan itu, namun dia tetap teguh, sampai datanglah masa al-Mutawakkil bin Harun al-Rasyid, di mana Allah menyelamatkan Ahlus Sunnah melalui dirinya dan memenangkan kebenaran, serta menekan ahli bid'ah. Kemudian al-Mutawakkil dibunuh oleh orang-orang jahat.

Keadaan terus melemah hingga datanglah khalifah terakhir dari Bani Abbas yang mengangkat Syiah sebagai wazir (menteri), mereka lebih jahat daripada Jahmiyah. Dia mengangkat Ibn al-Alqami dan Nashiruddin al-Tusi, yang menyebabkan serangan Mongol dari timur yang menyerbu wilayah kaum Muslimin, membunuh khalifah, dan membuang buku-buku Islam ke sungai Tigris. Mereka membunuh ratusan ribu kaum Muslimin, menyerbu wilayah kaum Muslimin, namun pada akhirnya Allah mengalahkan mereka, dan beberapa dari mereka masuk Islam.

Agama Islam tetap kuat dan mulia. Allah senantiasa menyiapkan orang-orang yang akan menolong, melindungi, dan membelanya. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah muncul di masa yang penuh dengan kegelapan, di mana berbagai sekte seperti Sufi, Jahmiyah, Mu'tazilah, Quburiyah, dan Syiah saling mempengaruhi umat. 

Dunia Islam kala itu terombang-ambing dalam gelombang fitnah. Pada saat-saat seperti itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah muncul, yang mendalami kitab-kitab para ulama salaf, mempelajari kitab-kitab sesat dan menyimpang, serta memahami syubhat yang menjadi dasar pemikiran mereka. 

Beliau pun mulai berdakwah kepada Allah, menulis kitab-kitab, mengajar, diasingkan, dan dipenjara. Namun, semua itu tidak menghentikannya dari jihad—baik jihad dengan pedang, jihad dengan pena, maupun jihad dengan lisan dan hujjah.

Hingga akhirnya, Allah mengirimkan murid-murid yang membawa ilmu beliau seperti Ibnu Qayyim, Ibnu Katsir, dan Adz-Dzahabi, serta imam-imam besar lainnya. Dakwahnya pun menyebar dan fajar dakwah pun terbit, membantah syubhat dan kesesatan. Semoga Allah merahmati mereka semua.

Kemudian datanglah masa-masa yang di mana madzhab Ahlus Sunnah melemah, bid’ah pun semakin banyak dan kesesatan menyebar setelah masa Syaikhul Islam dan murid-muridnya. 

Datanglah masa kemandekan, kebekuan, dan taqlid buta. Wilayah Najd saat itu tidak dikenal, bahkan dilupakan. 

Wilayah itu dianggap sebagai pedalaman atau hampir seperti pedalaman, berupa desa-desa, ladang-ladang, dan pedalaman. Tidak ada yang menginginkan wilayah tersebut. 

Setiap daerah dikuasai oleh seorang amir yang menguasai wilayahnya secara mandiri tanpa bergantung pada amir lainnya. 

Seorang amir di Arqa tidak tunduk pada amir di Diriyah meskipun mereka saling berdekatan. Setiap wilayah dianggap sebagai kerajaan yang merdeka.

Para ulama Hanbali di Najd fokus pada fiqih, mencatat fiqih, menyusunnya, menulisnya, dan mengajarkannya. Namun dalam hal akidah, mereka mengikuti akidah Asy'ariyah dan Maturidiyah. Mereka juga memiliki tasawuf, bid’ah, dan berbagai penyimpangan lainnya seperti halnya di wilayah-wilayah lain. 

Bahkan, kebodohan di kalangan mereka sangat banyak, terutama di pedalaman. Memang ada ulama di desa-desa, namun mereka hanya ulama fiqih saja. Mereka pergi ke Syam untuk belajar kepada ulama Hanbali di sana dan membawa pulang kitab-kitab serta ilmu fiqih dalam madzhab Imam Ahmad. Ini adalah hal yang baik, tetapi mereka tidak terlalu memperhatikan akidah. 

Masyarakat dibiarkan dalam kondisi yang penuh dengan tasawuf, quburiyah, dan kejahatan. Para tukang sihir dan dukun pun bebas, dan suku-suku mengatur diri mereka sendiri dengan hukum adat.

Dalam kondisi seperti itu, Allah menampilkan Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab. Allah memberinya kecerdasan dan ketajaman sehingga dia dapat memahami keadaan masyarakat pada masa itu. 

Sejak kecil, dia sudah membaca, mengamati, dan mempelajari kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim serta kitab-kitab para ulama salaf lainnya—hanya dia seorang diri. 

Namun, dia tidak puas hanya dengan berada di tempatnya, dia pun melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah lain. Dia pergi ke Makkah untuk berhaji dan belajar dari ulama-ulama di sana. 

