Rabu, 25 September 2024

ISTINBATH MADZHAB SYAFI'I TENTANG HUKUM SHALAT FARDHU BERJAMAAH

ISTINBATH MADZHAB SYAFI'I TENTANG HUKUM SHALAT FARDHU BERJAMAAH

Oleh : Ustadz Muafa

Ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah yang berpendapat hukum berjamaah untuk shalat fardhu adalah sunnah muakadah, maka dalil-dalilnya adalah sebagai berikut :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلَاةَ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yuusuf berkata; Telah mengabarkan kepada kami Maalik, dari Naafi', dari 'Abdullah bin 'Umar, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda  

"Shalat berjamaah lebih utama dibandingkan shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat."
(HR. Bukhari no. 645)

Dalam hadits di atas, Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa shalat berjamaah itu lebih afdal daripada shalat sendirian sebanyak 27 derajat. Artinya, shalat berjamaah itu punya keutamaan, shalat sendirian juga punya keutamaannya. Hanya saja, shalat berjamaah lebih utama. Hal ini menunjukkan shalat sendirian itu sah. Jadi, hukum shalat berjamaah itu bukan fardu 'ain, tetapi sunnah muakadah. 

Tidak benar jika hadits ini ditakwilkan hanya berlaku pada orang yang punya uzur, karena orang yang punya uzur pahalanya ditulis sama oleh Allah dengan orang yang tidak punya uzur. Tidak benar juga jika hadits ini ditakwilkan bahwa hanya berlaku untuk kasus shalat nafilah, karena shalat nafilah yang utama justru di rumah sendirian, bukan berjamaah di masjid.

Dalil lain yang menguatkan adalah riwayat shahabat yang dihukum muqotho’ah yang shalat di rumahnya sendiri. Ada tiga shahabat yang tidak ikut perang tabuk sehingga dihukum Rasulullah ﷺ dengan hukuman muqotho’ah, yakni diputus hubungan, tidak diajak bicara, tidak disapa, tidak dijawab salamnya dan tidak diramahi. Mereka adalah Ka’ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Muroroh bin Ar-Robi’. Dari tiga orang ini, Ka’ab bin Malik adalah yang paling muda dan paling kuat. Dua kawannya lebih lemah. Jadi Ka’ab bin Malik masih ikut shalat berjamaah sementara dua kawannya shalat di rumah masing-masing. Ka’ab bin Malik bercerita :

فَأَمَّا صَاحِبَايَ فَاسْتَكَانَا وَقَعَدَا فِي بُيُوتِهِمَا يَبْكِيَانِ وَأَمَّا أَنَا فَكُنْتُ أَشَبَّ الْقَوْمِ وَأَجْلَدَهُمْ فَكُنْتُ أَخْرُجُ فَأَشْهَدُ الصَّلَاةَ مَعَ الْمُسْلِمِينَ (صحيح البخاري (13/ 328)

“…Adapun dua orang teman saya, maka mereka merasa lumpuh dan bersimpuh sedih di rumahnya sambil menangis. Adapun saya, maka saya adalah yang paling muda di antara mereka dan yang paling tegar. Saya tetap keluar dari rumah, pergi ke masjid untuk menghadiri shalat berjamaah bersama kaum muslimin lainnya…” 

Jadi, riwayat di atas menunjukkan ada shahabat yang shalat di rumah dan didiamkan oleh Rasulullah ﷺ. Hal ini menunjukkan shalat berjamaah itu hukumnya sunnah muakadah bukan fardhu 'ain. 

Adapun semua argumentasi yang mengatakan fardhu 'ain, maka semuanya bisa dibantah. Tentang ayat yang memerintahkan shalat khouf berjamaah, maka itu konteksnya adalah taklim. Maksudnya, mengajarkan bagaimana cara shalat berjamaah dalam kondisi perang. Bukan perintah berjamaahnya, tetapi cara shalat khoufnya yang dijadikan fokus. Lagipula, saat perang justru berjamaah itu yang lebih merealisasikan keamanan karena bisa saling menjaga. Berbeda halnya jika shalat sendiri-sendiri, karena itu malah membuat rentan terkena serangan musuh. Jadi, ayat tentang shalat khouf adalah ayat taklim shalat khouf yang dilakukan secara berjamaah, dan itu kondisi khusus yang tidak bisa disamakan dengan semua kondisi secara mutlak.

Tentang ayat yang memerintahkan untuk menjawab panggilan da’iyallah, maka maksud da’iyallah adalah Nabi Muhammad. Jadi ayat ini berisi perintah mengimani Nabi Muhammad ﷺ, tidak berbicara tentang shalat berjamaah.

Tentang ayat yang memerintahkan agar rukuk bersama orang-orang yang rukuk, maka maknanya adalah lakukan shalat. Tidak bermakna wajib shalat berjamaah. Karena orang yang shalat sendiri, maknanya dia juga melakukan rukuk sebagaimana orang-orang lain yang shalat, baik dia shalat berjamaah maupun sendiri. 

Tentang hadits bahwa Rasulullah ﷺ ingin membakar rumah orang-orang yang tidak ikut shalat berjamaah di masjid, termasuk celaan kepada munafik yang tidak bisa datang shalat subuh dan isya, maka itu maksudnya adalah ingin membakar rumah orang-orang munafik. Jadi, kemarahan Rasulullah ﷺ adalah karena kemunafikannya, bukan karena tidak shalat berjamaahnya. Buktinya dalam beberapa hadits, Rasulullah ﷺ mendiamkan shahabat yang shalat sendirian di rumah. 

