*Fiqih qadha' dan fidyah puasa Ramadhan*
( Madzhab Syafi'i )
Orang yang tidak puasa di bulan Ramadhan bukan karena jima' yaitu dengan sebab semisal makan, minum, memasukkan air ke dalam hidung atau bercumbu pada selain farji kemudian keluar air mani atau onani kemudian keluar air mani dan memungkinkan untuk malakukan qadha', maka wajib baginya qadha' sebelum datang Ramadhan tahun berikutnya baik itu meninggalkannya karena udzur ataupun tidak ada udzur. Allah ta'ala berfirman,
وَمَن كَانَ مَرِیضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ أَیَّامٍ أُخَرَۗ...
"Barang siapa di antara kalian sakit atau sedang safar ( sehingga tidak berpuasa ), maka ( wajib ) mengqhodho' sejumlah hari yang di tinggalkan di hari-hari yang lain..." ( QS. Albaqarah : 185 ).
Adapun orang yang meninggalkan puasa tanpa ada udzur, di samping berdosa juga wajib untuk qadha' puasanya. Dalil yang mendasarinya antara lain sabda Nabi shallallahu alaihi wassalam,
أن الصائم إذا ذرعه القيء فلا قضاء عليه، وإذا استقاء عمدا، فليقض
"Seorang yang berpuasa jika tidak bisa menahan muntah, maka tidak ada kewajiban qadha', adapun jika sengaja muntah, maka wajib qadha'." ( HR. Tirmidzi : 720, Ibnu Majah : 1676, Daruquthni : 2273 )
Dalil lain adalah qiyas _aulawi_ pada kasus orang yang wajib qadha' karena meninggalkan puasa dengan udzur. Allah mewajibkan qadha' bagi orang yang tidak puasa karena sakit dan safar padahal itu adalah udzur, maka yang tidak ada udzur lebih layak untuk qadha' puasa. ( Al-Mu'tamad Fi Fiqhis Syafi'i II : 200 )
Secara ringkas orang yang meninggalkan puasa Ramadhan terbagi menjadi empat golongan dari sisi qadha' dan fidyah :
1️⃣Golongan yang wajib qadha' dan fidyah sekaligus, ada dua :
✔️Orang yang mengkhawatirkan keadaan orang lain, seperti wanita hamil yang mengkhawatirkan janin yang ada dalam kandungan dan wanita menyusui yang mengkhawatirkan anak yang di susuinya.
✔️Orang yang tidak puasa Ramadhan dan tidak mengqadha' sampai bertemu Ramadhan tahun berikutnya tanpa udzur padahal memungkinkan untuk mengqadha'.
2️⃣Golongan yang wajib qadha' saja tanpa fidyah, seperti orang pingsan, orang yang lupa niat di malam hari dan orang yang membatalkan puasa dengan selain jima' juga wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan dirinya saja atau dirinya beserta anaknya.
3️⃣Golongan yang hanya wajib fidyah saja, tanpa qadha', seperti orang yang sudah tua renta sehingga tidak mampu puasa dan orang sakit parah yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya.
4️⃣Golongan yang tidak wajib qadha' juga tidak wajib fidyah, seperti orang gila yang tidak disebabkan oleh kesalahannya sendiri.
( At Taqrirat As Sadidah I : 455-456 ).
Berikut perincian dari masing-masing golongan di atas.
*Rincian hukum wanita hamil dan menyusui*
Sebagaimana telah di sebutkan di atas, jika wanita hamil mengkhawatirkan janin yang ada dalam kandungannya atau wanita menyusui mengkhawatirkan anak yang di susuinya, maka wajib bagi keduanya qadha' puasa Ramadhan dan membayar fidyah. Hal ini karena Ibu dan anak mendapat manfaat dari tidak puasanya sang Ibu. Berbeda kasusnya jika ada orang yang tidak berpuasa karena menyelamatkan harta selain hewan, maka wajib qadha' saja karena yang mendapatkan manfaat hanya satu orang.
Adapun jika wanita hamil atau menyusui mengkhawatirkan dirinya saja atau mengkhawatirkan dirinya dan anaknya, maka wajib qadha' saja tanpa fidyah.
