Kamis, 26 Januari 2023

Siapa yang sengaja melakukan jima’ di siang hari Ramadhan baik mani keluar atau tidak, puasanya batal berdasarkan keterangan al-Qur’an maupun hadits.

1. Siapa yang sengaja melakukan jima’ di siang hari Ramadhan baik mani keluar atau tidak, puasanya batal berdasarkan keterangan al-Qur’an maupun hadits. 

2. Jima termasuk pembatal puasa yang disepakati, siapapun pasangannya baik pasangan halal atau pun pasangan zina.

3. Di antara pembatal puasa yang lain, jima’ inilah pembatal terberat terkait dosa dan konsekuensinya.

Kami memandang, di antara alasannya/hikmah, dibanding pembatal lain, jima adalah pembatal yang ‘paling nikmat dan lezat’. Semua anggota badan mendapat puncak kenikmatan fisik melebihi nikmat makan dan minum. Jadi, ia diganjar dengan konsekuensi terberat.

4. Ketentuan dikatakan jima adalah ketika -maaf- al-hasyafah (kepala zakar) tenggelam utuh di dalam kemaluan wanita, baik dengan keluarnya mani atau tidak.

5. Orang yang diperbolehkan tidak berpuasa karena ada udzur, semisal musafir, boleh melakukan jima’ -dan pastinya dengan pasangan yang sah-. Misalnya, pasutri yang sedang safar ke sebuah kota karena sebuah keperluan dan memilih untuk tidak berpuasa, keduanya boleh melakukan jima’ di kota tujuan.

6. Konsekuensi Jima’ di siang Ramadhan:

-Wajib baginya taubat dan beristigfar karena telah melakukan sesuatu yang diharamkan. 

-Melakukan imsak, yaitu menahan diri dari pembatal puasa usai jima di hari itu hingga tiba waktu buka puasa sebagai penghormatan terhadap keagungan Ramadhan. Dan ini tidak terhitung sebagai puasa sebab puasanya telah batal.

-Kaffarah:

Memerdekakan budak. Jika tidak memungkinkan, ia mesti puasa dua bulan berturut-turut. Bulan yang dimaksud adalah hitungan bulan Hijriah. Puasanya tidak boleh putus kecuali karena ada udzur. Jika sengaja memutuskan puasa kaffarat ini, ia harus mengulang dari awal. Jika ini juga tidak memungkinkan, ia harus memberi makan 60 orang miskin, baik dengan membagikan makanan untuk mereka atau mengundang mereka makan di sebuah tempat.

-Tidak hanya kaffarat, yang bersangkutan juga harus melakukan puasa qadha sejumlah hari ia melakukan jima’. 

7. Wanita yang dijima’ juga terkena konsekuensi tersebut jika ia melakukannya dengan suka rela/ridha tanpa paksaan. Sementara wanita yang diperkosa, puasanya tak batal dan tidak berkonsekuensi apapun sebab hal itu terjadi bukan atas kehendak dan pilihannya.

8. Seseorang yang melakukan jima’ dalam keadaan lupa bhw ia tengah berpuasa, puasanya sah. Tidak ada konsekuensi apapun baginya. Hanya saja yang demikian ini amat jarang terjadi. Ini sama seperti makan dan minum saat puasa atas dasar lupa.

9. Jima yang berulang dalam satu hari, tentu kafaratnya terhitung satu saja.

Jima’ yang berulang berhari-hari, kafaratnya juga sebanyak hari ia melakukan jima’. Contoh, jima dilakukan selama 6 hari. Karena tidak memungkinkan membebaskan budak, ia harus melakukan puasa kaffarat sebanyak 6x60= 360 hari.   

10. Jima’ yang dilakukan saat melakukan qadha puasa wajib maka puasanya batal namun tidak ada konsekuensi kaffarat sebab kaffarat terkait penghormatan terhadap keagungan Ramadhan saja. 

Wallahu a'lam.
________
Rujukan:

1. As-Shiyam fi al-Islam fi Dhau-i al-Kitab wa as-Sunnah, Dr. Sa’id Ali al-Qahthaniy.

2. Al-Mulakhkhash Fiqh as-Shaum min al-Muasu’ah al-Fiqhiyyah, al-Qism al-Ilmiy bi al-Mu-assasah ad-Durar as-Saniyyah.

3. Al-Jami’ li Ahkam as-Shiyam, jilid 3, Dr. Khalid bin Aliy al-Musyaiqih.
____
Penyusun: Yani Fahriansyah 
.