Dia juga pergi ke Madinah untuk berziarah ke Masjid Nabawi dan belajar dari ulama-ulama di sana. Kemudian, dia pergi ke Al-Ahsa dan belajar dari ulama-ulama di sana. 

Setelah itu, dia pergi ke Irak, menuju Basrah, dan bertemu dengan ulama-ulama di sana, belajar dari mereka, dan menyalin kitab-kitab. Dia sebenarnya ingin pergi ke Syam, tetapi tidak bisa melakukannya. 

Akhirnya, dia kembali ke negerinya dengan perasaan sedih dan kecewa terhadap kondisi masyarakat saat itu. 

Dia tidak bisa diam seperti para ulama pada zamannya, dan mulai berdakwah dengan penuh ilmu dan petunjuk.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab memulai dakwahnya di kota Huraymila, tempat ayahnya yang menjadi qadhi di sana. 

Namun, dia tidak merasa nyaman tinggal di sana, lalu pindah ke Uyaynah yang berada di bawah pemerintahan Ibn Muammar. Dia menawarkan dakwahnya kepada amir Uyaynah, yang menerima dakwahnya dan mendukungnya. Dakwah pun mulai berjalan. 

Dia mulai menghilangkan kemungkaran dengan meruntuhkan kubah yang berada di atas kubur Zaid bin Khattab di Uyaynah, yang sering dikunjungi oleh masyarakat. Dia juga menegakkan hukuman zina dengan merajam seorang pezina yang mengaku bersalah.

Ketika berita ini sampai kepada Amir Al-Ahsa, Ibn 'Urair al-Khalidi, dia marah kepada Ibn Muammar dan mengancam akan memutuskan gaji yang diberikan kepadanya jika dia tidak mengusir sang dai dari wilayahnya. 

Ibn Muammar kemudian mengabarkan kepada sang syaikh tentang ancaman tersebut. 

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berusaha menenangkannya dengan berkata, 

"Apa yang ada di sisi Allah dalam bentuk rezeki lebih baik bagimu daripada apa yang diberikan oleh fulan. Engkau harus bertawakkal kepada Allah. Allah—Jalla wa 'Ala—akan mencukupimu dan menjauhkanmu dari ketergantungan tersebut."

Namun, Ibn Muammar tidak merasa puas dan meminta sang syaikh untuk meninggalkan wilayahnya. Sang syaikh pun meninggalkan Uyaynah. 

Kemana Syaikh harus pergi? Syaikh pergi ke Diriyah, yang saat itu berada di bawah pemerintahan Amir Muhammad bin Saud. Amir bin Saud seperti para amir lainnya yang hidup di masa itu, mengikuti tradisi dan mendengar tentang sang dai yang datang ke Uyaynah, sehingga mereka waspada terhadapnya. 

Namun, sang syaikh pergi ke muridnya yang bernama Ibn Suwaylim di Diriyah dan tinggal sebagai tamu di rumahnya tanpa sepengetahuan orang lain. Keberadaannya dirahasiakan.

Namun, istri Amir mengetahui kedatangan sang syaikh. Allah telah memberinya hidayah dan dia telah mendengar serta menerima dakwah sang syaikh. 

Dia berkata kepada suaminya, Amir Muhammad bin Saud, 

"Ulama ini yang datang ke negerimu adalah rezeki yang Allah kirimkan kepadamu. Manfaatkanlah sebelum orang lain mengambilnya." 

Dia terus meyakinkannya hingga Amir Muhammad bin Saud setuju dengan pendapatnya. 

Lalu dia berkata, "Panggil dia untuk datang kepadaku." 

Istrinya menjawab, "Tidak, jika engkau memanggilnya, orang akan mengira engkau ingin menyiksanya atau membunuhnya. Tetapi pergilah kepadanya agar orang-orang menghormatinya."—lihatlah kebijaksanaan dan kecerdasannya, rahimahallah—. 

Lalu sang Amir pun pergi ke rumah Ibn Suwaylim. 

Ibn Suwaylim merasa takut dan khawatir akan keselamatan sang syaikh, dan ketika sang Amir datang, ketakutannya semakin bertambah. 

Namun, sang Amir masuk ke rumah dan memberi salam kepada sang syaikh dan mendengarkan apa yang disampaikan syaikh, kemudian Allah membuka hati sang Amir untuk menerima dakwah ini. 

Sang Amir pun berjanji akan mendukung dan mendampingi sang syaikh, dan mereka berdua berjanji untuk menjalankan hal ini bersama-sama.

Sejak saat itu, dakwah pun mulai bangkit di Diriyah. Sang syaikh mulai mengajar, memberi nasihat, dan menulis. Para pelajar pun mulai berdatangan kepadanya. Dia mendapatkan tempat berlindung dan dukungan, serta mulai menulis surat kepada wilayah-wilayah lain untuk mengajak mereka kepada Allah. 

