Sabtu, 03 Mei 2025

Ihsan Ilahi Zahir ulama muda dengan lisan terhunus, ilmu yang luas, dan nyali yang tak goyah walau nyawanya jadi taruhannya.

Di tengah gejolak dunia Islam pada abad ke-20, saat umat dilanda kerancuan ideologi dan badai pemikiran menyimpang, muncul seorang ulama dari Pakistan yang membawa obor terang di tengah kegelapan. Namanya Ihsan Ilahi Zahir ulama muda dengan lisan terhunus, ilmu yang luas, dan nyali yang tak goyah walau nyawanya jadi taruhannya.

Ia bukan hanya seorang dai. Ia adalah petarung akidah. Sejak usia muda, Ihsan telah menapaki jalan ilmu dengan tekun. Di Madinah, ia menyerap ilmu syariah dari para ulama besar. Lalu pulang ke Pakistan, melanjutkan studinya dalam bidang hukum, politik, sastra, dan bahasa, hingga meraih sembilan gelar magister. Namun, semua itu bukan untuk gengsi, tapi untuk memperkuat senjatanya dalam membela kebenaran.

Syaikh Ihsan tak pernah memilih jalur aman. Ia terjun langsung ke medan debat. Satu demi satu kelompok sempalan ia hadapi, seperti Syiah Rafidhah, Qadiyaniyah, Baha’i, Batiniyah, bahkan Sufi ekstremis. Di podium-podium debat, ia hadir seperti singa yang mengaum, membongkar kesesatan dengan hujjah yang tajam dan tenang. Banyak dari lawan debatnya tersudut, bukan karena diserang secara kasar, tapi karena tak mampu menjawab argumen-argumen yang ia bangun dengan kokoh.

Buku-bukunya tersebar luas dan dijadikan rujukan oleh para ulama Ahlus Sunnah. Judul-judul seperti "Asy-Syi’ah wa Ahlul Bait", "Asy-Syi’ah wa As-Sunnah", dan "Al-Qadiyaniyah" menjadi karya monumental yang menjelaskan penyimpangan dengan gaya ilmiah dan lugas. Karya-karya itu dibaca dan direkomendasikan di berbagai negeri, dari Mesir, Yaman, Arab Saudi, hingga Indonesia.

Para ulama besar pun mengakui kedalaman ilmunya. Syaikh Bin Baz, Syaikh Al-Albani, dan Syaikh Muqbil Al-Wadi’i termasuk yang memuji keteguhannya dan mengakui perannya sebagai benteng Ahlus Sunnah di Pakistan. Ia dijuluki sebagai “Penjaga Aqidah”, karena keberaniannya menantang semua bentuk penyimpangan, bahkan yang paling berbahaya sekalipun.

Puncak keberaniannya terlihat saat Revolusi Iran berkobar. Dunia Islam terbelah, banyak kalangan yang mengagumi Khomeini, melihatnya sebagai pemimpin pembebasan. Tapi tidak bagi Ihsan. Ia tahu siapa Khomeini, dan lebih tahu apa isi pemikirannya. Tanpa gentar, ia menulis buku-buku untuk membongkar hakikat ideologi Syiah dan revolusi Iran.

Kritiknya begitu pedas dan menusuk, hingga membuat Khomeini mengadakan sayembara dengan hadiah sebesar $2000 pada waktu itu, bagi siapa pun yang bisa membunuhnya. Tapi Ihsan tak mundur selangkah pun. Ia terus bicara, terus menulis, terus mendebat. Ancaman bukan penghalang, justru menjadi bukti bahwa kebenaran yang ia suarakan menyakitkan musuh-musuhnya.

Hingga akhirnya, pada suatu malam yang naas itu di tahun 1987, sebuah bom meledak saat ia sedang berbicara di sebuah acara. Tubuhnya hancur sepertiga, tapi ruh keberaniannya tetap menyala. Ia dibawa ke Arab Saudi untuk menjalani pengobatan dan wafat di Riyadh, kemudian dimakamkan di pemakaman Baqi’, berdampingan dengan para sahabat Nabi.