Jumat, 27 September 2024

Para Perawi dan Ulama dari Kalangan Mawali (Mantan budak non Arab) atau Keturunannya

Di dalam sejumlah kitab Ulumul hadis, seperti Ma`rifah Ulumil Hadis karya al-Hakim, dan Muqaddimah fi `Ulumil hadis karya Ibnu Shalah, ketika membahas tentang Para Perawi dan Ulama dari Kalangan Mawali (Mantan budak non Arab)  atau Keturunannya, disebutkan sebuah dialog antara Imam az-Zuhri dengan Abdul Malik bin Marwan, salah satu Khalifah Bani Umayyah, tentang  para ulama sentral di berbagai kawasan Islam kalau itu.

Imam az-Zuhri berkata, “Suatu ketika aku berkunjung ke Syam. Saat di sana aku bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan dan ia bertanya kepadaku, ‘Kamu datang dari mana?’
 ‘Dari Mekkah’, jawabku.
‘Siapa sayyid (tuan/tokoh utama) bagi penduduk Mekkah yang kamu tinggalkan di sana?’, tanyanya.
‘Atha’ bin Abi Rabah’, jawabku.
‘Dia orang Arab atau dari Mawali?’, tanyanya lagi.
‘Dia dari Mawali’, jawabku.
‘Dalam hal apa ia menjadi sayyid bagi penduduk Mekkah?’ Tanya Abdul Malik lagi.
‘Dalam kesalehan dan ilmu agama’, jawabku.
Abdul Malik bin Marwan pun berkata, ‘Orang yang bagus komitmen agamanya dan mendalam keilmuannya sangat layak untuk menjadi sayyid.’ 

‘Siapa yang menjadi sayyid bagi penduduk Yaman?’, tanyanya lagi,
‘Thawus bin Kaisan', jawabku.
 ‘Dia orang Arab atau dari Mawali?’, tanyanya lagi.
‘Dia dari Mawali’, jawabku.

‘Siapa yang menjadi sayyid di Mesir?’, tanyanya lagi.
‘Yazid bin Abi Habib’, jawabku.
‘Dia orang Arab atau dari Mawali?’, tanyanya lagi.
‘Dia dari Mawali’, jawabku.

‘Siapakah yang menjadi sayyid bagi penduduk Syam?’, tanya Abdul Malik lagi.
‘Mak-hul bin Abdillah’, jawabku.
‘Apakah dia dari Arab atau Mawali?’, tanyanya.
‘Dia dari non Arab. Awalnya seorang budak Nubiya berkulit hitam, kemudian dimerdekakan oleh seorang perempuan dari Hudzail', jawabku.

‘Siapa yang menjadi tuan bagi penduduk Jazirah (di Irak)?’, tanya Abdul Malik lagi.
‘Maimun bin Mihran?’, jawabku.
‘Dia orang Arab atau dari mawali?', tanyanya lagi
‘Dia dari Mawali', jawabku.

‘Siapakah yang menjadi sayyid bagi penduduk Khurasan?’, tanya Abdul Malik lagi.
‘Adh-Dhahhaak bin Muzahim', jawabku
‘Dia orang Arab atau dari Mawali?.’
‘Dia dari Mawali.’

‘Siapakah yang menjadi sayyid bagi penduduk Bashrah?’, tanya Abdul Malik lagi.
‘Al-Hasan al-Bashri', jawabku.
‘Dia orang Arab atau dari Mawali?', tanyanya.
‘Dia dari Mawali', jawabku.

‘Siapakah yang menjadi sayyid bagi penduduk Kufah?’, tanya Abdul Malik lagi.
‘Ibrahim an-Nakha’i', jawabku.
‘Dia orang Arab atau dari non Arab?’, tanyanya.
‘Dia orang Arab’, jawabku.
Mendengar jawaban terakhirku ini, Abdul Malik bin Marwan dengan lega berkata, ‘Akhirnya kamu membuatku lega. Demi Allah, orang-orang mawali non Arab akan menjadi sayyid bagi orang-orang Arab di negeri ini, hingga mereka akan menyampaikan khutbah dan ceramah di mimbar-mimbar, sedangkan orang-orang Arab duduk di bawah menyimak.’

Maka aku katakan kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin. Demikianlah agama ini (Islam). Barangsiapa komitmen dalam menjaga ajaran-ajarannya maka ia akan menjadi sayyid. Barangsiapa menyia-nyiakannya dan mengabaikannya, maka ia akan tumbang.”

Terlepas dari status kisah di atas yang menurut Imam al-Dzahabi sebagai munkarah (Siyar A’laam an-Nubalaa’: 5/86), isi dialog dalam kisah di atas mengambarkan apresiasi dan penghormatan besar umat Islam kala itu terhadap para mantan Budak non Arab dan para keturunannya disebabkan kesalehan dan keilmuan mereka. Banyak dari mereka menempati posisi sentral dalam keilmuan Islam di berbagai kawasan penting dunia Islam. 
Status mereka sebagai mantan budak tidak menjadi penghalang bagi siapapun untuk mengambil ilmu dari mereka dan memuliakan mereka. 

Jika kondisi di atas terjadi lebih dari 1000 tahun dahulu kala, sedangkan saat ini kita menghabiskan energi meributkan masalah nasab, atau menjadikan darah biru menjadi pertimbangan penting dalam memposisikan seseorang, bukannya ini sebuah kemunduran?
Ustadz Ahmad ikhwani