Selasa, 10 September 2024

Tanggapan terkait Masalah Penetapan Makna Sifat-sifat Allah (Bagian 1)

Mulai hari ini insyaallah saya akan memulai dan melanjutkan sejumlah agenda, di antaranya adalah alih bahasa dan penyuntingan artikel-artikel di situs salafcenter.org ke dalam bahasa Indonesia. Semoga lancar ke depannya dan mendatangkan manfaat. Amin. 

4Ku 2024.09.09 

☆ ☆ ☆ 

Tanggapan terkait Masalah Penetapan Makna Sifat-sifat Allah (Bagian 1) 

==============

Alih Bahasa dan Penyuntingan: Adni Kurniawan

Penulis Asal: Ustaz 'Ala Isma'il

Link: https://salafcenter.org/8958/

Tanggal: 9 September 2024 (09.09.2024) 

Publikasi: https://adniku.blogspot.com/2024/09/tanggapan-terkait-masalah-penetapan.html?m=0

==============

Pimpinan umum madrasah Hanbali Irak—sebagaimana ia menyebut dirinya—telah menggugah sejumlah pertanyaan dalam pernyataannya, yang menuntut para ulama dan para pembelajar kalangan Salafi untuk menjelaskan makna Sifat-sifat Allah Ta'ala sesuai dengan syarat-syarat tertentu yang ia tetapkan, yaitu sebagai berikut: 

(1) Makna Sifat tersebut dalam bahasa Arab harus selaras dengan keyakinan kalangan Salafi.

(2) Memiliki dalil dari sunnah yang sahih.

(3) Memiliki sandaran dari perkataan para Sahabat. Misalnya: "Sahabat mengatakan bahwa makna 'ghadab' (murka) adalah demikian."

(4) Tidak perlu menyebutkan dalil-dalil dan ucapan-ucapan yang tidak membuktikan makna bahasa.

(5) Tidak perlu mencantumkan tambahan komentar atau pemahaman terhadap dalil tersebut.

Esensi pertanyaan ini telah dijawab dalam banyak kajian sebelumnya. Meskipun demikian, sebagai bentuk penghormatan dan penjelasan, kami akan menjawabnya di sini dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh penanya. Namun, ada pengantar penjelasan yang harus dibaca oleh penanya dengan cermat agar dia dapat memahami dengan benar mazhab oponennya, serta mengidentifikasi titik-titik perselisihan, dan setelah itu, jawaban atas pertanyaannya akan tersampaikan, insyaallah.

Uraian Pendahuluan yang Urgen:

Termasuk kesalahpahaman yang ada pada pihak oponen adalah anggapan bahwa makna yang dipahami oleh Ibn Taimiyyah dan para imam hadis adalah makna kamus, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam kamus-kamus bahasa. Ini adalah kesalahan. Sebenarnya, yang dimaksudkan adalah makna pokok (ashl al-ma’na), yakni makna universal (al-ma’na al-kulli) dari sifat tersebut, yang merupakan makna umum yang berbeda-beda tergantung pada siapa yang disandarkan kepadanya. Adapun kamus bahasa mencakup baik makna pokok maupun makna hakikat (nyata, riil) dalam satu penempatan.

Lebih jelasnya, makna itu ada dua jenis:

(1) Makna Pokok (Asal Makna): Ini adalah makna mental (makna dalam pikiran, al-ma’na adz-dzihni) yang mutlak sebelum pengkhususan dan penyandaran. Ini adalah elemen irisan (al-qadr al-musytarak) yang jika disebutkan, akan dipahami sebagai makna umum universal (‘amm kulli) yang dengannya setiap sifat dibedakan dari sifat lainnya. Misalnya, ketika dikatakan, “Allah berbicara kepada Musa,” maka makna yang terpikirkan berbeda dari ketika dikatakan "Allah menciptakan" atau "Allah datang."

(2) Makna Hakikat (Nyata, Riil): Ini adalah makna setelah adanya hubungan penyandaran, yaitu makna aktual yang benar-benar terjadi di luar pikiran (nyata, riil). Misalnya, ketika dikatakan: "Orang ini memiliki tangan," yang dimaksudkan di sini adalah tangan sebagai sebuah realitas organ fisik.

Arti kata "tangan" dalam kamus adalah: 

العضو من أَطْراف الأَصابع إِلى الكف

"Anggota tubuh dari ujung jari hingga telapak tangan",[1] karena makna dalam kamus ditujukan pada makna hakikat (yang tampak pada makhluk), bukan makna pokok yang bersifat universal.

Syaikh Muhammad Khalil Harras menjelaskan bahwa "makna hakikat" itu termasuk dalam makna "kaifiat (penjelasan tentang bagaimana)". Beliau berkata,

المراد بالتأويل المنفي حقيقة المعنى وكنهه وكيفيته

"Yang dimaksud dengan takwil yang dinafikan adalah makna hakikat dan kaifiatnya."[2] 

Oleh karenanya, ketika ahli hadis mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui makna dari suatu sifat, yang dimaksud adalah hakikatnya dan bukan asal maknanya.

