Keilmuan Seseorang Bisa Diukur dari Pilihan Kata yang Digunakannya ketika Mengajarkan Ilmu Syar’iy
Ketika seseorang menyampaikan atau mengajarkan ilmu syar’iy, maka kita dapat mengukur keilmuannya dari pilihan kata yang dia gunakan atau untaian kalimat yang dia paparkan.
Ini bahkan juga berlaku kepada kitab-kitab para ulama'. Kita bisa mengetahui kitab apa saja yang menjadi ashl dari kitab tersebut, yaitu kitab sebelumnya yang dijadikan landasan lalu dikembangkan pembahasannya oleh kitab tersebut, dan kita juga bisa mengetahui kitab apa saja yang mempengaruhi penulis kitab tersebut ketika menuliskan kitabnya.
Misalnya, kitab Akhsharul-Mukhtasharat karya Ibnu Balban al-Hanbaliy, sangat bertumpu pada kitab Zadul-Mustaqni' karya Abun-Naja al-Hajjawiy. Akan tetapi, kitab Akhsharul-Mukhtasharat tidak hanya meringkas kitab Zadul-Mustaqni', tetapi ia menambahkan berbagai tambahan faidah dan quyud yang bahkan itu tidak ditemukan dalam kitab-kitab fikih Hanbaliy lainnya yang lebih tebal seperti ar-Raudhul-Murbi' karya al-Buhutiy.
Dari sini kita mengetahui bagaimana keilmuan Ibnu Balban al-Hanbaliy, penulis kitab Akhsharul-Mukhtasharat tersebut.
Contoh lainnya, kitab al-Iqna' li-Thalibil-Intifa' karya Abun-Naja al-Hajjawiy itu sangat bagus dalam aspek taqsim masa'il, dan kita bisa menilai bahwa beliau mendapatkannya dari kitab al-Mustaw'ib karya as-Samurriy. Ini cuma dari satu aspek, yaitu taqsim masa'il. Masih banyak aspek lainnya, yang kemudian kita dapat mengetahui dari mana saja kitab al-Iqna' tersebut bertumpu, seperti dari kitab al-Muqni', at-Tanqih, al-Muharrar, al-Furu', dan kitab-kitab lainnya.
Dari sini kita mengetahui dari mana kitab tersebut berasal dan kitab apa saja yang mempengaruhi penulis kitab tersebut. Ini penting, agar kita mengetahui bahwa apa yang disampaikan oleh penulis adalah melanjutkan bangunan ilmiah yang sudah ada dari para ulama' generasi terdahulu, dan agar kita mengetahui keutamaan dari penulis terutama dalam masalah-masalah yang merupakan hasil tahqiq dan hasil ijtihad original dari beliau.
Contoh lainnya, ketika pekan ini kami mengajarkan kitab Ushulul-Iman fiy Dhau'il-Kitab was-Sunnah kepada para santri kami di Al-Mughni Center, maka para ulama' penulis kitab tersebut menyebutkan sebuah kalimat ringkas yang sangat indah tentang al-Qur'an, yaitu
فالقرآن كله في التوحيد وحقوقه وجزائه، وفي شأن الشرك وأهله وجزائهم
"Maka al-Qur'an semuanya adalah tentang tauhid, tentang hak-haknya, dan tentang balasannya, dan juga tentang syirik, tentang pelakunya, dan tentang balasan kepada mereka."
Kalimat ini tidak dinisbatkan kepada siapa pun oleh para ulama' penulis kitab tersebut, karena memang sifat dari kitab ini adalah kitab yang ringkas, dan juga konteksnya di sini adalah mereka sedang hendak menyampaikan poin tersebut secara ringkas.
Tetapi, kita mengetahui bahwa kalimat tersebut diambil dari kalimat Ibnul-Qayyim dalam kitab beliau Madarijus-Salikin. Dari sini kita mengetahui bahwa setiap pilihan kata atau untaian kalimat yang digunakan oleh para penulis kitab Ushulul-Iman tersebut tidaklah sembarangan, tetapi itu adalah hasil rangkuman dan ringkasan dari ilmu yang telah diajarkan oleh para ulama' sebelumnya.
Demikian pula orang yang mengajarkan ilmu syar'iy. Kita bisa mengukur apa saja kitab yang menjadi landasan ketika dia mengajarkan ilmu syar'iy tersebut. Faidah yang diucapkannya tersebut ada di kitab mana, berasal dari kitab mana, atau rangkuman dan ringkasan dari kitab mana. Dan faidah mana yang merupakan hasil ijtihadnya sendiri, hasil usahanya dalam mentahqiq masalah tersebut, dan hasil kesimpulan dari telaah yang dia lakukan.