Jika ada yang mengatakan, bukankah dengan tidak puasanya sang ibu, bisa memberi manfaat untuk dua orang sehingga mewajibkan fidyah ?, maka jawabannya, bahwa kekhawatiran terhadap diri wanita itu sendiri menjadi penghalang wajibnya fidyah. Sedangkan kekhawatiran terhadap janin atau anak yang di susui mengharuskan fidyah. Dalam kondisi ini dimenangkan sisi yang menghalangi dari pada sisi yang mengharuskan karena berdasarkan kaedah,
إذا اجْتَمَع مانعٌ و مُقتَض، غُلّب المانع على المقتض
"Jika berkumpul faktor penghalang dan faktor yang mengharuskan, di menangkan faktor penghalang."
( Hasyiah Al-Baajuri II : 450)
Yang di maksud khawatir atau takut terhadap anaknya yaitu takut kalau terjadi keguguran bagi wanita hamil atau wanita menyusui takut air susu menjadi sedikit dan membahayakan anak yang di susuinya. Syamsuddin Ar-Ramli (w.1004H) menyatakan,
بأن خافت الحامل من إسقاطه وخافت المرضع من أن يقل اللبن فيهلك الولد (لزمتهما) مع القضاء (الفدية في الأظهر)
"Yaitu wanita hamil takut janinnya keguguran dan wanita yang menyusui takut air susunya menjadi sedikit sehingga bisa membinasakan anak yang di susui, maka dalam kondisi ini (tidak puasa) wajib qadha' dan membayar fidyah." ( Nihayatul Muhtaj III : 194 )
*Apakah hamil karena zina mendapat rukhshah ini ?*
Syeikh Muhammad bin Umar Al-Bantani (w.1315H) mengatakan,
ومثله الحامل والمرضع ولو كان الحمل من زنا أو شبهة ولو بغير آدمي حيث كان معصوما أو كانت المرضع مستأجرة أو متبرعة ولو لغير آدمي.
"Semisal dengan orang sakit adalah wanita hamil dan menyusui walaupun hamil tersebut di sebabkan karena zina atau nikah syubhat dan walaupun bukan pada manusia namun terjaga darahnya. Demikian pula wanita menyusui di sini mencakup wanita yang menyusui dengan di bayar ataupun sukarela bahkan jika menyusui binatang." ( Nihayatuz Zain : 184 )
*Menunda qadha' Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya*
Jika penundaan tersebut dikarenakan ada udzur, maka kewajibannya hanya qadha', tidak ada kewajiban membayar fidyah.
Abul Husain Al-Imrani Asy Syafi'i (w.558H) mengatakan,
إذا كان عليه قضاء من أيام شهر رمضان.. فإن وقت القضاء فيما بينه وبين شهر رمضان الذي بعده، فالمستحب: أن يقضيه في أول ما يمكنه، فإن أخره حتى دخل رمضان آخر، فإن دام عذره بأن كان مسافرا أو مريضا حتى دخل الشهر الثاني.. صام رمضان، ثم يقضي عن الأول بعد رمضان، ولا شيء عليه.
"Jika sesorang mempunyai kewajiban qadha' puasa Ramadhan, waktu qadha' di mulai setelah Ramadhan sampai Ramadhan berikutnya. Namun di anjurkan menyegerakan qadha' puasa Ramadhan jika sudah memungkinkan. Jika menunda qadha' sampai Ramadhan berikutnya karena ada udzur yang terus menerus semisal safar atau sakit, maka melakukan puasa Ramadhan sampai selesai kemudian setelah itu qadha' puasa Ramadhan tahun sebelumnya dan tidak ada kewajiban apapun setelah itu.
وقال ابن عباس، وابن عمر، وسعيد بن جبير، وقتادة - رضي الله عنهم - وأرضاهم: (يطعم ولا يقضي)
Menurut Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Sai'd bin Jubair dan Qatadah radiyallahu anhum wa ardhahum, cukup membayar fidyah.
دليلنا: أنه صوم واجب، فلا يسقط إلى الإطعام مع القدرة على فعله، كالأداء.
Hujjah kami ( ulama syafi'iyyah ) adalah bahwasanya puasa Ramadhan adalah puasa wajib, maka tidak bisa gugur dengan fidyah sedangkan masih ada kemampuan untuk melakukannya sebagaimana ada' ( bukan qadha' ). ( Al-Bayan III : 541 )
Jika penundaan tersebut dilakukan tanpa ada udzur, maka wajib qadha' dan membayar fidyah,
وإن لم يكن له عذر في التأخير.. فإنه يصوم رمضان، ثم يقضي ما عليه بعده، ويلزمه مع القضاء عن كل يوم مد، وبه قال مالك، وأحمد، وإسحاق رحمة الله عليهم.
