SULITKAH MEMAHAMI DALIL?
Berkata Syaikh Hamd bin Nashir Alu Mu’ammar -rahimahullah- wafat 1225 H: “Dan ini merupakan syubhat yang dilontarkan setan pada kebanyakan orang yang mengklaim berilmu bahkan kebanyakan dari mereka. Mereka menyangka bahwa melihat langsung kepada dalil adalah perkara yang sulit, tidak akan mampu melihatnya kecuali seorang mujtahid muthlak. Dan orang yang melihat kepada dalil dan menyelisihi imamnya karena menyelisihi pendapatnya disebabkan mengikuti dalil tersebut, maka orang itu telah keluar dari taklid dan telah memposisikan dirinya sebagai mujtahid muthlak. Dan syubhat ini berlangsung terus menerus pada hati kebanyakan manusia sehingga keadaan mereka menjadi tercerai berai, setiap kelompok berbangga dengan apa yang ada pada mereka. Mereka menyangka bahwa inilah yang wajib bagi mereka. Siapa saja yang menisbatkan diri kepada madzhab seorang imam, maka wajib baginya mengambil seluruh azimah dan rukhshohnya WALAUPUN MENYELISIHI KITAB DAN SUNNAH !! MAKA JADILAH IMAM MADZHAB BAGI PENGIKUTNYA SEPERTI KEDUDUKAN NABI BAGI UMATNYA. Tidak boleh keluar dari pendapatnya, dan tidak boleh menyelisihinya.
Jika mereka melihat seseorang dari muqallidin menyelisihi madzhabnya dan taklid kepada imam yang lain karena mengikuti dalil yang dijadikan hujjah oleh imam lain, mereka berkata: "Orang ini telah menisbatkan dirinya kepada ijtihad dan mengangkat dirinya kepada kedudukan para imam mujtahid!" Walaupun orang tersebut sebenarnya tidak keluar dari taklid. Akan tetapi ia taklid kepada imam yang lain dan meninggalkan imam yang lain disebabkan mengikuti dalil, dan mengamalkan firman Allah -ta’ala:
فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِی شَیۡءࣲ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِۚ
“Apabila kalian berselisih maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul apabila kalian beriman kepada Allah dan hari akhir” An-Nisa: 59
Orang yang ta’ashub kepada madzhab, apabila mereka mendapati dalil, ia akan kembalikan kepada nash perkataan imam. Jika dalil tersebut sesuai dengan perkataan imam maka mereka menerimanya, apabila menyelisihi perkataan imam maka mereka menolaknya dan mengikuti perkataan imam. Dan mereka melakukan berbagai tipu daya untuk menolak hadits-hadits dengan seluruh cara yang mereka mampu. Apabila dikatakan ini adalah hadits Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- mereka akan menjawab: “APAKAH KAMU LEBIH MENGERTI HADITS DIBANDINGKAN IMAM FULAN?!”
Kita ambil contoh: apabila kita menghukumi sucinya air kencing hewan yang halal dimakan dagingnya, sedangkan Imam Asy-Syafi’i menghukuminya najis. Dan kita mengatakan: “Telah ditunjukkan kesuciannya oleh hadits ‘Uraniyyin, dan hadits itu adalah hadits yang shahih, demikian pula ditunjukkan oleh hadits Anas tentang sholat di kandang kambing”
Mereka berkata: “Ini ternajisi dengan air kencing hewan yang halal dimakan, apakah kamu lebih mengetahui hadits-hadits ini dibandingkan Imam Asy-Syafi’i?! Ia telah mendengar hadits ini akan tetapi tidak mengambilnya!!”
Maka kita katakan kepadanya bahwa Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah- dalam masalah ini telah menyelisihi Imam yang semisalnya atau yang lebih alim darinya seperti Imam Malik dan Imam Ahmad -rahimahumallah- dan selain dari keduanya dari para imam-imam besar. Maka kita jadikan para imam-imam tersebut berhadapan dengan Imam Asy-Syafi’i dan kita berkata: Imam berhadapan dengan imam dan engkau terima hadits-hadits kami dan kita kembalikan kepada Allah dan Rasulnya ketika para imam tersebut berselisih dan kita mengikuti imam yang mengamalkan nash, dan kita mengamalkan firman Allah :
فَإِن تَنَـٰزَعۡتُمۡ فِی شَیۡءࣲ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِۚ
“Apabila kalian berselisih maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul apabila kalian beriman kepada Allah dan hari akhir”
Dan kita mengamalkan apa yang Allah perintahkan.
Inilah yang wajib bagi kita. Dan kita dalam melakukan hal ini tidak keluar dari taklid, bahkan kita keluar dari taklid kepada imam kepada taklid ke imam yang lain, disebabkan hujjah yang lebih kuat tanpa ada yang menyelisihinya dan menaskh (menghapus) hukumnya. Maka berpindah dari madzhab ke madzhab lain karena alasan syar’i, karena menjadi jelas baginya rajihnya (kuatnya) suatu pendapat dibandingkan pendapat lainnya, kemudian dia kembali kepada pendapat yang ia lihat lebih dekat kepada dalil, maka pelakunya mendapatkan pahala, bahkan wajib hukumnya bagi setiap orang yang jelas baginya hukum Allah dan Rasul-Nya dalam suatu permasalahan. Tidak boleh ia berpaling dan mengikuti seseorang dalam menyelisihi hukum Allah dan Rasulnya, karena Allah mewajibkan seluruh makhluk untuk mentaati-Nya dan Rasul-Nya -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam setiap keadaan sebagaiman telah disebutkan.
Dan telah kami sebutkan bahwa Imam Asy-Syafi’i -rahimahullah berkata: "Telah ijma’ kaum muslimin bahwa siapa saja yang jelas baginya sunah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak boleh baginya meninggalkan sunah karena mengikuti pendapat seorang manusia.”
[Risalatul Ijtihad Wat-Taqlid, Majmuatur Rasail wal Masail An-Najdiyyah, Asy-Syaikh Hamd bin Nashir bin Utsman bin Ma’mar Al-Hanbali, Hal 22-24, cet thn: 1344 H]
Penterjemah: Dika Wahyudi