Tentang Rasulullah ﷺ yang mengatakan bahwa siapapun yang mendengar adzan, lalu tidak datang ke masjid untuk shalat berjamaah, maka dia dianggap tidak shalat, termasuk hadits orang buta yang tidak diberi keringanan untuk tidak ke masjid, maka yang dimaksud adalah shalat jumat. Bukan shalat fardhu. Shalat jumat memang wajib berjamaah, tidak sah munfarid.

Tentang atsar Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa shalat berjamaah adalah sunnah Nabi ﷺ, sementara siapa yang meninggalkan sunnah Nabi ﷺ, maka dia akan tersesat, maka itu maksudnya adalah menekankan keutamaan shalat jamaah dan serius melawan berbagai kesulitan yang menghalanginya, bukan menunjukkan shalat berjamaah itu fardhu 'ain. 

Tentang atsar 'Ali yang mengatakan bahwa orang yang rumahnya di dekat masjid dan menjadi tetangga masjid, jika shalatnya tidak di masjid maka shalatnya tidak dianggap, maka itu maksudnya adalah shalatnya tidak sempurna. Bukan tidak sah, tetapi tidak sempurna. Shalat munfaridnya tetap sah, hanya saja kurang sempurna. 

Itu semua adalah argumentasi pendapat ulama Asy-Syafi’iyyah yang mengatakan bahwa hukum berjamaah untuk shalat lima waktu adalah sunnah muakadah. Pendapat ini meyakini bahwa pendapat madzhab Asy-Syafi’i untuk kasus ini memang sunnah muakadah, bukan fardhu 'ain.

Adapun ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah yang berpendapat hukum berjamaah untuk shalat fardhu adalah fardhu kifayah, maka dalilnya adalah hadits berikut ini :

أَخْبَرَنَا سُوَيْدُ بْنُ نَصْرٍ قَالَ أَنْبَأَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ زَائِدَةَ بْنِ قُدَامَةَ قَالَ حَدَّثَنَا السَّائِبُ بْنُ حُبَيْشٍ الْكَلَاعِيُّ عَنْ مَعْدَانَ بْنِ أَبِي طَلْحَةَ الْيَعْمُرِيِّ قَالَ قَالَ لِي أَبُو الدَّرْدَاءِ أَيْنَ مَسْكَنُكَ قُلْتُ فِي قَرْيَةٍ دُوَيْنَ حِمْصَ فَقَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ 

Telah mengabarkan kepada kami Suwaid bin Nashr dia berkata; Telah memberitakan kepada kami 'Abdullah bin Al-Mubaarak, dari Zaa`idah bin Qudaamah dia berkata; Telah menceritakan kepada kami As-Saa`ib bin Hubaisy Al-Kalaa'iy, dari Ma'daan bin Abu Thalhah Al-Ya'muriy dia berkata :

"Abu Ad Dardaa` bertanya kepadaku 'Di mana rumahmu?' Aku menjawab, 'Di Desa Duwain Himsha." Lalu ia berkata, 'Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda :

"Tidaklah tiga orang yang tinggal di suatu desa atau pegunungan tidak didirikan shalat berjamaah di tengah-tengah mereka, kecuali mereka akan dikalahkan oleh setan. Hendaklah engkau melaksanakan shalat jamaah, karena serigala memangsa kambing yang sendirian." 
(HR. Nasa'i no. 847)

Dari redaksi تقام فيهم, diambil kesimpulan bahwa hukum shalat fardhu berjamaah adalah fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain. Seandainya dikatakan لا يقيمون (mereka tidak mendirikan), bisa diterima hukumnya fardhu 'ain, karena kata يقيمون menunjukkan mereka semua mendirikan shalat jamaah tersebut. Namun ketika dikatakan لا تقام فيهم (tidak didirikan di tengah-tengah mereka), itu bisa berarti yang mendirikannya hanya dua orang dari mereka, tidak ketiga-ketiganya. Karena ungkapan تقام فيهم itu hanya menunjukkan shalat jamaah dilaksanakan, tidak menunjukkan semua mengerjakan shalat jamaah.

Jadi, yang ditekankan Rasulullah ﷺ adalah adanya jamaah, bukan semuanya disuruh berjamaah. Rasulullah ﷺ juga mengatakan bahwa desa yang tidak ditegakkan jamaah berarti sudah dikuasai setan. Hal ini menunjukkan shalat berjamaah itu bukan sekadar sunnah, tetapi wajib. Hanya saja wajibnya adalah kifayah dengan bukti bahwa yang ditekankan nabi adalah tegaknya jamaah, bukan semuanya berjamaah. 

Semua dalil yang mengatakan bahwa shalat berjamaah itu sunnah, dibantah dengan riwayat ini karena dalalah perintah dalam hadits Abu Ad-Dardaa’ ini adalah perintah keras dengan bukti vonis dikuasai setan, yang tidak mungkin difahami kecuali kewajiban. Semua dalil yang dipakai ulama yang mengatakan shalat berjamaah itu fardhu 'ain juga bisa diterima (atau minimal menguatkan) dari sisi wajibnya, bukan dari sisi ‘ainnya. Hanya saja, wajibnya itu tidak bisa dikatakan ‘ain, karena banyak bukti yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ mendiamkan sahabat yang shalat sendiri-sendiri dan mengabsahkan status shalatnya. Jadi, hal ini menunjukkan status hukum berjamaah untuk shalat 5 waktu adalah fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain atau sunnah muakadah.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

والصحيح أنها فرض كفاية وهو الذى نص عليه الشافعي في كتاب الإمامة .

"Dan yang benar adalah, bahwa hukumnya (shalat jamaah) itu fardhu kifayah. Itulah yang ditetapkan oleh Imam Asy-Syaafi'iy dalam kitab Al-Imamah."
(Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab, 4/184)

Allahu a'lam
Pengetahuan islam