Dalam debat legendaris antara Pembela Islam versus Ahmadiyyah yang diselenggarakan di Jakarta tahun 1934, Abubakar Ayyub (tokoh Ahmadiyyah) nyaris mempermalukan Syaikh A. Hassan yang terkenal sebagai Ahli Hadits tersohor.
Syaikh A. Hassan pada salah satu sesi debat berusaha membatalkan klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad dengan mengatakan :
“Satu lagi daripada kepalsuan Mirza ialah pengakuannya ia sebagai nabi, padahal ada beberapa banyak hadits yang menerangkan tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad.”
“Sekalian hadits-hadits itu sudah diputar-putar artinya oleh kaum Ahmadiyyah Qadian, cuma ada satu hadits yang belum pernah saya dengar dibantah oleh Kaum Ahmadiyyah.”
Syaikh A. Hassan kemudian menyebutkan hadits yang dimaksud yang artinya sebagai berikut :
“Di hari Rasulullah meninggal, bumi berteriak, katanya: ‘Ya Allah apakah badanku ini Engkau kosongkan daripada diinjak oleh kaki-kaki nabi-nabi sampai hari kiamat? Maka firman Allah kepada bumi itu, katanya: ‘Aku akan jadikan di atas badanmu manusia yang hatinya seperti hati nabi-nabi.’”
Syaikh A. Hassan menjelaskan :
“Hadits ini dengan terang menunjukkan, bahwa sesudah Nabi Muhammad tidak ada sebarang Nabi lagi (yang ada hanyalah manusia ‘yang hatinya seperti hati nabi-nabi’). Lantaran itu, nyatalah dustanya Mirza tentang pengakuannya ia sebagai Nabi.”
Abubakar Ayyub mencoba membantah.
Dia bertanya: “Hadits itu riwayat siapa?”
Syaikh A. Hassan menjawab: “Tidak tahu.”
Abubakar Ayyub merasa di atas angin karena Syaikh A. Hassan gagal menunjukkan riwayat siapa hadits itu.
Dia mencecar Syaikh A. Hassan lagi dengan bertanya:
“Di kitab mana ada tersebut (hadits itu)?”
Syaikh A. Hassan menjawab:
“Tidak tahu. Apakah tuan suka pakai atau tidak? Tuan boleh tolak, kalau tidak suka.”
Abubakar Ayyub makin merasa unggul. Ini kesempatan dia untuk merobohkan nama besar Syaikh A. Hassan yang terkenal sebagai ahli hadits tersebut.
Berlagak mengajari, Abubakar Ayyub kemudian mengatakan kepada Syaikh A. Hassan:
“Tentu saya tolak lantaran hadits yang tidak ketahuan riwayat dari mana diambil, dari pasar mana, apakah dari kitab sharaf, atau kitab nahwu, atau dengar-dengar orang berkata di jalan-jalan.”
Syaikh A. Hassan terdiam sejenak.
Para pendukungnya dari pihak Pembela Islam juga terdiam dan sepi, tidak bersuara apa-apa. Mungkin dalam hati mereka berpikir keras, bagaimana mungkin guru mereka yang terkenal biasanya sangat teliti dalam membawakan hadits, namun dalam debat sepenting ini sampai teledor berargumen dengan hadits yang dia sendiri tidak tahu siapa yang meriwayatkannya dan dicuplik dari kitab apa.
Sebaliknya, pendukung pihak Ahmadiyyah bersorak. Mereka menertawakan rapuhnya argumentasi Syaikh A. Hassan.
Namun sorak sorai pendukung Ahmadiyyah itu tidak berlangsung lama.
Sejurus kemudian, Syaikh A. Hassan bangkit dari kursinya. Dengan lantang dia berkata:
“Hadits yang dikata-kata oleh Tuan Abubakar Ayyub dan diejek-ejeknya itu tersebut dalam kitab nabinya sendiri (Ghulam Ahmad). Ini dia!”
Keadaan berubah 180 derajat. Pihak Pembela Islam bersorak dengan gemuruh.
Pihak Ahmadiyyah terdiam seribu bahasa.
Belum selesai keterkejutan pihak Ahmadiyyah, Syaikh A. Hassan melanjutkan argumentasinya:
“Hadits itu tersebut di Kitab Tuhfah Baghdad pagina (halaman) 11. Senjata makan tuan!!”
“Sekarang saya harap Tuan Abubakar Ayyub tanya kepada Nabinya darimana ia ambil itu hadits. Dan perlu pula ia tanya kepada Nabinya, bagaimana bumi bicara kepada orang, karena hadits itu bukan hadits Nabi, karena bumi berteriak itu, ialah di waktu Rasulullah sudah wafat. Jadi sudah tentu seorang lain yang dengar omongan bumi, dan juga jawaban Allah itu tentu didengar orang. Siapa dia? Tanyalah kepada Nabi Tuan.”
Perkataan Syaikh A. Hassan tersebut terasa perih di ulu hati pendukung-pendukung Ahmadiyyah saat itu. Mereka merasa dipermalukan dengan telak, padahal beberapa saat sebelumnya mereka merasa akan mempermalukan Syaikh A. Hassan.
Abubakar Ayyub mencoba mengelak:
“Itu Hadits boleh jadi tersebut dalam Kanzul Ummal, tetapi saya tidak bawa kitabnya.”
Syaikh A. Hassan menyanggah lagi:
“Hadits itu apakah tidak cukup buat menunjukkan kepalsuan Mirza?”
Abubakar Ayyub mengelak lagi:
“Lantaran ada lain hadits yang menunjukkan ada nabi, maka dengan hadits ini tak dapat dikata tidak ada nabi lagi sesudah Nabi Muhammad.”
Syaikh A. Hassan membantah lagi dengan argumen pamungkas:
“Hadits yang Mirza bawakan itu dengan terang menyebut, bahwa Nabi tidak akan ada lagi. Yang akan ada, hanya orang-orang yang hatinya seperti Nabi.”
“Kalau perkataan yang begini terang Tuan mau putar-putar, saya ulangi, saya minta diadakan juri.”
“Saya heran apa sebab Ahmadiyyah takut diadakan juri. Kalau Ahmadiyyah merasa benar, mengapa takut kepada juri. Juri tidak akan makan orang. Juri itu buat keadilan seperti voorzitter menjaga keamanan. Kalau Ahmadiyyah tidak palsu, mari adakan juri. Lihatlah saya, saya merasa benar, jadi saya berani. Mengapa Ahmadiyyah tidak berani sepeti saya?”
(selesai nukilan)
Sumber :
Verslag Debat di Gang Kenari tanggal 3 – 6 Nopember 1934
persis.or.id | sigabah.com