Sedikit faidah
Kita tahu, dalam pembahasan ushul fiqh, hukum terbagi 2, ada hukum tholaby/taklify, ada hukum wadh'iy
Pada pembagian Hukum taklifiy kita mengenalnya ada 5: wajib, mandub, haram, makruh, mubah
Ternyata, penggunaan lafadz dalam penyebutan hukum-hukum taklify yang lima tadi, terdapat perbedaan antara pandangan para ulama ushul dan ulama fiqih
1️⃣ menurut manhaj ushuliyyin, bagi mereka, yang dimaksudkan sebagai hukum syari itu adalah Khitob dari Allah Ta'ala, misalnya dalam firman Allah
(وَأَقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ)
"Dirikanlah Sholat".. Bagi para ahli ushul, Khitob inilah sebagai hukum syari, dan berangkat dari pemahaman ini, menurut mereka hukum syari itu penyebutannya adalah "الإيجاب /al-iijab/pewajiban", "الندب /al-nadb/penganjuran", التحريم /al-tahrim/ pengharaman" Dst, dengan menyebutkan mashdar dari fiil, dan tidak menyebutkan hukum syari dengan lafadz "wajib", atau " Mandub", "makruh" Dst, karena yang dilihat oleh ushuliyun sebagai hukum syari adalah Khitob dari Pembuat syariat.
2️⃣. Berbeda dengan metode yang dipakai oleh para fuqoha, mereka memandang bahwa hukum syari itu adalah "atsar Khitob/dampak dari Khitob Pembuat syariat" Atau "natijah Khitob/hasil dari Khitob", yaitu misalnya status solat yg lima waktu hukumnya " Wajib", atau hukum makan "mubah", solat yg hukumnya dikatakan wajib, ini adalah dampak dari iijab/pewajiban dari Pembuat syariat, sebagaimana makan hukumnya mubah, ini adalah hasil dari ibahah/pembolehan yang berasal dari Pembuat syariat..
Namun ini sejatinya hanya masalah yg berkaitan dengan istilah yg dipakai para ulama saja, dan tidak terlalu berdampak signifikan dalam hasilnya, namun dari sisi keafdolan, hendaknya jika kita sedang membahas disiplin ilmu ushul fiqih misalnya, maka lebih baik dengan menggunakan istilah untuk hukum syari dengan lafadz yg dipakai oleh ushuliyyin, sebagaimana dalam pembahasan fiqih, kita memakai lafadz dalam hukum syari memakai istilah fuqoha..
Ustadz Setiawan tugiono B.I.L M.hi hafidahullah