Selasa, 03 September 2024

Kitab At-Tauhid dan Keberkahannya

Kitab At-Tauhid dan Keberkahannya

Banyak sekali orang-orang yang memusuhi kitab Tauhid dan pengarangnya Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dengan berbagai macam bentuk permusuhan; ada yang bersifat politik, ada yang bersifat kesukuan, ada yang bersifat tradisional, dan ada pula yang bersifat aqidah.

Jika saja orang-orang yang memusuhi kitab ini berlaku adil, dan mereka memperlakukan kitab maupun penulisnya dengan objektif (berdasarkan fakta dan bukti yang ada), tentulah mereka akan mengetahui dan meyakini bahwa sebagian besar—jika bukan seluruhnya—dari tuduhan yang mereka lontarkan sebenarnya tidak berdasar.

Sebagai contoh, Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, yang wafat pada tahun 1389 H, dalam 'Majmu’ Fatawa'-nya (vol. 1, hal. 75-76) menceritakan sebuah kisah yang menarik yang menggambarkan salah satu bentuk permusuhan yang tidak berdasar dan hanya didasarkan pada hawa nafsu, serta bagaimana seseorang yang meninggalkan hawa nafsunya dan memegang teguh kebenaran, akan mendapatkan petunjuk dari Allah.

Syaikh bercerita:

“Sekarang saya akan menceritakan kisah Abdul Rahman Al-Bakri, salah seorang penduduk Najd; ia dulunya adalah murid Syaikh Abdullah bin Abdul Latif Alu Syaikh.

Kemudian, ia berniat untuk membuka sekolah di Oman dengan mengajarkan tauhid dari hasil usahanya sendiri. 

Ketika keuangannya habis, ia mengambil barang dagangan dari seseorang dan pergi ke India, terkadang ia tinggal di sana selama setengah tahun.

Syaikh Al-Bakri berkata:

Saya berada di dekat sebuah masjid di India, dan ada seorang guru di sana. 

Setelah selesai mengajar, ia selalu melaknat Ibn Abdul Wahhab, yakni Syaikh Muhammad. 

Suatu hari, saya mengundangnya ke rumah. 

Saya mengambil Kitab Tauhid, melepas sampulnya, dan menaruhnya di rak rumah saya sebelum dia datang. 

Ketika dia tiba, saya berkata: 

Apakah Anda mengizinkan saya untuk membeli semangka?

Saya pergi, dan ketika kembali, saya mendapati dia sedang membaca dan menganggukkan kepala. 

Dia bertanya: Kitab siapa ini? 

Saya menjawab: Saya tidak tahu! 

Kemudian saya berkata: 

Bukankah kita harus pergi ke Syaikh Ghazawi untuk menanyakannya?—Ghazawi adalah pemilik perpustakaan dan telah menulis bantahan terhadap 'Jami’ Al-Bayan'. 

Kami pergi kepadanya, dan saya berkata kepada Ghazawi: 

Ada beberapa lembar kertas yang ditanyakan oleh Syaikh ini, saya tidak tahu milik siapa itu!

Ghazawi memahami maksudnya dan memanggil seseorang untuk membawa 'Majmu’ah Tauhid'. 

Setelah membandingkannya, dia berkata: 

Ini adalah karya Muhammad bin Abdul Wahhab.'

Ulama India itu menjadi marah dan dengan suara keras berkata: 'Kafir?!' 

Kami diam saja.

Setelah beberapa saat, kemarahannya mereda, dan dia berkata: 

“Jika ini benar-benar kitabnya, maka kami telah berlaku tidak adil kepadanya.”

Kemudian setiap hari, dia mulai mendo'akan Syaikh Ibn Abdul Wahhab, bahkan dia mengajak murid-muridnya untuk ikut berdo'a. Allahuakbar! 

Murid-muridnya kemudian menyebar di India, dan setelah mereka selesai membaca, semuanya berdo'a untuk Syaikh Ibn Abdul Wahhab.

Inilah hasil bagi siapa saja yang mengenal Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dakwahnya, serta mengetahui kesucian manhajnya dan kemurnian aqidahnya. 

Kesimpulannya adalah bahwa siapa saja yang menegakkan tauhid dengan benar, tidak menyeru kepada siapa pun selain Allah, Ittiba (mengikuti Rasul-Nya), menjadikan beliau sebagai imam dan teladan, tidak mencari pengganti, serta ridhai beliau sebagai penunjuk jalan: Maka ia harus mengamalkan konsekuensi dua kalimat syahadat, menaati Allah dan Rasul-Nya, menjaga perintah-perintah-Nya, serta menjauhi larangan-larangan-Nya."

— Sumber: Ta'lig Rasyid ala Kitab Tauhid alladzi haqqu Allah ala abid oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi, halaman. 7-9 Dar Imam Muslim

Ditulis oleh: Andre Satya Winatra
Rabu, 29 Shafar 1446 H

https://t.me/catatanAndreSatyaWinatra