Jika penundaan qadha' tersebut tanpa ada udzur, maka wajib baginya puasa Ramadhan ( karena bertemu Ramadhan ) kemudian setelah itu mengqadha' puasa yang di tinggalkan serta wajib membayar fidyah yaitu satu mud makanan untuk tiap hari yang ia tinggalkan. Pendapat ini juga di pilih oleh imam Malik, Ahmad dan Ishaq rahmatullahi alaihi.
واعتمد الشافعي - رحمه الله تعالى - فيها على إجماع الصحابة - رضي الله عنهم.
وروي عن ابن عمر، وابن عباس، وأبي هريرة: أنهم قالوا: (إذا أخر القضاء حتى جاء رمضان آخر.. فعليه الكفارة) . ولا مخالف لهم.
Imam Asy Syafi'i berdalil dengan ijma' sahabat radiyallahu anhum tentang kewajiban membayar fidyah ini.
Di riwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Abu Hurairah, mereka mengatakan, jika seseorang menunda qadha' sampai datang Ramadhan berikutnya, maka wajib membayar kafarah. Pendapat mereka tersebut tidak ada yang menyelisihinya.
( Al-Bayan III : 541-542 )
Demikian pula yang di katakan Abul Hasan Al-Mawardi (w.450H)
وإن أخره غير معذور فعليه مع القضاء الكفارة عن كل يوم بمد من طعام، وهو إجماع الصحابة، وبه قال مالك وأحمد وإسحاق والأوزاعي والثوري.
Jika seseorang menunda qadha' puasa Ramadhan ( sampai bertemu Ramadhan berikutnya ) wajib qadha' dan membayar kafarah ( fidyah ) satu mud makanan untuk tiap hari yang di tinggalkan. Ini adalah ijma' sahabat juga pendapat imam Malik, Ahmad, Ishaq, Al-Auza'i dan Ats Tsauri. ( Al-Hawi Al-Kabir III : 451 )
*Wajib qadha' bagi orang yang tidak puasa karena tidak niat( di malam hari ), musafir, sakit, pingsan, haid dan nifas*
An-Nawawi rahimahullah menyebutkan beberapa golongan yang wajib qadha',
كل من ترك النية الواجبة عمدا أو سهوا، فعليه القضاء. وكذا كل من أفطر، لكن لو كان إفطاره يوجب الكفارة، ففيه خلاف نذكره إن شاء الله تعالى.
وما فات بسبب الكفر الأصلي، لا قضاء فيه، ويجب القضاء على المرتد. والمسافر، والمريض إذا أفطرا، قضيا. وما فات بالإغماء، يجب قضاؤه، سواء استغرق جميع الشهر، أم لا، لأنه نوع مرض، بخلاف الجنون.
وما فات بالحيض والنفاس، وجب قضاؤه، ولا يجب على الصبي والمجنون صوم، ولا قضاء، سواء استغرق الجنون النهار، أو الشهر، أم لا.
"Semua orang yang tidak niat wajib baik itu sengaja atau tidak, maka wajib qadha'. Demikian pula semua orang yang tidak puasa. Namun jika meninggalkan puasa tersebut mewajibkan kafarah, ada perbedaan pendapat yang akan kami jelaskan InsyaAllah.
Puasa yang tidak dikerjakan karena masih dalam keadaan kafir, maka tidak wajib qadha' ( ketika sudah masuk islam ). Adapun orang murtad, wajib qadha' puasa yang ditinggalkan saat murtad. Musafir dan orang sakit, jika tidak berpuasa, maka keduanya wajib qadha'. Demikian pula wajib qadha' bagi orang yang tidak puasa disebabkan pingsan baik pingsannya pada seluruh hari bulan Ramadhan atau sebagian saja karena pingsan termasuk kategori sakit berbeda dengan gila (yang tidak wajib qadha')
Wanita haid dan nifas wajib qadha' puasa yang di tinggalkannya. Tidak wajib puasa dan tidak pula wajib qadha' bagi anak kecil dan orang gila, baik gila tersebut satu hari penuh atau bahkan satu bulan penuh."( Raudhatut Thalibin II : 236 )
*Kewajiban fidyah bagi orang tua renta dan sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya*
Jika orang yang sudah usia lanjut dan terpaksa tidak puasa karena tidak mampu, maka wajib membayar fidyah yaitu satu mud makanan pokok negerinya. Tidak ada kewajiban baginya ataupun bagi kerabatnya selain hanya fidyah.