Setelah itu, mereka membentuk pasukan. Mereka berperang di jalan Allah dan menyerang wilayah-wilayah di sekitar mereka. Allah memberikan kemenangan kepada mereka atas wilayah-wilayah tersebut, sehingga daerah-daerah itu masuk di bawah kekuasaan Amir Muhammad bin Saud. 

Sebelumnya, dia hanya menjadi amir di Diriyah, tetapi kemudian menjadi amir atas seluruh Najd. Wilayah-wilayah tersebut tunduk di bawah kekuasaannya, dan tentara jihad di jalan Allah pun terbentuk, serta dakwah mulai berjalan.

Pada masa itu, orang-orang jahat mulai menyesatkan masyarakat dengan mengatakan bahwa Ibnu Abdul Wahhab ingin mengubah agama kaum Muslimin, bahwa dia membawa agama baru, bahwa dia mengkafirkan kaum Muslimin, dan berbagai tuduhan lainnya.

Penduduk Qasim surat kepadanya untuk menanyakan hal ini. Ini adalah tindakan yang baik, karena seharusnya kita tidak langsung mempercayai desas-desus, melainkan bertanya langsung kepada orang yang bersangkutan. 

Mereka menulis surat kepadanya untuk menanyakan tentang akidahnya, karena telah tersebar fitnah bahwa ia adalah seseorang yang ingin mengkafirkan, membunuh orang-orang dan mengubah agama mereka serta berbagai tuduhan lainnya.

Syaikh kemudian menulis risalah ini untuk menjelaskan akidahnya, bahwa akidahnya adalah akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan bahwa dia tidak membawa ajaran baru. Semua tuduhan yang disematkan padanya adalah dusta. 

Dia menulis risalah ini sebagai tanggapan terhadap syubhat-syubhat yang diarahkan padanya, yang juga dapat ditemukan dalam kitab Ad-Durar As-Saniyyah, salah satunya adalah kitab Kasyf Asy-Syubuhat di mana Syaikh menjawab syubhat-syubhat yang dilontarkan terhadapnya.

Risalah ini pada dasarnya adalah jawaban atas pertanyaan tentang akidahnya. Di Qasim juga ada ulama, dan mereka berhubungan dengan ulama Hanbali di Syam. 

Ketika berita tentang sang syaikh sampai kepada mereka, dan berbagai tuduhan terhadapnya, mereka menulis surat untuk menanyakan akidahnya. Sang syaikh kemudian menulis risalah ini untuk menjelaskan akidahnya dan apa yang sebenarnya dia yakini, serta untuk membantah semua tuduhan yang diarahkan padanya.

Begitulah keadaan berdakwah kepada Allah. Mereka yang menyeru kepada Allah pasti akan mendapatkan ujian berupa gangguan, ancaman, dan ketakutan, namun mereka bersabar dan teguh dalam menghadapi semua itu serta menjawab syubhat-syubhat yang menghadang jalan mereka. 

Hal ini menekankan bahwa seorang dai haruslah seorang yang berilmu, yang mampu menjawab syubhat, menjelaskan kebenaran dari kebatilan, dan memiliki bekal ilmu yang cukup.

Syaikh Ibnu Abdul Wahhab tidak memulai dakwah yang agung ini kecuali setelah dia merasa siap, setelah dia menuntut ilmu, bertemu dengan para ulama di berbagai negeri yang dia kunjungi, dan membaca kitab-kitab. 

Setelah itu, dia mulai berdakwah dengan bekal ilmu dan hujjah yang kuat. 

Allah menolongnya berkat ketulusan niatnya kepada Allah, bahwa dia tidak menginginkan kedudukan di bumi, tidak pula kerusakan, harta, atau kehormatan, tetapi dia hanya menginginkan keridhaan Allah. 

Dia ingin menolong agama ini, menjelaskan kebenaran, dan memberi nasihat kepada makhluk. Dia merasa kasihan kepada mereka agar tidak binasa, sementara dia berada di tengah-tengah mereka dan memiliki pengetahuan tentang kebenaran. 

Dia merasa bahwa dia harus berdakwah kepada Allah, menyeru kepada kebaikan, dan mencegah kemungkaran. 

Dia merasa tidak ada pilihan lain selain melakukan hal tersebut—semoga Allah merahmatinya. 

— Sumber : Syarah Aqidah al-Imam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab at-Tamimi rahimahullah hlm. 7-14 oleh Syaikh Prof. Dr. Shalih Fauzan al-Fauzan, Cet. Dar Minhaj Riyadh KSA
Andre Satya Winatra
Tembilahan, 25 Shafar 1446 H

📌 Silakan Ikuti Tinta Ilmu dan Fawaid Ilmiyyah

📂 Channel Whatsapp:
https://chat.whatsapp.com/HIdbkDrXWTCDHNs0GaaQeX

📁 Channel Telegram:
https://t.me/catatanAndreSatyaWinatra