REVITALISASI MUSHAF USMANI
Khalifah Usman dulu memerintahkan Zaid bin Sabit dan timnya untuk menulis mushaf, melanjutkan kerja serupa yang dulunya dilaksanakan di era Khalifah Abu Bakar As-Siddiq (Semoga Allah meridai mereka semua). Tujuan dasarnya sama, yaitu untuk mendokumentasikan isi Al-Quran secara lengkap, agar tidak terlupakan.
Bedanya, di era lanjutan ini yang ditulis bukan hanya satu mushaf, melainkan 5 mushaf sekaligus yang kemudian dikirimkan ke Makkah, Syam, Basrah, dan Kufah, serta 1 mushaf diperuntukkan untuk penduduk Madinah. Ini ditambah lagi sengan 1 mushaf yang dipegang oleh sang khalifah. Konon, bersama setiap mushaf yang dikirimkan ini juga diutus seorang qari (pembaca) yang bertugas untuk mengajarkan bacaan Al-Quran kepada penduduk setempat sesuai dengan mushaf yang dikirimkan.
Penulisan era lanjutan ini juga punya tujuan tambahan yang cukup penting, yaitu untuk menyatukan pilihan variasi detil isi Al-Quran, atau secara sederhana bisa disebut "standardisasi mushaf". Karenanya, Khalifah Usman juga menyuruh agar mushaf-mushaf yang isinya beda dengan mushaf standar ini dibakar atau tidak lagi digunakan. Ini juga berarti bahwa ragam bacaan (qiraat) yang berbeda dengannya perlu ditinggalkan, khususnya dalam tilawah ketika shalat berjamaah.
Hanya saja, mushaf yang ditulis oleh timnya Zaid bin Sabit ini rasm (ortografi) huruf-hurufnya tidak diberi titik maupun harakat, dan tidak diberi hamzah maupun tasydid, sehingga aneka variasi bacaan (qiraat) yang beragam yang masih cocok dengan rasm mushaf-mushaf tersebut masih sama-sama bisa digunakan. Mushaf-mushaf ini belakangan kemudian dikenal dengan sebutan "mushaf-mushaf usmani".
Misalnya, bacaan "yumnā" dan "tumnā" sama-sama bisa digunakan karena bentuk huruf awal kata tersebut tidak diberi titik, sehingga bisa cocok untuk huruf tā' maupun yā'. Begitu juga misalnya antara bacaan "tuslā" dengan "taslā" (perbedaan harakat), antara "mu'shadah" dengan "mūshadah" (perbedaan hamzah), antara "waghasāqun" dengan "waghassāqun" (perbedaan tasydid, dan antara "fakihin" dengan "fākihin" (perbedaan panjang pendek).
Di samping itu, konon, ada pula sedikit perbedaan antara mushaf yang dikirimkan ke Makkah dengan yang dikirimkan ke Kufah. Demikian pula dengan yan dikirimkan ke kawasan lainnya. Akan tetapi, perbedaan antar mushaf-kawasan ini tidaklah banyak. Totalnya hanya sekira 40-50 perbedaan. Itupun perbedaan yang ada umumnya hanya perbedaan satu dua huruf (tidak sampai satu kata). Misalnya perbedaan antara "qāla" dengan "waqāla".
Nah, di era-era berikutnya mushaf-mushaf ini (atau salinannya) yang awalnya polos dari titik dan harakat kemudian dibubuhi harakat untuk ujung kata, agar orang yang tidak lihai berbahasa Arab tidak salah dalam membacanya. Lalu dibubuhi titik pembeda huruf. Kemudian dibubuhi harakat lengkap serta penanda hamzah dan tasydid.
Bahkan, mushaf-mushaf kemudian juga dibubuhi dengan tanda-tanda penunjuk nomor ayat (untuk setiap kelipatan 10 atau 5 ayat) sesuai indeks penghitungan yang digunakan. Semakin lama pun semakin banyak tanda-tanda yang dibubuhkan ke mushaf, guna mempermudah orang membaca dan menggunakannya, terutama untuk kalangan yang hanya menerapkan satu pilihan ragam bacaan (qiraah/riwayat).