Penjelasan ini disampaikan pula oleh Burhanuddin al-Kurani, dari kalangan Sufi-Asy'ari, dalam konteks pembelaannya terhadap Ibn Taimiyyah. Dia menjelaskan bahwa makna bahasa dari "tangan" tidak mensyaratkan adanya organ fisik.

Al-Kurani berkata,

فإذا كان إطلاقها -أي: الحياة والعلم والقدرة- على الله على وجه الحقيقة، مع أنها في المخلوقات أعراض وكيفيات دلّ على أن حقيقتها ليست محصورة في الأعراض، بل هو أمر كُلّي يصدق على أفراد مختلفة. فكذلك نقول في اليد وأمثالها أنَّ حقيقتها ليست منحصرةً في الجارحة، بل هي أعمُّ منها ومن غيرها، كأن يقال: هي ما به البطش، وهو أعمّ من أن يكون جارحة أو غيرها

"Jika dapat dimutlakkan sifat (yaitu: hidup, ilmu, dan kuasa) kepada Allah secara hakikat, sedangkan pada makhluk itu merupakan aksiden (a’radh) dan kaifiat, maka itu menunjukkan bahwa hakikat sifat-sifat tersebut tidak terbatas pada aksiden, melainkan merupakan konsep universal (amr kulli) yang dapat disandarkan kepada berbagai macam entitas. Demikian pula, kita dapat mengatakan tentang 'tangan' dan sifat-sifat lainnya bahwa hakikatnya tidak terbatas pada organ fisik, melainkan lebih umum dari itu. Misalnya, dapat dikatakan bahwa 'tangan' adalah apa yang digunakan untuk berbuat, yang itu lebih umum daripada sekadar organ fisik."[3]

Dengan demikian, klaim bahwa makna zahir dari "tangan" adalah organ fisik itu tidak dapat diterima begitu saja. Justru, organ fisik digunakan dalam konteks metaforis (kiasan, majaz), dan bukan hakikat dari 'tangan,' sebagaimana ditegaskan oleh para ahli bahasa.

Az-Zabidi menyatakan,  

ومن المجاز: الجوارح: أعضاء الإنسان التي تكتسب، وهي عوامله من يديه ورجليه، واحدتها جارحة؛ لأنهن يجرحن الخير والشر، أي: يكسبنه. قلت: وهو مأخوذ من: جرحت يداه واجترحت. والجوارح: ذوات الصيد من السباع والطير والكلاب؛ لأنها تجرح لأهلها، أي: تكسب لهم، الواحدة جارحة

"Termasuk majaz adalah istilah 'jawarih', bentuk singularnya: ‘jarihah’, yang merujuk kepada organ fisik manusia untuk memperoleh sesuatu, seperti tangan dan kaki. Disebut demikian karena ia menghasilkan untuk pemiliknya, baik itu kebaikan maupun keburukan. Demikian pula, hewan berburu dari burung dan anjing disebut ‘jawarih’ karena mereka memperoleh (yakni, berburu) sesuatu untuk pemiliknya."[4]

Allah Ta’ala berfirman:

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمْ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللهُ [المائدة: 4]

“Mereka menanyakan kepadamu: ‘Apa yang dihalalkan bagi mereka?’ Katakanlah: ‘Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas (jawarih) yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.” [QS al-Maidah: 4.]

At-Thabari berkata,

وأما الاجتراح عند العرب فهو عمل الرجل بيده أو رجله أو فمه، وهي الجوارح عندهم، جوارح البدن فيما ذكر عنهم. ثم يقال لكل مكتسب عملًا: جارح، لاستعمال العرب ذلك في هذه الجوارح، ثم كثر ذلك في الكلام، حتى قيل لكل مكتسب كسبًا بأيِّ أعضاء جسمه اكتسب: مُجترِح

"Bagi orang Arab, kata ijtirah berarti perbuatan yang dilakukan dengan tangan, kaki, atau mulut. Inilah arti 'jawarih,' menurut mereka, yaitu anggota tubuh yang bekerja. Kemudian, kata ini meluas penggunaannya, sehingga digunakan untuk siapa saja yang melakukan perbuatan dengan anggota tubuhnya."[5]

Dengan demikian, klaim kalangan ahli tafwidh kontemporer yang menyatakan bahwa makna zahir dari 'tangan' adalah ‘organ fisik’ tidaklah memiliki dasar ilmiah yang kuat. Organ fisik dalam bahasa hanya digunakan secara metaforis, dan bukan merupakan hakikat dari kata ‘tangan' yang lebih luas maknanya dan mencakup hal-hal seperti tindakan menggenggam, meraih, menghamparkan, dan memberi rezeki.

Jawaban Tantangan:

Setelah penjelasan di atas, kami akan memulai jawaban atas tantangan... (bersambung, insyaallah). 

Referensi: 

[1]  Lisan al-‘Arab (15/489).

[2]  Syarh al-Washithiyyah, hlm. 20.

[3]  Ifadhah al-‘Allam bi-tahqiq Masalah al-Kalam, hlm. 267.

[4]  Taj al-‘Arus (6/338).

[5]  Tafsir ath-Thabari (5/212).