Seorang Pengajar Ilmu Syar’iy Harus Memiliki Standar yang Tinggi untuk Dirinya Sendiri
Para pengajar ilmu syar’iy, termasuk di dalamnya adalah para ulama’, para ustadz, dan para da’i, harus memiliki standar yang tinggi untuk diri mereka sendiri dalam mengamalkan Syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak boleh baginya untuk beramal dengan amalan yang “pas-pasan”, apalagi mengerjakan perkara yang haram atau perkara yang dapat menjatuhkan muru’ahnya di tengah-tengah masyarakat.
Ini karena pengajar ilmu syar’iy adalah orang yang seharusnya menjadi teladan bagi masyarakat dan khususnya bagi murid-muridnya. Seorang pengajar ilmu syar’iy akan dilihat oleh orang-orang tentang bagaimana gerak-geriknya dan tindak-tanduknya di luar majelis dan di luar kajian, bagaimana pakaiannya dan gaya berpakaiannya, bagaimana mu’amalahnya dengan orang lain, bagaimana postingannya di media sosial, bagaimana obrolannya di kolom-kolom komentar, dan lain sebagainya.
Apakah kita mengira bahwa hanya dengan sekadar memiliki wawasan ilmu syar’iy yang lebih daripada orang lain itu sudah membolehkan seseorang untuk menjadi pengajar ilmu syar’iy, padahal dari segi adab dan akhlaknya sebagai pengajar masih banyak catatan?
Ibnu Jama’ah al-Kinaniy asy-Syafi’iy rahimahullah berkata dalam kitab beliau Tadzkiratus-Sami’ wal-Mutakallim fiy Adabil-‘Alim wal-Muta’allim,
ولا يرضى من أفعاله الظاهرة والباطنة بالجائز منها، بل يأخذ نفسه بأحسنها وأكملها، فإن العلماء هم القدوة، وإليهم المرجع في الأحكام، وهم حجة الله تعالى على العوام، وقد يراقبهم للأخذ عنهم من لا ينظرون، ويقتدي بهديهم من لا يعلمون.
“Hendaknya seorang pengajar itu tidak ridha’ dengan amalan-amalannya, baik yang tampak ataupun yang tersembunyi, dengan amalan-amalan yang hukumnya adalah boleh, tetapi dia harus mengusahakan dirinya untuk beramal dengan amalan-amalan yang paling baik dan paling bagus. Karena sesungguhnya orang-orang yang berilmu itu adalah teladan, dan mereka adalah rujukan bagi orang-orang untuk mengetahui hukum-hukum Syari’at. Mereka adalah hujjah Allah Ta’ala kepada orang-orang awam. Dan bisa jadi ada orang yang memperhatikan gerak-gerak dan tindak-tanduk mereka untuk mengambil ilmu dari mereka padahal itu tidak disadari oleh mereka, dan ada orang yang mencontoh mereka padahal itu tidak diketahui oleh mereka.” [1]
Yakni, walaupun seorang pengajar ilmu syar’iy itu tidak sedang mengisi kajian, tetapi dia sedang mengerjakan urusannya di rumahnya, di jalan, di toko/pasar, atau di tempat lainnya, maka dia tetap harus memperhatikan dirinya sendiri: Apakah dia sudah memiliki adab, akhlak, gerak-gerik, dan tindak-tanduk layaknya seorang pengajar ilmu syar’iy yang memiliki tanggung jawab di hadapan Allah sebagai orang yang harus menjadi teladan bagi masyarakat?
Walaupun sedang di luar kajian, maka dia tetap harus berhias dengan adab dan akhlak yang semestinya dari seorang pengajar ilmu syar’iy, baik ada orang yang melihatnya ataupun tidak ada orang yang melihatnya, karena sekali lagi ini adalah tanggung jawabnya di hadapan Allah. Apalagi nanti bisa jadi ada orang yang dia tidak sadari sedang melihatnya, atau bisa jadi ada kamera yang dia tidak sadari sedang merekamnya, sehingga orang lain kemudian mencontoh apa yang dia lakukan tersebut, padahal yang sedang dia lakukan saat itu adalah perkara yang menjatuhkan muru’ah karena tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim atau oleh seorang pengajar ilmu syar’iy, atau bahkan itu adalah perkara yang diharamkan oleh Syari’at. Ini tentunya tidak boleh dilakukan oleh seorang pengajar ilmu syar’iy yang paham bahwa dia memiliki tanggung jawab sebagai orang yang harus menjadi teladan bagi orang-orang lain.
Ibnu Jama’ah al-Kinaniy asy-Syafi’iy rahimahullah kemudian melanjutkan,
وإذا لم ينتفع العالم بعلمه فغيره أبعد من الانتفاع به، كما قال الشافعي: “ليس العلم ما حُفظ، العلم ما نفع”، ولهذا عظمت زلة العالم لما يترتب عليها من المفاسد، لاقتداء الناس به.
“Jika seorang pengajar tidak mengambil manfaat dari ilmunya, maka orang lain akan lebih tidak mengambil manfaat dari ilmunya tersebut, sebagaimana perkataan asy-Syafi’iy, ‘Ilmu itu bukanlah yang dihafal, tetapi ilmu itu adalah apa yang bermanfaat.’ Oleh karena itu, ketergelinciran seorang pengajar itu adalah perkara yang besar, sebab itu akan berkonsekuensi pada berbagai kerusakan, karena orang-orang mencontohnya dan meneladankannya.” [2]
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa menjaga kita semua dan memberikan keistiqamahan kepada kita di atas jalan-Nya yang lurus.
https://andylatief.com/2025/02/25/seorang-pengajar-ilmu-syariy-harus-memiliki-standar-yang-tinggi-untuk-dirinya-sendiri/
Ustadz Dr. Andy Octavian Latief
Artikel andylatief.com
Footnotes:
1. Tadzkiratus-Sami’ wal-Mutakallim fiy Adabil-’Alim wal-Muta’allim, karya Muhammad ibn Ibrahim Ibnu Jama’ah al-Kinaniy asy-Syafi’iy (hlm. 52).
2. Ibid.