Meskipun membolehkan pembubuhan tanda-tanda ini, para ulama dahulu melarang pembubuhan tanda dengan warna tinta yang sama. Ketika rasm asli sebagaimana dalam mushaf-mushaf usmani ditulis menggunakan tinta berwarna hitam, maka tanda-tanda titik huruf, harakat, hamzah, dan sebagainya haruslah menggunakan warna yang berbeda. Bahkan, biasanya antara jenis tanda ini pun dibedakan pewarnaannya (misalnya warna merah untuk titik huruf dan warna kuning atau hijau untuk kode hamzah).
Di era modern, pada saat percetakan telah ditemukan, mushaf-mushaf pun diterbitkan menggunakan mesin cetak. Akan tetapi, saat itu belum tersedia percetakan dengan 'full color'. Semua hasil cetakan masih hitam-putih. Oleh karenanya, penerbit mushaf pun mencetak rasm usmani berikut titik-titik penanda huruf dan harakatnya sama-sama dengan warna hitam. Harapannya, ketika nanti percetakan sudah mudah untuk mencetak dengan banyak warna maka titik-titik dan tanda-tanda tersebut akan dibedakan warnanya sebagaimana petunjuk para ulama terdahulu.
Nah, beberapa masa kemudian dunia percetakan sudah berkembang sangat pesat dan penerbitan buku dengan dua maupun dua ratus warna sudah bukan lagi suatu kendala. Lalu kita pun melihat sudah banyak sekali mushaf-mushaf yang diterbitkan dengan banyak warna. Ada yang dua warna. Ada yang tiga warna. Ada yang bahkan sampai belasan warna!
Akan tetapi, yang diwarnai beda justru bukan titik dan harakat, melainkan yang diwarnai adalah kata-kata yang merupakan nama Allah atau merujuk kepada nama dan sifat Allah. Atau yang diwarnai adalah kata-kata yang memiliki variasi bacaan dalam qiraat sab`ah atau `asyrah; atau huruf-huruf yang mempunyai cara baca khusus sesuai ilmu tajwid; atau kata pertama di tiap ayat untuk memudahkan hafalan. Atau bahkan yang diwarnai adalah latar belakangnya (bukan hurufnya) berdasarkan kesatuan tema ayat. Ada pula yang mungkin waktunya begitu longgar sehingga yang diwarnai adalah kosakata yang punya kembaran di halaman yang sama!
Bukankah patutnya yang diwarnai adalah segala hal selain yang ada di rasm mushaf usmani? Betul! Memang itulah yang lebih tepat, tetapi demikianlah fenomena yang marak terjadi.
Lantas, kalau begitu perlukah kita kampanyekan agar ada penerbitan mushaf dengan pewarnaan yang lebih tepat tersebut?
Alhamdulillah, puji syukur untuk Allah hal tersebut ternyata sudah terlaksana. Dan, uniknya, penerbitan mushaf dengan pewarnaan yang menonjolkan rasm asli mushaf usmani ini justru muncul di kawasan Nusantara, bukan di Mesir maupun Turki maupun Saudi.
Di Indonesia?
Bukan, di Brunei Darussalam. Dipromotori oleh sang sultan, dengan juga melibatkan para ahli dari kawasan Arab. Jazāhumullāhu khairan. Namanya "Mushaf Al-Wātsiq Billāh".
Rasm yang aslinya memang ada dalam mushaf usmani dicetak dengan tinta hitam, sedangkan yang lainnya menggunakan warna yang berbeda, walaupun perwarnaan untuk titik huruf dengan harakat masih menggunakan warna yang sama (warna merah). Adapun tanda waqaf menggunakan warna biru dan tanda nomor ayat serta bingkai halaman menggunakan warna hijau.
Mushaf ini juga sudah terbit dalam 2 edisi: edisi sesuai riwayat Hafsh, dan edisi sesuai riwayat Syu`bah. Keduanya dalam qiraat Imam Ashim. Rahimahumullāh, walhamdulillāh.
.
.
.
Catatan:
Kesempurnaan hanyalah milik Allah semata. Pada surah Al-Maidah ayat 110 di Mushaf Brunei ini, tertulis kata "kahaiati" dengan dua gigi antara huruf hā' dengan tā marbuthah. Gigi pertama untuk yā' bersukun dan gigi kedua untuk hamzah berfathah. Yang benar, sesuai rasm usmani, harusnya di situ hanya tergoreskan satu gigi, yaitu gigi untuk huruf yā'. Adapun hamzahnya tidak perlu rasm penampung. Wallāhu a`lam.
Ustadz babanya Sofia