Diriwayatkan dari 'Atha, beliau mendengar Ibnu Abbas radiyallahu 'anhuma membaca,
وعلى الذين يُطَوَّقُونَه فِديَةٌ طعامُ مسكين ( البقرة : ١٨٣ )
Ibnu Abbas berkata, ayat ini tidaklah di mansukh bagi orang yang sudah tua renta laki-laki ataupun perempuan yang mereka berdua tidak mampu berpuasa maka memberi makan satu orang miskin untuk tiap hari yang di tinggalkannya. ( HR. Bukhari : 4505 )
Adpun satu mud itu setara dengan sepenuh hafnah yang jika di ukur dengan berat seukuran satu sepertiga ritl bagdad atau setara sekitar 600 gram. ( Al-Fiqhu Al-Manhaji I : 350-351 )
*Orang gila tidak ada kewajiban qadha' puasa yang ditinggalkan*
An-Nawawi rahimahullah menjelaskan,
المجنون لا يلزمه الصوم في الحال بالإجماع للحديث وللإجماع وإذا أفاق لا يلزمه قضاء ما فاته في الجنون سواء قل أو كثر وسواء أفاق بعد رمضان أو في أثنائه هذا هو المذهب والمنصوص
"Orang gila tidak ada kewajiban puasa saat dia gila berdasarkan ijma' dan hadis. Kemudian jika sudah sembuh dari gilanya, tidak ada kewajiban qadha' puasa yang tidak dikerjakan saat gila baik itu gilanya sedikit atau banyak, baik sembuhnya setelah bulan Ramadhan atau masih dalam bulan Ramadhan. Inilah pendapat dalam madzhab dan telah dinyatakan langsung oleh imam Syafi'i." ( Al-Majmu' : Assyamilah )
*Orang yang mati dalam keadaan belum qadha' puasa Ramadhan*
Setidaknya ada empat kondisi seseorang yang mati dan belum qadha' puasa yang di tinggalkan,
1️⃣Meninggalkan puasa karena ada udzur dan ada kesempatan untuk qadha'
2️⃣Meninggalkan puasa karena udzur dan tidak ada kesempatan qadha', semisal sakit yang terus berlanjut sampai mati.
3️⃣Meninggalkan puasa tanpa udzur dan ada kesempatan untuk qadha'.
4️⃣Meninggalkan puasa tanpa udzur dan tidak ada kesempatan untuk qadha'.
Pada kondisi meninggalkan puasa karena udzur dan tidak ada kesempatan untuk qadha', maka tidak ada dosa tidak pula ada kewajiban qadha' maupun fidyah bagi kerabatnya. Sedangkan pada tiga kondisi lainnya, kerabatnya membayarkan fidyah satu mud makanan pokok di ambilkan dari harta peninggalan mayit. Namun menurut qoul qodim, tidak mesti dengan fidyah, bahkan boleh jika kerabatnya melakukan puasa untuk mayit. Qoul qodim ini di pilih oleh An Nawawi dalam kitabnya Raudhatut thalibin dan ini merupakan pendapat mu'tamad madzhab. ( Hasyiah Al-Baajuri II : 444-446 )
Dalil yang mendasari di syariatkannya puasa bagi kerabat orang yang mati yang mempunyai hutang puasa Ramadhan adalah hadis,
عن عائشة رضي الله عنها أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : (( مَن مات وعليه صيام صام عنه وليُّه )) متقق عليه
Dari Ibunda Aisyah radiyallahu anha, dari Nabi shallallahu alaihi wassalam bersabda, " Barangsiapa mati dan punya tanggungan puasa, maka walinya ( kerabat ) melakukan puasa untuknya." ( Muttafaqun alaih )
Hadis lain dari Ibnu Abbas radiyallahu anhuma berkata,
جاء رجل إلى النبيّ صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله، إنّي أمّي ماتت وعليها صوم شهر أفأقضيه ؟ قال : (( نعم، فدَيْنُ الله أحقُّ أن يقضى )). متفق عليه
Seorang laki-laki menemui Nabi shallahu alaihi wassalam lalu berkata, wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia sedangkan dia punya hutang puasa satu bulan. Apakah saya qadha' puasa tersebut untuknya? Nabi shallallahu alaihi wassalam menjawab, " Iya, hutang Allah lebih berhak lagi untuk di penuhi." ( Muttafaqun alaihi )
Adapun dalil yang menjadi dasar dibayarkan fidyah oleh kerabat adalah hadis mauquf dari Ibnu Umar radiyallahu anhuma, beliau berkata,
مَن مات وعليه صيام شهر فليطعم عنه مكان كل يوم مسكينا.
