Rekontruksi Adab Dalam Berbeda Pendapat
(Nuansa Diskusi Para Salaf)
Berbeda pendapat itu hal biasa dikalangan ulama', yang saya maksud adalah beda pendapat dalam perkara furu’ (cabang) di mana suatu perkara itu masih diperselisihkan. Bukan dalam perkara yang telah disepakati oleh para ulama, karena menyelisihi dalam hal ini dinilai tercela.
Ibnu Taimiyah menjelaskan tentang karakteristik perbedaan pendapat dikalangan para ulama' salaf,
وقد كان العلماء من الصحابة والتابعين ومن بعدهم إذا تنازعوا في الأمر اتبعوا أمر الله تعالى في قوله:
فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا ﴿٥٩﴾
وكانو يتناظرون في المسألة مناظرة مشاورة ومناصحة، وربما اختلف قولهم في المسألة العلمية العملية مع بقاء الألفة والعصمة. نعم، من خالف الكتاب المستبين والسنة المستفيضة، أو ما أجمع عليه سلف الأمة خلافا لا يعذر فيه، فهذا يعامل بما يعامل به أهل البدعة.
Para ulama' dikalangan Sahâbat dan tabiîn dan setelahnya, jika mereka berbeda pendapat dalam suatu perkara maka mereka mengikuti perintah Allâh Azza wa Jalla:
" Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (Al Qur'ân) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
[QS. An-Nisa': 59]
Jika mereka (para sahâbat) berdiskusi dalam suatu masalah, maka diskusi mereka adalah diskusi yang bernuansa musyawarah dan munâshahah (saling menasehati) (bukan nyinyir, ngényék dan saling menjatuhkan -pent). Mungkin saja pendapat mereka berbeda dalam suatu masalah ilmiah dan amaliyah, namun cinta, kasih sayang, serta kehormatan tetap ada.
Betul, bahwa siapapun yang menyelisihi tanpa udzur (dalil) Al-Qur'ân yang sudah jelas dan as-Sunnah yang mutawâtir, atau ijma' para salaf, maka yang semacam ini diperlakukan sebagaimana ahlul bid'ah.
(Majmu' fatawa juz 24)