Sabtu, 15 Februari 2025

FIKIH PUASA BERSAMA PROF. DR ABDUS SALAM ASY SYUWAI'IR HAFIDZAHULLAH

FIKIH PUASA BERSAMA PROF. DR ABDUS SALAM ASY SYUWAI'IR HAFIDZAHULLAH
📡 بث مباشر | اليوم العلمي
📘 شرح كتاب الصيام من مختصر خويقر
🎙️لفضيلة الشيخ أ.د. عبدالسلام الشويعر

https://www.youtube.com/live/_eDs78LZdpc?feature=shared

ONLINE DARI JAMI FAHAD - UNAIZAH 

Mukhtashar Khuqir
Kitab Puasa

---

Hukum Wajibnya Puasa Ramadan

Wajib berpuasa Ramadan dengan melihat hilal (bulan sabit) yang disaksikan oleh seorang yang adil, meskipun itu seorang perempuan, atau dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.

Jika terdapat halangan yang menghalangi terlihatnya hilal pada malam ke-30 Sya’ban, seperti mendung, maka seseorang tetap berpuasa dengan niat bahwa itu bagian dari Ramadan sebagai langkah kehati-hatian.

Puasa wajib bagi setiap Muslim, mukallaf (telah baligh dan berakal), serta mampu.

Jika ada saksi yang menetapkan masuknya bulan Ramadan di tengah siang hari, maka wajib bagi semua orang yang mengetahui hal itu untuk menahan diri dari makan dan minum serta mengqadha (mengganti) puasa bagi siapa saja yang baru masuk dalam kategori wajib puasa di siang hari itu.

Wajib menetapkan niat pada malam hari untuk setiap puasa yang diwajibkan.

Puasa sunnah sah jika diniatkan di siang hari, baik sebelum atau sesudah zawal (tergelincirnya matahari).

Barang siapa yang berniat berbuka (membatalkan puasa), maka puasanya batal.

> (Catatan: Dalam teks asli ada koreksi pada frasa "أو وجود", yang lebih tepat adalah "ما أثبت")

---

Bab: Hal-Hal yang Membatalkan Puasa dan Mengharuskan Kafarat

Barang siapa yang makan, minum, sengaja memuntahkan isi perut, memakai celak, onani, bercumbu tanpa hubungan badan, atau sengaja melihat sesuatu hingga keluar mani atau madzi, atau berbekam secara sengaja dengan tetap sadar bahwa dirinya sedang berpuasa, maka puasanya batal.

Jika ada serangga kecil (seperti lalat), debu, atau ia hanya berpikir lalu keluar mani, atau bermimpi basah, maka puasanya tidak batal.

Barang siapa makan dalam keadaan ragu apakah fajar telah terbit, maka puasanya tetap sah. Tetapi jika ia makan dalam keadaan ragu apakah matahari sudah terbenam, atau ia mengira bahwa waktu malam masih ada, lalu ternyata itu siang hari, maka puasanya batal.

---

Bab: Hubungan Suami Istri di Siang Hari Ramadan

Barang siapa yang melakukan hubungan badan di siang hari Ramadan, baik melalui kemaluan depan atau belakang, maka ia wajib mengqadha dan membayar kafarat.

Demikian pula bagi orang yang diwajibkan menahan diri (imsak) di siang hari, jika ia melakukan hubungan badan, maka ia juga wajib membayar kafarat.

Tidak wajib kafarat bagi orang yang hanya bercumbu tanpa hubungan badan, meskipun sampai keluar mani. Kafarat juga tidak diwajibkan bagi perempuan yang tidak sengaja atau dipaksa, serta tidak wajib bagi pelanggaran selain hubungan badan secara langsung.

Kafarat yang harus dibayar adalah:

1. Membebaskan budak, jika tidak mampu maka

2. Berpuasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka

3. Memberi makan 60 orang miskin. Jika tidak mampu juga, maka kewajiban tersebut gugur.

Makruh hukumnya mengumpulkan air liur lalu menelannya.
Haram hukumnya menelan dahak, dan hal ini bisa membatalkan puasa jika dahak tersebut sudah sampai ke mulut lalu ditelan.

