Menyelisihi Hadis, atau Beda Memahami dalam Penerapan Hadis?
Termasuk fenomena yang patut disesalkan tapi cukup sering terjadi adalah, adanya sebagian kalangan yang begitu mudah menuduh pihak lain sebagai penyelisih hadis Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya karena berbeda pendapat dalam memahami hadis dan menerapkannya, khususnya dalam masalah-masalah ijtihad fikih yang masih memungkinkan adanya ruang perbedaan di dalamnya.
Terkait hal tersebut, saya ingin mengingatkan dengan sebuah hadis populer—yang menjadi favorit saya, yaitu ketika Nabi mengutus para Sahabat untuk mendatangi perkampungan Bani Quraizhah pasca perang Ahzab.
Dari Nafi’, Ibnu ‘Umar berkata, “Katika kami pulang dari perang Ahzab, Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—berkata kepada kami,
لا يصلين أحد العصر إلا في بني قريظة
‘(Demi Allah), janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian melaksanakan salat Asar kecuali di (perkampungan) Bani Quraizhah.’
Lalu mereka mendapati waktu Asar dalam perjalanan. Sebagian mereka berkata, ‘Kita tidak salat Asar kecuali setelah sampai kampung Bani Quraizhah (sesuai zahir perintah Nabi).’ Namun sebagian lagi berkata, ‘Bahkan, kita salat. Bukan maksud beliau agar kita mengakhirkan salat (tetapi agar kita bersegera dalam perjalanan).’
Ketika peristiwa itu diceritakan kepada Nabi—shallallahu ‘alaihi wa sallam—maka beliau tidak mencela salah seorang pun di antara mereka.” [HR al-Bukhary no. 3893]
Coba perhatikan. Para Sahabat tersebut tentunya tidak ada yang bermaksud untuk menyelisihi perintah Nabi. Mereka hanya berbeda dalam mehamami maksud perintah Nabi. Ada yang memahami sesuai dengan zahirnya, dan ada pula yang memahami tidak secara zahirnya, melainkan mencoba menggali esensinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar—rahimahullah—menjelaskan,
فتخوف ناس فوت الوقت فصلوا وتمسك آخرون بظاهر الأمر فلم يصلوا فما عنف أحدا منهم من أجل الاجتهاد المسوغ والمقصد الصالح والله أعلم
“Sebagian mereka khawatir salat di luar waktunya, maka mereka pun salat. Sementara sebagian lainnya berpegang dengan zahir perintah Nabi, maka mereka pun tidak salat (kecuali setelah sampai di Bani Quraizhah). Nabi pun tidak mencela seorang pun di antara mereka, karena mereka memiliki justifikasi ijtihad dan memiliki tujuan yang baik.” [Ref.: Fathul-Bari, vol. I, hlm. 209.]
Kurang lebih seperti itu pula perbedaan ulama dalam banyak permasalahan fikih. Ada yang berpegang sesuai dengan zahir teks, dan ada yang tidak demikian. Namun semuanya ber-ijtihad dan memiliki tujuan yang baik, yaitu untuk menerapkan dalil sesuai dengan yang dipahaminya. Perbedaan yang terjadi disebabkan perbedaan pemahaman terhadap dalil, dan bukan karena menolak untuk tunduk kepada otoritas dalil.
Namun demikian, cukup sering perbedaan itu kemudian di-framing untuk menstigmatisasi pihak yang tak sependapat, terlebih lagi jika telah ada kedengkian dan polemik sebelumnya.
Semoga dengan memasuki bulan Ramadan, kita bisa lebih bijak dalam menyikapi perbedaan dan bersikap lebih baik kepada sesama. Amin.
2 April 2022
AKu — Adni Kurniawan
MAGFIRA Project