"Barang siapa mati sedangkan dia punya hutang puasa satu bulan, maka di bayarkan fidyahnya yaitu memberi makan satu orang miskin tiap hari yang di tinggalkannya. " ( H.R. Tirmidzi : 718 )
Hadis lain dari Ibnu Abbas radiyallahu anhuma, beliau berkata,
إذا مرض الرجل في رمضان ثم مات ولم يصم، أطعم عنه
"Jika seseorang sakit di bulan Ramadhan kemudian mati dalam keadaan belum melakukan puasa, maka dibayarkan fidyahnya yaitu memberi makan ( orang miskin )." ( H.R. Abu Dawud : 2401 )
*Waktu pembayaran fidyah*
Orang yang wajib fidyah karena tidak mampu puasa semisal sudah tua renta, maka boleh menunda pembayaran fidyah tapi tidak boleh mendahulukannya sebelum waktu wajib. Boleh baginya memberikan beberapa mud untuk satu orang saja, sebaliknya tidak boleh memberikan satu mud untuk dua orang atau satu mud untuk satu orang dan sebagian mud untuk orang lain karena satu mud itu satu fidyah yang sempurna. ( Al-Manhal Al-Warif : 497-498 , Busyro Al-Karim : 575-576 )
Tidak boleh mendahulukan fidyah sebelum bulan Ramadhan bahkan tidak boleh mendahulukan satu hari sebelum hari yang tidak puasa di hari tersebut. Namun boleh mendahulukan sebelum fajar setelah tenggelamnya matahari. ( Hasyiah Al-Baajuri II : 449 )
*Menunda pembayaran fidyah sampai tahun berikutnya*
Al-Khatib Asyarbini rahimahullah (w.977H) mengatakan,
ولا شيء على الهرم ولا الزمن ولا من اشتدت مشقة الصوم عليه لتأخير الفدية إذا أخروها عن السنة الأولى
"Tidak ada kewajiban apapun bagi orang tua renta, orang sakit menahun dan yang sangat berat untuk puasa jika mereka ini menunda pembayaran fidyah sampai tahun berikutnya." ( Al-Iqna' syarah Matan Abi Syuja' : 222 )
*Penyaluran fidyah*
Fidyah hanya di berikan pada orang miskin berdasarkan firman Allah ta'ala,
وَعَلَى ٱلَّذِینَ یُطِیقُونَهُۥ فِدۡیَةٌ طَعَامُ مِسۡكِینٍ...
"Dan bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak puasa), wajib memberi makan seorang miskin." ( QS. Al-baqarah : 184 )
ayat ini menjadi dalil wajibnya menyalurkan fidyah pada orang miskin. Demikian pula orang fakir, qiyas pada orang miskin karena orang fakir lebih buruk keadaannya. Adapun golongan lain yg berhak mendapat zakat selain fakir miskin, tidak berhak mendapatkan fidyah ( Hasyiah Tarmasi V : 739-740 )
*Bentuk fidyah*
Fidyah di berikan pada fakir miskin berupa makanan pokok sebagaimana yang berlaku pada zakat fitrah. Makanan pokok di sini di berikan dalam keadaan mentah sehingga tidak sah jika membayarkan fidyah dalam keadaan sudah di masak. Para fuqoha memberikan keterangan ini ketika membahas bab kafarah semisal kafarah sumpah.
(إطعام عشر مساكن ) أي : تمليكهم، وإنّما عبّر بالإطعام اقتداء بالآية الشريفة فلا يكفي ما لو غدّاهم أو عشّاهم...
"( memberi makan sepuluh orang miskin ), maksudnya adalah memberikan bahan makanan ( sehingga bisa mereka manfaatkan sekehendaknya ). Di sebutkan dengan kata "ith'am" ( memberi makan ) karena mengikuti ayat yang mulia. Dengan demikian, tidak sah jika memberi mereka makan pagi atau makan sore.." ( Hasyiah Al-Baajuri IV : 438 )
Demikian pembahasan ringkas seputar hukum qadha' dan fidyah puasa Ramadhan menurut madzhab Syafi'i.
Allahu a'lam.
Ust Agus Waluyo