HISAB VS RUKYAT: MANA YANG LEBIH ABSOLUT?
Tahun 2013, saya membaca buku karya Dr. Syamsul Anwar (Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah) yang membahas metode hisab Muhammadiyah. Analisisnya sangat ilmiah, menggambarkan hisab sebagai ilmu pasti seperti matematika. Jika gempa, tsunami, dan gerhana dapat diprediksi dengan akurat, mengapa awal bulan Hijriyah tidak bisa ditentukan hanya dengan hisab?
Namun, pengalaman di Arab Saudi menunjukkan bahwa hisab tidak selalu mutlak benar. Salah satu contoh terbaru terjadi pada penetapan 1 Syawal 1444 H (2023). Asosiasi Astronomi Saudi pada 18 April 2023 mengumumkan bahwa berdasarkan perhitungan Hisabnya, hilal Syawal diperkirakan akan terlihat pada hari Jumat, 21 April 2023. Namun, saat dilakukan rukyat pada 20 April 2023, beberapa daerah melaporkan bahwa hilal sudah terlihat. Akhirnya, pemerintah Arab Saudi menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Kamis, 20 April 2023 berdasarkan hasil rukyat tersebut.
Kasus serupa juga pernah terjadi dalam beberapa tahun sebelumnya, termasuk pada 1 Syawal 1440 H (2019), di mana hasil hisab menunjukkan hilal belum mungkin terlihat, tetapi laporan rukyat menyatakan sebaliknya, dan pemerintah Saudi tetap menetapkan Idul Fitri berdasarkan hasil rukyat.
Menurut saya, hisab ibarat prediksi BMKG tentang hujan—dapat memperkirakan kemungkinan hujan, tetapi kepastian turunnya hujan tetap merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah. Demikian pula, hisab adalah alat untuk memperkirakan posisi hilal, tetapi kepastian penampakannya memerlukan konfirmasi melalui rukyat.
Oleh karena itu, hisab sebaiknya menjadi alat bantu bagi rukyat, bukan satu-satunya metode. Hasil akhirnya tetap bergantung pada rukyat, karena itulah yang lebih pasti dan kuat. Jika Muhammadiyah ingin menjaga konsistensinya, perlu ada keseimbangan antara hisab dan rukyat, atau setidaknya membuka ruang evaluasi untuk menemukan metode yang lebih maslahat bagi umat.
Ustadz Khidir mansyur