Bayangkan sekarang jika ada orang yang mengajarkan ilmu syar'iy, mendudukkan dirinya sebagai pengajar, mengadakan kajian di mana-mana, bahkan safari dakwah ke luar kota, untuk mengajarkan ilmu syar'iy dan menjawab berbagai pertanyaan dari kaum muslimin tentang berbagai masalah agama, tetapi dia tidak bisa baca kitab Arab gundul, dan itu berarti kajiannya selalu berlandaskan pada kitab terjemahan.
Maka kita katakan, bahwa kita bisa mengetahui kadar keilmuan orang tersebut dari ucapan-ucapan yang dia ucapkan ketika mengajarkan ilmu syar'iy tersebut. Akan langsung terlihat apakah dia menguasai bidang tersebut atau tidak, dan akan langsung terlihat bacaan apa saja yang dia jadikan landasan dan bacaan apa saja yang belum dia kuasai dan belum dia pahami sama sekali.
Bayangkan sekali lagi sekarang bahwa ada seseorang yang sudah mendudukkan diri sebagai pengajar dan mengadakan kajian di mana-mana, tetapi dia tidak bisa baca kitab Arab gundul. Aneh sekali memang, tetapi ini sudah mulai banyak bermunculan di waktu-waktu belakangan ini.
Itu berarti dia tidak bisa menggali kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab kaidah tafsir dan kitab-kitab 'ulumul-Qur'an, ketika ada satu ayat al-Qur'an yang ingin dia pahami dan ingin dia ajarkan.
Itu berarti dia tidak bisa menggali kitab-kitab syarh hadits dan kitab-kitab hadits yang belum ada terjemahannya (untuk membandingkan berbagai matan dari hadits tersebut), ketika ada satu hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang ingin dia pahami dan ingin dia ajarkan.
Itu berarti dia tidak bisa menggali kitab-kitab mushthalah hadits dan kitab-kitab tentang biografi para perawi hadits dan kitab-kitab yang memuat tentang 'ilal, ketika ada satu hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang ingin dia ketahui derajatnya (shahih atau tidak) dan ingin dia ajarkan.
Itu berarti dia tidak bisa menggali kitab-kitab fikih muthawwalat dan kitab-kitab ushulul-fiqh dan kitab-kitab qawa'id fiqhiyyah, ketika ada satu masalah fikih yang ingin dia pahami dan dia ajarkan.
Itu berarti dia tidak bisa menggali kitab-kitab sirah dan membedakan mana atsar yang shahih dan yang dha'if atau bahkan palsu, ketika ada satu episode sirah yang ingin dia pahami dan dia ajarkan.
Dan masih banyak lagi bidang-bidang ilmu syar'iy lainnya, yang dia tidak akan bisa menelaah banyak dalam bidang tersebut kalau cuma bermodalkan kitab terjemahan.
Dan apalagi jika dia menjawab berbagai pertanyaan agama dari kaum muslimin. Keilmuan seseorang akan sangat terlihat ketika dia menjawab pertanyaan, dalil mana saja yang dia pahami, matan apa saja yang dia hafal atau pahami. Sekarang bayangkan orang yang tidak bisa menghafal matan karena tidak bisa baca kitab Arab gundul, lalu tidak bisa mengakses kitab-kitab tafsir dan syarh hadits, lalu tidak bisa mengakses kitab-kitab yang mensyarah matan tersebut jika ada permasalahan yang belum dia pahami. Dari mana dia akan menjawab pertanyaan agama dari orang-orang? Dari keilmuannya yang selama ini hanya berlandaskan kitab terjemahan?
Apakah kepada orang yang seperti ini kita akan melandaskan pemahaman agama kita? Apakah kepada orang yang seperti ini kita akan mengambil ilmu agama kita?
Hendaknya bagi yang masih melakukan praktik-praktik di atas, yaitu mendudukkan diri sebagai pengajar tetapi belum bisa baca kitab Arab gundul, untuk memiliki rasa malu dan rasa takut. Yaitu, malu dan takut kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Abu Bakr radhiyallahu 'anhu berkata,
أي سماء تظلني، وأي أرض تقلني، إذا قلت في كتاب الله ما لا أعلم
"Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan menopangku, jika aku berbicara tentang Kitabullah apa yang aku tidak ketahui." [al-Mushannaf, karya Ibnu Abi Syaibah (no. 30103, 30107)]