Ada sebuah kasus: Menikah dengan niat talak/cerai
Yaitu seorang lelaki yang menikahi perempuan, namun ada azam dalam hati bahwa nanti ia akan menceraikannya,..
gambarannya: misal ada seseorang bepergian ke luar negri, untuk tujuan berobat, study, atau sekedar liburan panjang, kemudian karena takut di negri orang akan terjatuh pada kemaksiatan jika tanpa pasangan, akhirnya dia menikahi gadis setempat, namun tidak meniatkan untuk melanggengkan pernikahan, alasannya karena lelaki ini memang tidak ada niatan menetap di negri tsb, karena setelah hajatnya selesai, maka selesai pula pernikahannya, ia menceraikannya..
Hukum masalah ini, para ulama bersilang pendapat, mayoritas ulama membolehkan, dengan alasan karena syarat2 pernikahan dan rukun2-nya semua terpenuhi, dan tidak ada penghalangnya.. Adapun sebagian yang lain mengharamkannya,,
Bagi yg memgharamkannya, karena mereka tidak melihat hanya kepada syarat dan rukun yg terpenuhi tanpa penghalang, tapi mereka juga meneropong pada maqoshid syariah.. Maqhasid yg ada, ternyata tidak bersesuaian dengan adanya akad seperti ini..
🔖 termasuk dari maqhasid adalah menangkal dharar, dan tidak diragukan lagi bahwa dalam akad ini tentu mengandung dharar bagi si wanita
🔖 termasuk dari maqhasid adalah mewujudkan maslahat dan menangkal mafsadah, dan tentunya dalam akad seperti ini akan banyak mafsadatnya, yaitu dengan munculnya perilaku membungkus sesuatu yg harom dengan bungkus akad ini, orang sengaja Safar ke luar negri dengan tujuan menikah untuk bercerai..
🔖 dan juga termasuk dari maqhasid adalah menjadikan hati kaum muslimin menjadi satu kesatuan, yaitu seseorang mencintai untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai untuk dirinya, tidak diragukan lagi bahwa seseorang tak akan rido jika hal ini terjadi pada anak perempuannya, atau pada saudarinya, atau pada ibunya..
Dengan melihat pada maqhasid inilah akhirnya sebagian Ulama berpendapat bahwa akad ini terlarang..
Termasuk dari kalangan ulama yg sebelumnya berpandangan bolehnya akad ini adalah Syaikh Muhammad bin solih al-utsaimin رحمه الله, alasan beliau sama dengan yg lain, karena syarat dan ketentuan rukun semua ada, dan tak ada penghalangnya,,, sampai pada kemudian hari di akhir kunjungan beliau ke kota Madinah sebelum beliau wafat, Syaikh Sulaiman al-ruhaily menceritakan bahwa beliau kala itu sengaja mengunjungi Syaikh Utsaimin untuk memberi masukan perihal fatwa beliau dalam masalah ini, Syaikh Sulaiman mengatakan:
"Wahai Syaikh, sungguh mafsadah dalam pembolehan akad ini sangatlah besar, Syaikh menjawab: mafsadah dalam hal ini memang benar adanya, akan kami tinjau ulang fatwa ini -in sya Allah-.... "
Sumber:
Fiqh al-muamalat al-maliyah al-muashiroh oleh Syaikh Sulaiman al-ruhaily hal 10-12
🔖Pelajaran pada kutipan kasus ini adalah,,,
bahwa sungguh sangat berbeda antara seorang alim yang melihat permasalahan hanya dengan pandangan fiqih murni, dengan seorang alim yang melihat masalah selain dengan fiqih namun juga dibarengi dengan menengok pada maqhasid syariah yg ada di balik kasus, dimana sungguh maqhasid yang ada sangat mempengaruhi hasil akhir pada kesimpulan hukum..
Dan inilah yang hendaknya diperhatikan oleh para pemroduksi fatwa dalam setiap kasus yang akan mereka pecahkan, bagaimana menuju kesimpulan hukum dengan tidak hanya memandang kasus dengan pandangan fiqih murni saja, dalil2 saja, tapi juga harus memperhatikan maqhasid, kondisi, situasi dan keadaan yg menyertai kasus tersebut, sehingga ketika menuju pada output ijtihad, bisa menelurkan produk fatwa yang benar benar sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh syariat,,,
Ustadz setiawan tugiono B.I.L M.hi