Mencicipi makanan tanpa alasan atau mengunyah permen karet yang keras juga makruh. Jika seseorang merasakan rasanya di tenggorokannya, maka puasanya batal.

Makruh hukumnya berciuman bagi siapa saja yang bisa terangsang karenanya.

Wajib menjauhi ucapan yang haram, seperti mencela atau mencaci.

Disunnahkan bagi orang yang dicela atau dimaki untuk berkata:

> "إني صائم" ("Aku sedang berpuasa.")

Disunnahkan juga mengakhirkan sahur, menyegerakan berbuka dengan kurma, jika tidak ada maka dengan air, serta membaca doa berbuka sesuai sunnah.

---

Bab: Mengqadha Puasa

Disunnahkan mengqadha puasa secara berurutan, tetapi tidak boleh menunda hingga Ramadan berikutnya tanpa alasan yang dibenarkan. Jika seseorang menunda hingga Ramadan berikutnya, maka ia wajib mengqadha dan membayar fidyah berupa memberi makan satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan.

Jika seseorang meninggal dunia dan masih memiliki kewajiban puasa, i’tikaf, haji, atau salat nazar, maka disunnahkan bagi walinya untuk mengqadhanya.

> (Catatan: Kata "ويكره ذوق" memiliki makna "disunnahkan mencicipi tanpa ditelan.")

---

Bab: Puasa Sunnah

Disunnahkan berpuasa pada:

1. Hari-hari putih (tanggal 13, 14, 15 dari setiap bulan hijriyah),

2. Hari Senin dan Kamis,

3. Enam hari di bulan Syawal,

4. Bulan Muharram,

Yang paling utama adalah hari Asyura (10 Muharram), lalu hari Tasu'a (9 Muharram).

5. Sembilan hari pertama dari bulan Dzulhijjah,

Yang paling utama adalah puasa Arafah bagi yang tidak sedang berhaji.

Puasa sunnah yang paling utama secara umum adalah puasa selang sehari (puasa Daud), yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka.

Makruh hukumnya berpuasa secara khusus di bulan Rajab saja, berpuasa hanya di hari Jumat atau Sabtu, berpuasa di hari syak (hari terakhir Sya’ban yang masih meragukan), dan berpuasa pada hari raya orang kafir.

Haram berpuasa pada:

1. Dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha) secara mutlak.

2. Hari-hari Tasyriq (11, 12, 13 Dzulhijjah), kecuali bagi yang sedang melaksanakan haji tamattu’ dan qiran yang tidak memiliki hewan sembelihan.

Barang siapa yang telah memulai puasa wajib yang bersifat luas waktunya, maka haram membatalkannya tanpa alasan yang sah.
Makruh hukumnya membatalkan puasa sunnah tanpa alasan yang jelas.

---

Bab: I’tikaf

I’tikaf adalah berdiam diri di masjid untuk beribadah kepada Allah Ta’ala, dan hukumnya sunnah.

I’tikaf sah meskipun tanpa puasa, tetapi menjadi wajib jika dinazarkan.
I’tikaf tidak sah kecuali dilakukan di masjid yang di dalamnya dilaksanakan salat berjamaah.

Barang siapa yang bernazar untuk melakukan i’tikaf pada waktu tertentu, maka ia harus masuk ke tempat i’tikafnya sebelum malam pertama dimulai, dan keluar setelah waktu nazarnya berakhir.

Seorang yang sedang i’tikaf tidak boleh keluar kecuali untuk hal-hal yang sangat diperlukan.
Ia tidak boleh menjenguk orang sakit, tidak menghadiri pemakaman, kecuali jika ia sudah mensyaratkannya sejak awal.

Jika seseorang melakukan hubungan badan, maka i’tikafnya batal.

Disunnahkan bagi orang yang sedang i’tikaf untuk memperbanyak ibadah, serta menjauhi hal-hal yang tidak bermanfaat.