*KEHATI-HATIAN ULAMA DALAM BERFATWA DAN BERBICARA TENTANG AGAMA*
كَمْ يَكْفِي الرَّجُلَ مِنَ الْحَدِيثِ حَتَّى يُمْكِنَهُ أَنْ يُفْتِيَ: يَكْفِيهِ مِائَةُ أَلْفٍ؟ قَالَ: لَا. قُلْتُ: "مِائَتَا أَلْفٍ؟ قَالَ: لَا. قُلْتُ"* ثَلَاثُمِائَةِ أَلْفٍ؟ قَالَ: لَا. قُلْتُ: أَرْبَعُمِائَةِ أَلْفٍ؟ قَالَ: لَا. قُلْتُ: خَمْسُمِائَةِ أَلْفٍ؟ قَالَ: أَرْجُو.
Seseorang bernama Abu Ali bertanya kepada Imam Ahmad bin Hanbal:
“Berapa hadits yang harus dikuasai oleh seseorang sehingga dia boleh untuk berfatwa, apakah seratus ribu hadits sudah cukup?”
Imam Ahmad: “Tidak”.
Abu Ali: “Kalau dua ratus ribu hadits?”
Imam Ahmad: “Tidak”.
Abu Ali: “jika dia menguasai tiga ratus ribu hadits?”
Imam Ahmad: Tidak”
Abu Ali: “empat ratus ribu?”
Imam Ahmad: “Tidak”
Abu Ali: “Jika lima ratus ribu hadits, bagaimana?”
Imam Ahmad: “Mudah-mudahan”.[12]
📘 Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul, Karya As-Syaukani
*Syarat ini adalah menunjukan bentuk sifat kesempurnaan dalam berfatwa
*Mayoritas ulama zaman ini hanya mengambil fatwa dari ulama yang memiliki wawasan hafalan tersebut
*Di zaman ini tidak disyaratkan berfatwa dengan mengumpulkan hafalan dalam benak seperti di atas namun cukup dengan beberapa kaedahnya dan mengumpulkan hafalan hadits-hadits ahkamnya
_______________
Dibagikan oleh:
Kampus Ilmu Utsman & Dar Alamiyyah di bawah bimbingan Ustadz Anton Abdillah Al Atsary
✓ Boleh dibagikan seluasnya tanpa mengurangi isi tulisan.