Senin, 01 Juni 2020

CARA MENGHILANGKAN SYIRIK

🗨CARA MENGHILANGKAN SYIRIK🗨 

Menghilangkan syirik kepada Allah, belum akan sempurna kecuali dengan menghilangkan tiga macam syirik: 
 
1. Syirik dalam perbuatan Tuhan:
 
Yaitu beri'tikad bahwa di samping Allah, terdapat pencipta dan pengatur yang lain. Sebagaimana yang diyakini sebagian orang-orang shufi, bahwa Allah menguasakan sebagian urusan kepada beberapa wali-Nya untuk mengaturnya. Suatu keyakinan, yang hingga orang-orang musyrik sebelum Islam pun tidak pernah mengatakannya. Bahkan ketika Al-Qur'an menanyakan siapa yang mengatur segala urusan, mereka menjawab: "Allah". Seperti ditegaskan dalam firman-Nya: 

وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ

"Dan siapakah yang mengatur segala urusan? Mereka menjawab 'Allah'." (Yunus: 31) 

Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu pernah membaca kitab "الكافي في الرد على الوهابي" "Al-Kaafii Firrad ‘alal Wahabi" yang pengarangnya seorang shufi. Di antara isinya adalah, 

"إن لله عبادًا يقولون للشيء كن فيكون"

"Sesungguhnya Allah memiliki beberapa hamba yang bila mengatakan kepada sesuatu; Jadilah! Maka dia akan terjadi." 
Sungguh dengan tegas Al-Qur'an mendustakan apa yang dia dakwahkan itu.

Allah berfirman:

إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

"Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, "Jadilah!" maka terjadilah dia." (Yaasiin: 82)

أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ 

"Ingatlah, menciptakan dan memerintahkan hanyalah hak Allah." (Al-A'raaf: 54) 

2. Syirik dalam ibadah dan do'a: 

Yaitu di samping ia beribadah dan berdo'a kepada Allah, ia beribadah dan berdo'a pula kepada para nabi dan orang-orang shalih. 
Seperti istighatsah (meminta pertolongan) kepada mereka, berdo'a kepada mereka di saat kesempatan atau kelapangan. Ironinya, justru hal ini banyak kita jumpai di kalangan umat Islam. Tentu, yang menanggung dosa terbesarnya adalah sebagian syaikh (guru) yang mendukung perbuatan syirik ini dengan dalih tawassul. 
Mereka menamakan perbuatan tersebut dengan selain nama yang sebenarnya. Karena tawassul adalah memohon kepada Allah dengan perantara yang disyari'atkan. Adapun apa yang mereka lakukan adalah memohon kepada selain Allah. Seperti ucapan mereka:

"المدد يا رسول الله ، يا جيلاني يا بدوي ...الخ".

"Tolonglah kami wahai Rasulullah, wahai Jaelani, wahai Badawi ..." 
Permohonan seperti di atas adalah ibadah kepada selain Allah, sebab ia merupakan do'a (permohonan). Sedangkan Rasulullah  bersabda:

"الدعاء هو العبادة" (رواه الترمذي وقال حسن صحيح)

"Do'a adalah ibadah." (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, hadits hasan shahih) 

Di samping itu pertolongan tidak boleh dimohonkan kecuali kepada Allah semata.  
Allah berfirman: 

وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ 

"Dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu," (Nuh: 12)  

Termasuk syirik dalam ibadah adalah "syirik hakimiyah". Yaitu jika sang hakim, penguasa atau rakyat meyakini bahwa hukum Allah tidak sesuai lagi untuk diterapkan, atau dia membolehkan diberlakukannya hukum selain hukum Allah. 

3. Syirik dalam sifat: 

Yaitu dengan menyifati sebagian makhluk Allah, baik para nabi, wali atau lainnya dengan sifat-sifat yang khusus milik Allah.

Mengetahui hal-hal yang ghaib, misalnya. Syirik semacam ini banyak terjadi di kalangan shufi dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka. Seperti ucapan Buwaishiri, ketika memuji Nabi:

فإن من جودك الدنيا و ضرَّتها      و من علومك علم اللوح و القلم

"Sesungguhnya, di antara kedermawananmu adalah dunia dan kekayaan yang ada di dalamnya Dan di antara ilmumu adalah ilmu Lauhul Mahfuzh dan Qalam.”

Dari sinilah kemudian terjadi kesesatan para dajjal (pembohong) yang mendakwakan dirinya bisa melihat Rasulullah  dalam keadaan jaga. Lalu –menurut pengakuan para dajjal itu– mereka menanyakan kepada beliau tentang rahasia jiwa orang-orang yang bergaul dengannya. Para dajjal itu ingin menguasai sebagian urusan manusia. Padahal Rasulullah  semasa hidupnya saja, tidak mengetahui hal-hal yang ghaib tersebut, sebagaimana ditegaskan oleh Al-Qur'an:  

وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ

"Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan yang sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan." (Al-A'raaf: 188) 

Jika semasa hidupnya saja beliau tidak mengetahui hal-hal yang ghaib, bagaimana mungkin beliau bisa mengetahuinya setelah beliau wafat dan berpindah ke haribaan Tuhan Yang Maha Tinggi? Ketika Rasulullah  mendengar salah seorang budak wanita mengatakan,  

"و فينا نبي يعلم ما في غد"

“Dan di kalangan kita terdapat Nabi yang mengetahui apa yang terjadi besok hari.” 
Maka Rasulullah berkata kepadanya,

"دعي هذا و قولي بالذي كنتِ تقولين" (رواه البخاري)

"Tinggalkan (ucapan) ini dan berkatalah dengan yang dahulunya (biasa) engkau ucapkan'." (HR. Al-Bukhari) 

Kepada para rasul itu, memang terkadang ditampakkan sebagian masalah-masalah ghaib, sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (26) إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ (27)

"(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya." (Al-Jin: 26-27)
Ustadz faharudin